Aku terbangun dengan napas menderu. Keringat dingin membanjiri tubuhku, membiarkanku menatap pantulan diriku dari cermin oval yang menghadap langsung dengan ranjang tempatku saat ini.
Aku mengacak pelan rambutku, menatap diriku yang begitu berantakkan.
Apa yang terjadi?
Itu adalah pertanyaan pertama yang terlintas di benakku.
Seingatku, aku tidak bermimpi apapun yang menyeramkan. Akan tetapi mungkin aku melupakannya. Sudah menjadi hal biasa bagi seseorang yang tidak dapat mengingat apa yang dimimpikannya, bukan?
Mataku melirik arloji yang bertengger di dinding kamar. Aku menghela napas pelan, kemudian bangkit dari tempat tidurku. Beranjak mengambil handuk dari lemari, lantas menuju kamar mandi.
Setelah selesai membersihkan diri, aku memakai seragam sekolahku, kemudian menyiapkan buku pelajaran untuk hari ini. Suara hujan terdengar begitu keras dari luar. Hari ini hujan deras sekali, mungkin akan awet hingga siang nanti.
Aku menyelempangkan tas yang sudah lengkap berisikan buku pelajaran ke pundakku, meraih dompet, lantas melangkah menuju dapur.
Suasana dapur begitu dingin dan mencekam, seolah sudah lama ditinggalkan. Aku menghela napas pelan. Tanganku meraba-raba dinding, mencoba mencari sakelar lampu.
Tik.
Aku meraih remote televisi, menekan tombol power, lantas mulai membuat omelet sebagai sarapan. Membiarkan suara berita pagi yang disiarkan dari televisi menemani.
"Breaking news! Telah terjadi hujan secara serempak di seluruh belahan dunia! Ini adalah fenomena alam yang paling menggemparkan dunia!"
Suara letusan minyak goreng yang sudah memanas di atas wajan membuatku segera mengecilkan api. Tanganku dengan terampil mengocok telur di mangkuk, menambahkannya sedikit garam, kemudian menuangkan adonan telur itu ke atas wajan.
Seorang pengacara di televisi tampak sedang mewawancarai seorang pria berkumis tebal. Kalau tidak salah, pria itu memiliki jabatan tinggi dalam politik negara.
Aku benci jika sudah menyangkut urusan politik.
"Bagaimana jika menurut anda, Tuan?"
"Menurut saya, ini adalah sebuah petanda. Mungkin era baru sebentar lagi akan tiba*."
Pip.
Aku mematikan televisi, muak mendengar lebih jauh. Dengarlah omong kosong itu. Era baru apanya, hah?
Aku menunduk begitu indra penciumanku menangkap aroma tak sedap. Kutatap lekat-lekat omeletku yang mulai kecokelatan di atas wajah.
Ah, omeletku gosong.
Sial.
***
Pagi ini hujan deras sekali, membuatku menggigil kedinginan. Aku merapatkan jaketku, kemudian melangkahkan kakiku dengan pelan. Tanganku menggenggam erat payung, agar tidak tengkurap dan terbawa angin.
Aku berjalan sembari menatap sekitar. Aroma harum dari kedai makanan yang berjejer rapi di pinggir jalan sedikit menenangkanku. Aku menatap jalanan yang sedikit sepi. Entah mengapa, aku berhalusinasi, jika ada sebuah mobil yang melaju kencang di tengah badai hujan, lantas menabrak tiang akibat rem yang rusak.
Aku tersentak pelan, tadi aku melamun? Apa yang aku pikirkan?
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Seharusnya aku tidak boleh memikirkan hal-hal yang aneh seperti itu.
Tiba-tiba, suara keras mengejutkanku, hampir membuatku terjengkal ke belakang. Suara teriakan para warga sekitar membuat perasaanku makin tidak enak. Apa yang terjadi?
Aku refleks menahan napasku, pupil mataku mengecil begitu mendapati mobil yang hampir hancur akibat tertabrak tiang. Para warga di sekitar mencoba menyelamatkan pengendara mobil yang masih terjebak di dalam mobil itu.
Aku menutup mulutku, tidak percaya. Aku kembali menggeleng-gelengkan kepalaku. Tidak, tadi itu pasti hanyalah sebuah kebetulan!
Karena tidak ada apapun yang bisa kulakukan, aku hanya meneruskan langkah kakiku menuju sekolah.
***TBC***