Sudah tiga hari semenjak kepergian Marcello dan sampai saat ini Binar belum berhasil membuat Candra mengatakan di mana keberadaan Adnan.
Dia sudah mengerahkan segala cara untuk mengorek semua informasi dari Candra. Namun, semua yang dilakukannya tidak membuahkan hasil.
Ponsel Binar berdering, dia berjalan mendekat pada nakas lalu mengambil ponselnya. Tertata Arganta dalam layar ponselnya. Dia pun langsung mengangkatnya.
"Halo," ucap Binar.
Arganta langsung mengatakan jika dirinya sudah ada di pulau Jeju. Dia bertanya alamat rumah yang ditempati oleh Binar.
Mendengar kabar itu Binar sangat senang, dia pun mengatakan akan mengirim lokasi padanya. Setelah mengatakan itu Binar memutuskan sambungan teleponnya. Dia mengirimkan lokasi pada Arganta.
Binar sudah tidak sabar ingin bertemu dengan adiknya itu. Sudah sangat lama mereka tidak bertemu, rasa rindunya pun semakin kuat terhadap kedua orang tuanya.
Sehingga dia sedikit melupakan tentang Adnan. Dia berjalan keluar kamar untuk mencari Candra, Binar ingin meminta bantuannya menyiapkan sebuah kamar untuk Arganta.
"Apa kamu melihat di mana Candra?!" tanya Binar kepada seorang pelayan yang sedang bekerja.
"Sepetinya, Tuan Candra sedang ada di ruang baca," jawab pelayan itu.
"Baiklah lanjutkan pekerjaanmu," sambung Binar.
Binar berjalan menuju ruang baca, niat hati ingin mengetuk pintu. Namun, dia mendengar suara Candra yang sedang bicara dengan seseorang.
Jika didengar dari suaranya ada rasa khawatir, Binar semakin penasaran dengan siapa Candra berbicara. Dia membuka pintu perlahan agar tidak terdengar oleh Candra.
Pintu ruang baca terbuka sedikit sehingga Binar dapat mendengar dengan jelas apa yang sedang dibicarakan. Dia tidak melihat orang lain selain Candra, itu artinya Candra sedang bicara melalui sambungan telepon.
"Kau jaga dulu Tuan Adnan. Sebelum aku tiba di sana, jangan biarkan siapa pun menemuinya!" perintah Candra pada seseorang di seberang telepon.
"Apa yang terjadi? Adnan. Ada apa dengan, Adnan?!"Binar melayangkan beberapa pertanyaan pada Candra.
"Tuan, tidak apa-apa. Saya harap Nona tidak perlu mencemaskannya," jawab Candra yang berusaha untuk tetap tenang dalam setiap menjawab pertanyaan Binar.
"Kau bohong! Cepat katakan padaku! Jika tidak aku akan mencari di mana pun dia berada dan kau akan menyesali semuanya, Candra!!" pekik Binar.
Dia sudah tidak tahan lagi dengan sikap Candra yang selalu berbohong tentang Adnan. Dalam hatinya sungguh ingin bertemu dengan suaminya itu.
Binar tidak mendengar jawaban dari Candra, dia pun berjalan keluar dari ruang baca. Dia berniat untuk pergi mencari Adnan, tidak peduli di mana pun berada.
"Nona, tunggu!" Candra mengejar Binar yang sedang marah.
"Aku tidak peduli! Katakan di mana suamiku! Atau kau ingin melihat aku mati!!" tukasnya.
"Baiklah. Akan saya bawa Anda pada Tuan Adnan!" timpal Candra.
Binar menghentikan langkahnya, dia menatap Candra ingin tahu apakah asisten dari suaminya itu tidak berbohong.
"Ikuti saya," ucap Candra sembari berjalan terlebih dahulu.
Candra membukakan pintu mobil seraya mempersilakan Binar untuk masuk. Binar pun memasuki mobil lalu mobil pun berjalan meninggalkan rumah. Binar melupakan seseorang yang akan tiba di rumahnya. Dia tak lain adalah Arganta.
Perjalanan menuju tempat Adnan begitu berliku, entah di mana dia berada saat ini. Memasuki sebuah hutan yang sepertinya jarang dilewati orang.
