Kata Aland, misi kami disini adalah mencari informasi tentang rencana organisasi yang bernama Black Rose ini. Mereka yakin bahwa organisasi ini mempunyai rencana busuk. Bukan, aku bukannya meragukan mereka. Tapi masalahnya, bagaimana mungkin mereka tahu bahwa Organisasi tersebut memiliki rencana terselubung?
"Jadi secara tidak langsung, kamu tidak mempercayai perkataan Ketua Osis?" Nata yang memang berjalan di sampingku menyatakan ketidak sukaannya.
Aku memutar bola mataku. "Kamu tidak bisa membaca pikiran semua orang. Itu privasi."
"Maaf," Nata mengangkat kedua bahunya tampak tidak berdosa. "Aku sudah me-non aktifkan kekuatanku. Ayo bicara,"
Aku menghela napas. Baru saja hendak membuka mulut untuk bertanya, jika saja halusinasi tidak muncul di penglihatanku. Aku melihat, saat sedang berjalan menelusuri koridor, atap ruangan runtuh jatuh menimpa kami, kedua dinding sekitar menghantam diriku dan Nata. Aku terhentak, nyawaku dan Nata dalam bahaya.
Mataku segera menelusuri sekitar. Aku menemukan sebuah belokan yang sepertinya menuju taman atau apapun itu asal tidak di dalam ruangan. Aku meraih cepat tangan Nata, kemudian menyeretnya lari secepat mungkin.
"Hey! Apa yang kamu lakukan?!" Sahut Nata sedikit terkejut dengan tindakanku yang mungkin terlalu tiba-tiba.
Aku tidak menjawab, mataku terlalu fokus memperhatikan sekitar. Penglihatanku tak mungkin salah, biasanya masa depan yang dapat kulihat akan terjadi sekitar satu sampai dua menit kedepan. Hal itu terbukti saat mataku mendapati dinding atap yang mulai meretak sedikit demi sedikit. Dinding mulai merapat meskipun samar. Kepulan asap mulai terlihat di pandanganku.
"A-Apa yang terjadi?!!" Pekik Nata yang terlihat panik.
Kami mempercepat langkah kaki kami. Tepat saat atap ambruk dan hampir menyapu bersih tubuhku dan Nata, aku melompat ke arah kanan yang terhubung langsung dengan pintu keluar menuju taman.
Aku terengah-engah. Kakiku mati rasa, tak sanggup menopang tubuhku, aku jatuh terduduk di atas permadani rerumputan hijau. Jantungku berdetak keras tak karuan, seperti baru saja marathon mengelilingi satu dunia.
Keringat dingin membasahi tubuhku, aku mencoba untuk tenang dan mengatur pernapasan. Dari reaksinya tadi, kupikir Nata akan mengalami hal yang sama denganku, tapi kurasa aku luar biasa salah.
Nata berdiri sambil tertawa puas di sebelahku―meski dengan napas terengah-engah. "Hebat, hebat! Tak kusangka kau benar-benar seorang penglihat masa depan." Nata melambaikan tangannya ke langit. Sebuah benda super kecil seukuran lalat berdesing pelan di dekatnya. "Kau lihat itu, Nathan? Tadi itu keren sekali!"
Benda kecil melayang yang sepertinya adalah kamera itu berdesing pelan kemudian mengeluarkan suara yang sedikit terputus-putus. "Tapi tadi bahaya sekali, Nata."
"Aku tahu, tapi itu keren!"
Aku menatap bingung kearah Nata, menuntut penjelasan. "Apa maksudnya ini?"
Nata menyengir lebar. "Tadi hanya tes untuk memastikan bahwa kau benar-benar seorang penglihat masa depan. Jadi, aku meminta Nathan untuk membuatkan tempat tesnya."
"Dasar gila!" Umpatku kesal. "Kamu hampir membunuhku!"
"Tapi nyatanya kan tidak." Nata membela diri. "Nah, sekarang ayo, aku akan mengantarmu ke kamar barumu." Gadis bersurai pirang itu menjulurkan tangannya padaku.
Aku yang masih merasa kesal menepis uluran tangan Nata. "Aku bisa bangun sendiri." Aku berseru ketus.
