Aaaaaa ... Teriakan Binar di pagi hari, dia sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya. Seorang pria yang tertidur di sampingnya dan bertelanjang dada.
"Berisik—apa kau tidak tahu jika aku masih mengantuk!" Adnan berkata lalu menutup matanya lagi untuk melanjutkan tidurnya.
Namun, dia kembali membuka kedua matanya dan dia teringat dengan gadis tengil yang sudah dia tolong semalam. Alan yang mendengar teriakannya Binar langsung masuk kedalam kamar begitu pula dengan Candra.
Adnan sadar jika Binar saat ini tidak menggunakan sehelai pakaian. Dia langsung menutup tubuh Binar dengan selimut karena dia tidak mau tubuh Binar dilihat dengan jelas oleh Alan dan Candra.
Dia berdiri lalu berjalan dengan santainya menuju kamar mandi. Adnan menyuruh Candra untuk menyiapkan pakaian bersih untuk Binar. Dan menyuruh Alan untuk keluar dari kamarnya.
"Hai Om—apa yang sudah kau lakukan padaku hah?!" teriak Binar yang sangat mengganggu.
Alan yang mendengar sahabatnya itu dipanggil dengan sebutan om, langsung terkekeh-kekeh. Adnan langsung menatap Alan dengan tatapan yang sangat tajam seperti elang yang sedang mengunci buruannya.
Meski Alan berusaha untuk tidak tertawa tetapi Binar selalu memanggilnya om terus-menerus. Sehingga pecahlah tawa Alan dan Candra.
"Hentikan tawa kalian—jika tidak aku akan mengirim kalian pergi ke Afrika, untuk membatu perusahaan di sana!" Adnan berkata dengan dingin.
Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel Binar yang dipegang oleh Candra. Binar meminta ponselnya kembali dan Candra menyerahkan ponselnya.
Binar mengangkat ponselnya, terdengar suara ayah yang bertanya bagaimana keadaannya. Terdengar juga isak tangis bunda dan suara Arganta yang bertanya keadaannya.
Dia tidak mau membuat keluarganya sedih, dia mengatakan jika dirinya baik-baik saja. Dan dia akan segera kembali ke rumah. Ayah mengatakan jika saat ini sedang dalam perjalanan untuk menjemputnya.
Setelah mengatakan semuanya, ayah menutup ponselnya dan Binar hanya bisa terdiam. Dia tidak tahu apa yang akan dikatakannya. Karena dia sudah sangat mengecewakan baik ayah atau bunda. Yaitu tidak bisa melindungi kehormatannya sebagai seorang wanita.
Candra tahu apa yang harus dia lakukan, dia pun pergi untuk menyiapkan pakaian yang di pesan oleh Adnan. Sedangkan Alan memilih untuk menunggu di luar sembari meminum kopi yang sudah dibuatkan oleh pelayan.
Tidak terasa air mata Binar menetes, dia tidak tahu lagi harus berkata apa pada kedua orangtuanya. Adnan yang melihatnya menangis berjalan mendekatinya.
"Mengapa kau menangis?" tanya Adnan dengan lirih.
Binar yang kesal dengan apa yang sudah terjadi langsung melayangkan pukulannya. Namun, pertahanan Adnan cukup baik sehingga bisa menangkis dan memegang tangan Binar.
"Dasar kau Om mesum—kau sudah merusak apa yang aku lindungi selama ini!" pekik Binar lalu dia meluapkan emosinya dengan menangis.
Adnan melepaskan tangan Binar lalu berjalan meninggalkan dirinya. Dia memasuki kamar mandi guna membersihkan diri. Setelah selesai dia keluar dan masih melihat binar bersedih.
"Bersihkan dirimu—sebentar lagi keluargamu akan tiba!" perintah Adnan pada Binar.
Tanpa mengucapkan sepatah kata Binar berjalan dengan melingkarkan selimut keseluruhan tubuhnya untuk memasuki kamar mandi. Dia membersihkan dirinya, terlihat jelas di tubuhnya ada jejak yang ditinggalkan oleh Adnan.
"Tubuh ini sudah kotor!" gumam Binar sembari mengambil cairan sabun lalu membasuh lamanya pada tubuhnya.
Meski sudah banyak sabun yang digunakan tetap saja dia tidak bisa menghapus semua jejak yang ditinggalkan oleh Adnan. 'Dasar om mesum—aku tidak akan memaafkannya! Akan aku balas kau, hingga akhir!' batinnya.
Binar selesai dengan rutinitas membersihkan dirinya, berjalan keluar melihat sekeliling kamar. Sudah tidak ada om-om yang membuatnya sangat marah dan kesal. Dia melihat pakaian yang sudah tertata rapi di atas tempat tidur.