Binar hanya bisa terdiam memandangi jalanan sembari memikirkan apa yang sudah terjadi pada Adnan. Hatinya merasa tidak enak, entah mengapa dia merasa akan terjadi sesuatu yang sangat buruk.
"Apakah masih lama?" tanya Binar pada Candra.
"Sebentar lagi kita akan tiba, Nona." Jawabnya.
Beberapa saat kemudian mobil terhenti tepat di depan sebuah gerbang besi yang menjulang tinggi. Ada beberapa pengawal yang menjaganya, lalu gerbang besi itu terbuka perlahan.
Mobil pun memasuki sebuah kawasan yang sangat luas. Binar tidak menyangka jika di dalam hutan ini ada sebuah mansion yang di tengah-tengah hutan.
Jarak dari gerbang masuk hingga ke mansion membutuhkan waktu lima menit jika menggunakan kendaraan. Mungkin akan membutuhkan waktu yang lama jika berjalan kaki.
Mobil kembali terhenti di depan sebuah bangunan yang begitu besar. Terlihat sangat megah tetapi begitu menyeramkan. Dalam artian banyak hawa yang membuat bulu kuduk berdiri.
Aaaaaaa ... Terdengar teriakan yang begitu memilukan saat Binar menginjakkan kakinya di atas tanah. Matanya terbelalak, ada rasa takut yang muncul dalam dirinya.
"Nona, mari ikuti saya," Candra berkata sembari mempersilakan Binar untuk mengikutinya.
Binar tidak banyak bicara, dia terus mengikuti langkah Candra. Masih terngiang teriakan yang membuatnya merasa pilu.
Sebenarnya dia ingin bertanya siapa yang berteriak itu. Namun, lidahnya kelu dan tidak bisa bertanya pada Candra.
Terdengar kembali teriakan yang begitu memilukan. Semakin didengar suara itu seperti suara Adnan, apakah yang berteriak sedari tadi adalah dia.
Candra berhenti tepat di depan pintu sebuah ruangan yang begitu besar. Pintu itu terkunci dari luar, seperti sedang memenjarakan seseorang di dalam.
Aaaaa ... Kembali terdengar suara teriakan dan itu berasal dari ruangan yang ada di hadapan Candra dan Binar.
Tidak begitu lama tiba seseorang dari arah samping. Seorang pria yang berpakaian serba putih, pria itu tak lain adalah Alan.
"Kau membawanya?" tanya Alan pada Candra.
"Iya. Karena Nona ingin bertemu dengan tuan," jawabnya.
"Apa kau tidak menyesal jika Adnan menyadarinya dan kau mendapatkan hukuman darinya?!" Alan kembali bertanya.
"Aku akan terima semua hukuman dari Tuan Adnan," timpal Candra.
Alan menyuruh seorang pengawal untuk membuka pintu ruangan tersebut. Binar masih tidak bisa berpikir apa yang sedang terjadi.
Pintu terbuka perlahan, ruangan tersebut begitu gelapnya. Sehingga terasa pengap jika berada di dalamnya. Alan memasuki ruangan terlebih dahulu baru diikuti oleh Candra.
Sedangkan Binar masih mematung di depan pintu, entah mengapa kedua kakinya terasa sangat berat untuk memasuki ruangan yang sangat gelap itu.
Candra menekan sakelar sehingga ada seberkas cahaya yang menerangi ruangan itu. Terdengar kembali teriakan yang bisa membuat orang yang mendengarnya menangis.
"Matikan lampunya! Sudah kubilang aku tidak butuh cahaya!" pekiknya.
Air mata Binar menetes, dia begitu sedih dengan apa yang dilihatnya. Seorang pria yang selalu bersikap dingin dan kejam serta pencemburu, bisa dalam keadaan seperti ini.
Binar berusaha menguatkan kedua kakinya untuk melangkah masuk kedalam ruangan itu. Dadanya terasa pengap saat memasukinya.
Dia merasa jika ruangan ini begitu menyedihkan, begitu banyak air mata dan penderitaan. Binar hampir dibuat sesak saat berada di dalamnya.
"Cepat matikan lampunya, Candra!!" teriaknya yang mengetahui jika di sampingnya ada Candra.
"Tidak. Anda karena ada yang membutuhkan cahaya itu," jawab Candra.
"Siapa? Aku tidak membutuhkannya dan kalian berdua pun tidak perlu mengurusi aku!" tukasnya dengan nada tinggi.