Nata hanya mengangkat kedua bahunya.
Aku beranjak bangun dan mengekori Nata masuk kembali kedalam koridor yang berbeda dengan koridor yang kulewati tadi.
"Jadi, apa yang ingin kamu tanyakan tadi?"
Helaan napas berat yang kuciptakan membuat Nata menyengir lebar. "Kalian tahu dari mana bahwa Organisasi bernama Black Rose ini mempunyai niat jahat?"
"Sudah kami bilang, kan? Kami pernah mengirim seseorang untuk mengintai." Nata menatap datar lurus kedepan. Meskipun begitu, terlihat kebencian dan kesedihan yang begitu mendalam dari matanya. "Dulu, ada seseorang yang juga bisa melihat masa depan seperti dirimu."
Aku sedikit tersentak karena terkejut. "Eh? Apa?"
Gadis bersurai pirang itu memainkan anak rambutnya yang begitu panjang dengan jemari lentiknya. "Dia berhasil melihat masa depan―maksudku benar-benar masa depan. Dia melihat mungkin sekitar dua sampai tiga tahun kedepan, Organisasi dengan lambang mawar hitam melakukan sesuatu yang nyaris menghapus bersih bumi."
Sesuatu yang aneh seperti menjanggal tenggorokanku. "M-Menghapus bersih bumi..?"
Nata mengangguk. "Dan, Kepala sekolah, yang sekaligus adalah seorang peneliti yakin, bahwa Sindrom ini muncul bukan tanpa sebab." Nata menatap telapak tangannya dengan pandangan kosong. "Dia yakin bahwa ini adalah berkat dari Tuhan untuk menghentikan rencana gila mereka melalui para remaja diseluruh belahan dunia."
"Lalu, dimana seseorang yang melihat masa depan itu sekarang?"
Hening sesaat, mata Nata memancarkan kesedihan dan emosi yang bercampur aduk menjadi satu, entah apa itu disebutnya. Dia menggigit bibi bawahnya dan menggepalkan tangannya erat-erat. "Dia... sudah tiada." Gadis itu memalingkan wajahnya dari tatapanku. "Black Rose membunuhnya saat dia mencoba memberitahu kebenaran itu kepada masyarakat."
Aku terdiam, apakah itu berarti jika aku terlibat dengan sekolah ini, maka nyawaku juga akan terancam? Hell, no! Aku bahkan belum genap lulus SMP! Dan untuk catatan, setidaknya tunggu aku menikah dulu, baru aku rela terbunuh. Aku juga ingin punya masa depan, tahu!
"Kamu kira kau saja yang ingin seperti itu?" Nata menatap kesal diriku, yang jika kusimpulkan, dia barusan membaca isi pikiranku. Langkah Nata terhenti, membuatku ikut menghentikan langkahku. "Sudah sampai,"
Aku terpana, menatap dua gedung tinggi yang mirip Aparterment menjulang begitu memanjakan mata. "K-Keren!"
Nata terkekeh pelan. "Memang ini Aparterment." Tangannya menunjuk dua gedung Aparterment itu dengan sedikit bangga. "Yang sebelah kanan gedung perempuan, dan sebelah kiri gedung laki-laki." Telunjuknya mengarah pada bangunan persegi panjang yang menyambungkan kedua gedung tersebut. "Dan yang itu Kafeteria." Setelah berkata seperti itu, Nata melemparkan sebuah benda kecil kearahku, yang refleks―dan untungnya―berhasil kutangkap. "Itu kunci ke kamarmu."
Aku menatap kunci dengan gantungan bertuliskan "Ruang 778". Aku menatap Nata, meminta penjelasan lebih.
"Kamar 778 itu ada di lantai 7, makan malam dimulai pukul 7 malam, sarapan pada pukul 6, dan kelas akan dimulai pada pukul 9 pagi. Sisanya sudah kutinggalkan catatan di kamarmu. Sudah, aku duluan ya!" Sahut Nata sambil berlalu meninggalkanku sendirian, melongo seperti orang bodoh di depan gedung Aparterment.
