Chapter 58 - Bab 57

Aku berbalik dan kaget melihat Sigmund berdiri di depanku. Amarah terpancar jelas di matanya.

"Apa yang kau lakukan di sini, Putri? Kau tahu, kau membuat kami takut ketika kami tahu bahwa kamu tiba-tiba menghilang lagi," Sigmund memarahi aku.

"Maaf, Sigmund. Aku kembali ke kafe ini karena aku ingin mencari liontinku. Aku tidak dapat menemukannya di manapun. Jadi aku pikir liontin itu mungkin jatuh ketika aku menunggumu di sini kemarin," aku menjelaskan.

Untungnya, aku sudah menyiapkan alasan sebelum meninggalkan istana secara diam-diam, jika tidak aku akan berada dalam masalah besar.

Wajah Sigmund melembut setelah mendengar penjelasanku, tetapi kemudian dia memarahi aku lagi, "Dengar! Kau seharusnya memberitahu aku atau Raja Bellamy terlebih dahulu jika kamu ingin mencari liontinmu. Jangan seenaknya menyelinap keluar dari istana seperti itu lagi! Apakah kamu mengerti?"

Aku merasa kesal karena Sigmund memarahi aku berulang kali, tetapi pada saat yang sama, aku merasa lega karena itu berarti bahwa Sigmund mempercayai apa yang aku katakan. Inilah yang aku sukai tentang Sigmund. Dia selalu mempercayai kebohonganku dengan mudah.

"Ya, aku mengerti. Maafkan aku. Tapi aku tidak bisa menunggu sampai matahari terbenam untuk mencari liontinku. Liontin ini sangat berarti bagiku. Ini adalah satu-satunya hal yang ditinggalkan ibuku untukku. Aku tidak ingin kehilangan liontin ini," aku menjelaskan.

Aku tahu ibuku selalu menjadi titik kelemahan bagi Sigmund dan kakekku. Itu sebabnya aku sengaja menggunakan namanya untuk keuntunganku.

Sigmund menghela nafas panjang. "Lupakan saja! Apakah kamu sudah menemukannya?"

Aku tersenyum dalam hati karena Sigmund tidak lagi marah kepadaku. Berkat nama ibuku.

"Iya. Seorang pelayan menemukannya dan menyimpannya untukku. Lihat!" Aku mengeluarkan liontin itu dari saku hoodie-ku dan menunjukkannya kepada Sigmund.

"Baiklah, ayo kita pulang sekarang!" kata Sigmund, mengulurkan tangannya padaku.

Aku meraih tangannya. "Oke."

Kami kemudian melenggang menuju pintu sambil bergandengan tangan.

"Ngomong-ngomong, bagaimana kamu bisa menemukanku di sini?" aku bertanya-tanya.

"Aku mengikuti aromamu di hutan, dan itu membawaku ke kafe ini," jelasnya.

"Jika kamu dapat menemukanku dengan mudah dengan mengikuti aromaku, mengapa kamu tidak melakukan hal yang sama ketika aku diculik oleh para manusia serigala?" tanyaku penasaran.

"Para manusia serigala itu entah bagaimana berhasil menutupi aromamu malam itu, jadi kami tidak dapat menemukanmu," jawabnya.

"Oh," aku berkomentar.

Tepat ketika kami melangkah keluar dari kafe, Sigmund berhenti mendadak, memaksa aku untuk ikut berhenti berjalan juga.

"Apa yang terjadi, Sigmund?" aku bertanya dengan bingung.

Sigmund tidak menjawab pertanyaanku. Dia berdiri terpaku di tempat dan terus menatap ke depannya.

Aku mengikuti arah tatapannya, tetapi aku tidak melihat apapun kecuali deretan pepohonan yang panjang.

"Donovan?" gumam Sigmund. Saat menyebutkan nama itu, dia tiba-tiba menjadi pucat seolah-olah seperti baru saja melihat hantu.

"Donovan?" pikirku. Nama itu terdengar familiar, tetapi aku tidak dapat mengingat dimana aku pernah mendengarnya sebelumnya.

Aku memutar otak, mencoba mengingat dengan tepat dimana aku pernah mendengar nama itu. Setelah beberapa waktu, akhirnya aku ingat percakapaku dengan Ivan di malam pesta pertunanganku.

