Yi Xiangnong kemudian berkata, "Adik ingin menemui Kakak untuk memberi hormat."
"Kamu sungguh baik." kata Qu Tan'er yang memang tidak mengerti aturan mainnya, karena semua yang dilakukannya itu hanya berdasarkan insting.
"Kakak baru masuk ke kediaman Pangeran Kedelapan, jadi pasti banyak hal yang belum dimengerti. Kalau ada yang perlu dibantu, jangan sungkan untuk memerintah saya. Biar bagaimanapun, saya sudah tinggal cukup lama di sini." Entah kenapa Yi Xiangnong memamerkan keseniorannya itu, senyum sinisnya membuat Qu Tan'er sakit mata.
"Wah, kamu sungguh baik." Jawaban Qu Tan'er masih tetap sama, dia benar-benar tidak suka wanita yang penuh kepalsuan ini.
"Kata para pelayan, Pangeran tidak tidur bersama Kakak saat malam pertama. Apa itu benar?" tanya Yi Xiangnong sambil menatap Qu Tan'er dengan saksama. Wanita itu seperti tengah menertawakan Qu Tan'er.
"Ternyata kamu sudah tahu! Kemarin malam Pangeran memang tidak tidur di kamar pengantin." jawab Qu Tan'er berpura-pura sedih dan menundukkan kepalanya. Sebenarnya dia hanya ingin menyembunyikan wajah kesalnya.
"Kenapa Kakak tidak menahan Pangeran?"
"Pangeran tidak bisa ditahan. Huft." Ekspresi tak berdaya dan sedih sudah Qu Tan'er tunjukkan, tentu saja nada suara harus diusahakan seolah dia sangat merana. Jingxin yang berdiri di samping gadis itu hampir saja tidak bisa menahan diri untuk tertawa. Sejak kapan Nonaku menjadi suka mengerjai orang seperti ini? batinnya.
"Malam kemarin Kakak tidur sendirian, pasti kedinginan."
"Saya tidak merasa kedinginan, malah sebaliknya, sangat hangat," jawab Qu Tan'er.
"Saya sebagai adik merasa sangat sedih atas apa yang terjadi pada malam pertama Kakak."
"Kamu tidak perlu bersedih begitu. Saya sangat bahagia."
"Kak…" kata Yi Xiangnong tampak ingin melanjutkan perkataannya.
"Nyonya Yi, silakan minum teh." kata Jingxin sambil meletakkan secangkir teh di atas meja, dia memotong perkataan Yi Xiangnong dengan sengaja. Karena, Jingxin barusan mendapat aba-aba dari Qu Tan'er untuk melakukan hal tersebut.
Perkataannya dipotong oleh pelayan, tentu saja membuat Yi Xiangnong merasa kesal. Dia melototi Jingxin, namun karena ada Qu Tan'er, dia tak berani berulah. "Kakak, silakan minum teh." kata Yi Xiangnong mengambil cangkir teh yang disuguhkan Jingxin dan menyodorkannya ke hadapan Qu Tan'er.
Qu Tan'er tersenyum kecut dan berkata pelan, "Teh ini untuk kamu, minumlah."
"Kakak minum terlebih dahulu, setelah itu Xiangnong baru berani minum."
"Tidak usah menunggu saya, kamu minum saja."
"Jangan, Kakak adalah istri Pangeran yang resmi, sedangkan Xiangnong hanyalah selir. Mana mungkin saya berani minum teh lebih dulu dari Kakak? Itu tidak sopan."
Jika Yi Xiangnong takut bertindak tidak sopan, maka tidak seharusnya dia menyebut Qu Tan'er 'Kakak', karena hal itu merupakan pelanggaran aturan. Seorang selir tidak punya hak menyebut diri sendiri sebagai adik, sebab Yi Xiangnong hanya berstatus sedikit lebih tinggi dari pelayan. Seharusnya di depan istri Pangeran, wanita itu menyebut dirinya sebagai 'Hamba'.
"Kita sekarang sudah satu rumah, kamu tidak perlu terlalu mengikuti aturan yang ketat. Silakan minum saja." kata Qu Tan'er karena sudah merasa malas meladeninya.
"Tidak bisa, Kakak harus minum dulu."
"Kenapa? Kamu takut saya meracunimu?" Qu Tan'er bertanya dengan nada datar dan lembut. Tetapi terdengar jelas kharismanya sebagai istri dari Pangeran. Wanita sialan ini… Disuruh minum saja susah, masih harus berbasa-basi sampai membuatku merasa kesal! batinnya.
"Kalau begitu, saya…"
"Ya, kamu minum saja. Hanya secangkir teh, saya tidak akan keberatan…."
"Kalau begitu saya minum." kata Yi Xiangnong sambil tersenyum lembut. Wanita itu mengangkat cangkir teh tersebut dengan penuh kebanggaan. Dia kemudian menyeruput semua isinya hingga tak tersisa setetes pun.
Qu Tan'er menunggu sampai Yi Xiangnong menghabiskan teh tersebut, lalu dia menyelesaikan ucapannya tadi dengan perlahan. Dia yakin, ucapannya akan membuat ekspresi Yi Xiangnong berubah 180 derajat. "... lagi pula teh itu sisa kemarin. Saya tidak mau meminumnya karena takut jatuh sakit."