Kakiku melangkah, memasuki pintu kaca Aparterment yang terbuka sendiri seperti pintu Mall. Udara dingin menggelitik kulitku, seperti menarikku untuk masuk kedalam. Bagaikan Lobi hotel bintang 5, aku melihat jejeran Sofa dan meja disana, tak lupa dengan karpet berbulu yang melapisi lantai yang kutapakki. Aku berjalan lambat-lambat menuju Lift, sembari menatap keindahan sekitar dengan penuh kagum.
Aku memasuki Lift yang terbuat dari kaca, membiarkanku dapat melihat pemandangan luar yang tak kalah indah. Hamparan hutan yang begitu asri, dengan danau jernih yang tampak seperti permata berkilauan diterpa sinar mentari. Aku yang belum pernah pergi ke luar negeri sama sekali, baru kali ini dan lagi akan tinggal di Los Angeles yang begitu keren.
Tanganku menekan tombol lantai 7, kemudian Lift mulai bergerak naik. Aku menikmati pemandangan luar, sampai tak menyadari pintu Lift kembali terbuka, dan menampakkan seorang gadis bersurai dark orange memasuki Lift yang sama denganku.
Gadis itu memiringkan kepalanya, menatapku yang masih terbuai dengan pamandangan yang memanjakan mata. "Hey,"
Teguran dari gadis itu sukses membuatku terkejut dan secepat kilat menoleh ke arah sumber suara. "Y-Ya..?" Sumpah demi apapun, aku begitu gugup dibuatnya.
Gadis dihadapanku itu tertawa pelan, kemudian berkecak pinggang dengan sebelah tangannya bak seorang model. Eh tunggu, dia memang begitu cantik dan mirip seorang model, kok.
Tapi jika diperhatikan, aku seperti pernah bertemu dengannya. Tapi dimana? Aku memejamkan mataku, berpikir keras, sebelum akhirnya mendapat pencerahan. "Oh, kau yang tadi siang ada di ruang Osis ya?"
"Bingo!" Gadis itu tersenyum lebar, senyum yang begitu menawan dan mungkin saja bisa membuat kutub utara dan kutub selatan meleleh. Oke, itu mungkin berlebihan. Tapi serius! Dia sangat cantik. "Kita belum sempat kenalan ya? Perkenalkan, namaku Mauren Heavencia, panggil saja Mauren. Selamat datang di Calista Academy!" Gadis yang bernama Mauren itu mengulurkan tangannya padaku.
Ini kali keempat aku mendengar ucapan "Selamat datang di Calista Academy!", mungkin menghitung berapa banyak kalimat itu akan menjadi hobi baruku mulai saat ini. Aku menjabat tangannya dengan penuh antusias. Dibandingkan dengan sifat Nata dan Maria, Mauren lebih ramah dan baik hati. "Na-Namaku Anise Verenica Soraya, panggil saja Anise. Aku berasal dari Indonesia."
Mauren tersenyum lebar. "Aku dari Rusia."
Tanpa sadar, aku memiringkan kecil kepalaku. "Bukankah biasanya orang Rusia memiliki rambut yang terang? Pirang misalnya,"
Mauren tertawa renyah, "yah... mungkin itu mengapa aku selalu dikucilkan."
Suara dentingan berbunyi, pintu besi Lift terbuka dengan sendirinya menampakan beberapa sofa panjang dan televisi besar. Ada beberapa orang yang sedang menonton televisi sembari memakan camilan disana. Aku menoleh menatap Mauren, "kamu tinggal di Lantai 7?"
Mauren menggeleng, "aku di Lantai 8."
Aku hanya ber-oh ria, kemudian tersenyum manis. "Kalau begitu, aku duluan ya!" Pamitku sambil melambaikan tangan, dan dibalas dengan lambaian tangan dari Mauren.
Aku melangkah keluar dari pintu Lift, dengan sedikit kikuk. Beberapa orang yang sedang menonton televisi menyapaku dan mengucapkan kalimat yang sama―you know what i mean.
Aku kemudian menelusuri koridor dan melihat papan nomor yang berada di setiap pintu yang aku jumpai. "772, 774, 776, ah! Ini dia." Aku memasukkan mata kunci di lubang kunci kamar nomor 778.