Dengan cepat dia memakainya, tidak begitu lama Adnan masuk kedalam kamar dan mengatakan jika kedua orangtuanya sudah berada di bawah.
Binar bahagia lalu melangkah dengan cepat untuk bertemu dengan ayah dan bundanya. Namun, langkahnya terhenti saat dia teringat jika dirinya sudah kotor.
"Cepatlah! Apa kau tidak ingin pulang? Atau kau ingin tinggal bersamaku di rumah ini?!" Adnan berkata dengan nada menggoda Binar.
"Huh dasar Om genit!" Binar berkata dengan ketus lalu berjalan menuju kedua orangtuanya.
Di rumah sakit, terdengar teriakan yang begitu memilukan dari sebuah ruangan. Ya. Bagaimana tidak memilukan jika seorang gadis yang sudah di cemarkan oleh seorang pria yang sangat dibencinya.
Dia adalah Belva yang sangat hancur karena perbuatan Doni. Sudah berapa kali dia berusaha untuk mengakhiri hidupnya. Dia merasakan jika dirinya sudah kotor dan tidak berhak untuk hidup lagi.
Sang ibu yang berusaha untuk menenangkannya tidak berhasil. Hanya air mata dan tangisan sang ibu melihat keadaan putri kesayangannya itu.
Dia tidak menyangka jika akan terjadi hal yang begitu menyakitkan. Belva adalah putri satu-satunya yang dimilikinya, dia hanya hidup bersama dengan putrinya setelah kepergian sang suami untuk selama-lamanya.
"Hentikan ini sayang—apakah kau rela meninggalkan ibumu ini?" Ibu berkata dengan lirih sembari memeluknya dengan erat.
"Aku sudah kotor Bu—untuk apa lagi aku ada?" jawab Belva sembari menangis.
Ibu kembali berkata, tidak ada yang kotor jika itu semua bukan keinginannya. Dan ibu mengatakan dirinya tidak mengajarkan pada putrinya untuk menyerah dari setiap keadaan, meski itu terasa sulit.
Hidup tidak selalu bisa berjalan dengan keinginan kita, setiap cobaan yang menerpa harus kita jalani dan menikmatinya dengan ikhlas.
"Masih ada aku sebagai ibumu—jadi Ibu harap kau bisa kuat! Kuat untukku dan untuk dirimu sendiri." Ibu berkata lembut dengan nada untuk memberi semangat pada putrinya.
Bianca tiba di rumah sakit, dia melihat sahabatnya sendiri sedang terduduk termenung. Dia mendekat dengan perlahan, air matanya tidak terasa menetes dan membasahi kedua pipinya.
"Va...," panggil Bianca pada Belva yang duduk di atas tempat tidur rumah sakit.
Belva tidak mendengar panggilan Bianca, tubuhnya memang berada di sini tetapi pikirannya entah pergi ke mana. Ibu yang melihat Bianca tiba, tidak bisa berkata apa-apa lalu dia meminta Bianca untuk menjaga Belva sebentar karena ibu akan menemui dokter.
"Va ... Maafkan aku, ini semua salahku! Jika saja aku tidak mempermalukan Doni. Mungkin semua ini tidak akan terjadi!" Bianca berkata dengan beruraian air mata di atas pangkuan Belva.
Belva hanya diam, dia menghiraukan setiap perkataan yang terlontar dari mulut Bianca tetapi air matanya mengalir. Dia tidak bisa menahan gejolak yang ada di hatinya. Perasaan kecewa dan hancur sedang menggerogotinya.
Bianca terus menangis, dia terus mengepakkan dirinya atas semua yang telah terjadi. Saking kesal dan perasaan bersalahnya begitu besar sehingga dia mengatakan hal-hal yang sudah di luar batasannya.
"Va, jika aku benar-benar salah padamu—hukum saja aku! Aku berhak dihukum, mungkin aku berhak untuk tiada!" ucap Bianca.
"Ca, jika kau tiada hanya karena merasa bersalah padaku—apakah semuanya akan kembali seperti semula? Tidak, 'kan? Semua ini sudah terjadi, sekarang yang harus aku lakukan adalah bangkit demi ibu dan diriku sendiri! Jadi apakah kau mau selalu ada sebagai sahabatku?" Belva berkata, air matanya mengalir membasahi kedua pipinya.
Dalam hatinya ingin membendung air matanya agar tidak keluar. Namun, tidak bisa. Air mata ini memaksa keluar hingga membasahi kedua pipi putihnya.
"Aku akan selalu ada untukmu Va," jawab Bianca dan akhirnya mereka saling berpelukan dengan suara tangisan yang menyeruak.