🌹🌹🌹🌹🌹

Kilas balik

"Apakah kamu juga mengenal ayahku?" aku bertanya.

Aku tidak tahu mengapa wajah Ivan tiba-tiba berubah menjadi sangat pucat saat aku menyebutkan soal ayahku.

"Um ..." dia ragu-ragu, "Ya, aku dulu kenal dia."

"Siapa namanya?" tanyaku.

Matanya melebar. "Kamu tidak tahu nama ayahmu sendiri?"

Aku menggelengkan kepala. "sayangnya tidak, aku tidak tahu. Tidak ada yang pernah memberitahu aku siapa namanya."

"Bahkan kakekmu juga tidak memberitahumu?"

"Tidak. Kakekku selalu membicarakan soal ibuku. Tidak pernah sekalipun kakek memberitahu aku tentang ayahku."

Ivan terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "Nama ayahmu adalah Donovan Grandville."

🌹🌹🌹🌹🌹

"Tunggu!" aku berkata pada diri sendiri, "aku ingat sekarang. Donovan adalah nama ayah kandungku."

Aku menatap Sigmund; dia tampaknya sedang tenggelam dalam pikirannya. Aku yakin sekarang dia tengah memikirkan orang yang baru saja dilihatnya.

"Sigmund?" Aku menggoyangkan lengannya, mencoba menariknya keluar dari lamunannya.

Awalnya, Sigmund tidak bereaksi. Tapi setelah aku mengguncangnya lebih keras, dia akhirnya menoleh untuk menatapku. "Iya?"

"Ketika kamu mengatakan Donovan, apakah maksudmu itu ayahku?" tanyaku padanya.

Mulut Sigmund menganga. "Bagaimana kamu bisa tahu bahwa nama ayahmu adalah Donovan?"

"Seseorang memberitahuku tentang itu," jawabku.

Dia menyipitkan matanya dengan curiga. "Siapa yang memberitahumu soal hal itu?"

"Tidak penting siapa yang memberitahuku tentang hal itu! Sekarang, aku hanya ingin tahu. Apakah Donovan yang kamu sebutkan sebelumnya adalah ayahku?" aku menuntut jawaban darinya.

"Hmm, ya, kupikir aku melihat ayahmu di sana." Dia menunjukkan tempat yang tepat dimana dia pikir dia sudah melihat ayahku. "Tapi aku pasti hanya sedang berkhayal. Karena kau tahu, ayahmu telah meninggal bersama dengan ibumu hampir tujuh belas tahun yang lalu. "

"Ya, aku tahu," ucapku dengan sedih.

Penyebutan tentang kematian orang tuaku memicu rasa keingintahuanku tentang bagaimana mereka meninggal. Aku ingin membuktikan apakah Adolph mengatakan yang sebenarnya atau tidak ketika dia bilang bahwa ibuku dibunuh oleh ayahnya sendiri.

Lalu bagaimana dengan ayahku? Jika kakekku memang membunuh ibuku, apakah dia juga membunuh ayahku?

"Haruskah aku bertanya pada Sigmund tentang itu?" aku bertanya pada diri sendiri seraya melirik Sigmund sekilas.

"Tidak, tidak, tidak."Aku menggelengkan kepalaku dalam hati. "Sigmund akan mencurigaiku jika aku bertanya kepadanya sekarang. Aku pikir sebaiknya aku bertanya kepada kakekku saja nanti. Biar bagaimanapun, aku yakin hanya kakekkulah yang tahu jawaban atas pertanyaanku."

"Lebih baik kita bergegas kembali ke istana. Yang Mulia pasti mulai panik sekarang," ujar Sigmund kepadaku.

"Oke," jawabku.

Kami berjalan dengan diam menuju tempat Sigmund memarkirkan mobilnya.

Sigmund membuka pintu penumpang untukku.

Tanpa membuang waktu, aku masuk ke dalam mobil dan segera memakai sabuk pengaman.

Menutup pintu, Sigmund berjalan mengitari mobil, dan naik ke kursi pengemudi. Setelah memakai sabuk pengamannya, ia dengan cepat mengendarai mobil meninggalkan kafe itu.