Clek!
Tanganku memutar kenop pintu tersebut, membiarkan pintu tersebut terbuka lebar dan menampakan kamar ala Hotel bintang 5 terlihat di indra penglihatanku.
Aku masuk kedalam, kemudian menutup pintu dan menatap kagum isi kamarku yang lebih mewah berkali-kali lipat dari kamarku yang dulu. Aku berjalan dan menemukan secarik kertas dan sebuah surat yang begitu familiar di mataku.
Sejenak, aku segera menyambar surat tersebut. Tidak salah lagi, ini surat undangan yang aku temukan tadi siang saat pulang sekolah di kotak surat! Bagaimana mungkin? Seingatku, aku meninggalkannya diatas meja belajar dan membiarkannya ikut terbakar bersama rumahku. Tapi, lihatlah, surat ini kembali lagi padaku? Memikirkannya saja membuatku bergidik ngeri.
Aku meletakan kembali surat itu, kemudian membaca secarik kertas yang mungkin adalah tulisan tangan dari Nata.
Dear Anise Verenica Soraya,
Selamat datang di Calista Academy, akademi untuk mengumpulkan semua orang berbakat dari seluruh penjuru dunia!
Maaf tidak bisa memberi tahumu langsung, karena aku sedang mendapatkan misi khusus untuk mematai-matai Organisasi Black Rose.
Oh, aku harap kamu tidak melakukan hal yang aneh ya dengan kekuatanmu!
Sarapan dimulai pukul 6, makan siang pukul 1, dan makan malam pukul 7.
Di lemari sudah ada seragam musim panas dan musim dingin, lengkap dengan almamater dan mantel. Oh, disana juga sudah disiapkan beberapa set baju sehari-hari dan piyama secara acak. Karena menurut data kamu nyaris tidak pernah memakai rok selain rok sekolah, jadi aku memperbanyak pakaian dengan rok di lemarimu, ini semua agar kau lebih feminim.
Kamu masuk kelas 1-A ya! Jangan lupa kelas dimulai pukul 9 pagi, dan berakhir pukul 3 siang.
Jam malam dimulai dari jam 8 sampai jam 10, hari sabtu ada kelas tambahan dan hari minggu libur.
Sepertinya sudah cukup yang kuberi tahu, tanganku pegal menulis ini semua. Kalau masih bingung, tanyakan saja sama tetangga kamar sebelah. Oke, sampai jumpa!
Big Love, Nata.
Oke, kuberitahu ya, catatan di kertas ini sebagian besar tidak berguna. Dan, apa-apaan?! Rok?! Aku segera melesat menuju lemari kayu besar dua pintu dan segera membuka dan melihat isinya. Di bagian kiri berisi seragam, mantel, jaket, dan beberapa pasang sepatu. Sedangkan di sebelah kanannya... baju casual berwarna pastel dan rok penuh renda?! Astaga! Aku tidak akan pernah memakai baju ini!
Aku menghela napas saat mendapati beberapa pasang baju berwarna gelap dan celana panjang. Setidaknya, aku masih bisa memakai baju seperti itu.
Aku menutup pintu lemari dan kembali menatap secarik kertas di tanganku dengan sebal. Baiklah, aku bahkan belum melaksanakan Ujian Nasional dan sekarang sudah masuk SMA? Apakah ini bisa masuk keajaiban dunia nomor 8?
Aku melempar asal secarik kertas tersebut, kemudian merebahkan diriku di sebuah kasur putih berukuran king size yang sangat empuk. Punggung tanganku menutupi mataku, membiarkan pandanganku semuanya gelap. Aku merenung sesaat, semua kejadian ini terjadi begitu cepat. Baru saja rasanya tadi pagi aku berangkat ke sekolah dan bertengkar dengan Kelvin tentang lembaran rencana masa depan, sekarang mungkin semua rencana itu sudah purna.
Kelvin si pengendali Gravitasi...
Itu kalimat terakhir yang kupikirkan sebelum akhirnya benar-benar terbuai dan membiarkan kelelahan mengusai diriku, sebelum akhirnya aku jatuh tertidur.
***TBC***