Aku menemukan sebuah surat di dalam kotak pos rumahku.
Tanpa sadar, aku menaikan sebelah alisku, menatap surat yang dibalut amplop putih dengan stempel biru bergambar phoenix di sudut kiri atas amplop. Sudah lama sejak terakhir kali aku menerima sebuah surat--kecuali surat tagihan listrik atau sebagainya. Ayah dan ibuku telah meninggal karena kecelakaan mobil beberapa tahun yang lalu. Aku tidak memiliki saudara, ataupun kerabat dekat. Aku hidup sehari-hari ini dengan bantuan beasiswa dan harta warisan dari kedua orangtuaku.
Aku memutuskan untuk masuk kedalam rumah dengan membawa surat itu di tanganku. Setelah mandi dan mengganti pakaian menjadi pakaian casual, aku berbaring di tempat tidur, lalu membuka amplop di tanganku.
Surat yang bertuliskan "Youre invited to Calista Academy" di kepala surat membuatku mengerutkan keningku. Calista Academy? Dari namanya, sepertinya itu terdengar seperti sebuah sekolah. Jadi, ceritanya aku diundang ke sebuah sekolah, begitu? Apakah ini semacam beasiswa atau semacamnya?
Mataku menelusuri seluruh halaman surat tersebut. Ya, ini seperti beasiswa. Aku sering menerima beasiswa, tapi tidak pernah ada yang seaneh ini. Sekolah macam apa yang mengundang seorang murid lewat surat? Selama hidupku, sekolah-sekolah yang menawarkanku beasiswa pasti akan datang langsung padaku, atau paling normal, mereka menitipkan surat kepada kepala sekolah―menitipkan dengan mengirim beda, lho.
Surat itu kulempar asal ke meja belajarku, kemudian aku merebahkan diri, lantas memejamkan mata, mencoba melepaskan seluruh lelah tubuhku untuk hari ini.
Sebuah ilusi terlintas jelas di depan mataku. Aku melihat sebuah bola hitam melesat secepat kilat menembus kaca kamarku, membuatnya pecah berkeping-keping, lantas meledak dan membakar diriku dan barang-barang di sekitarku.
Aku terhentak, sedetik kemudian aku melesat mengambil tas selempangku di balik pintu dan sebuah jaket, lantas segera membuka jendela kamarku yang segera terhubung langsung dengan halaman depan, kemudian lalu dengan nekatnya aku melompat, membiarkan tubuhku berguling di genting beberapa saat dan membentur permadani hijau teras rumah.
Tanpa berpikir dua kali, aku segera berlari sekencang mungkin keluar dari teras.
Tepat saat kakiku menapak aspal jalanan rumahku, ledakan dahsyat terdengar di lantai atas rumahku, membuat api berkobar dan mulai menjalar mencoba membakar seluruh rumah. Tubuhku terhempas beberapa meter akibat ledakan itu, membuatku tersungkur menahan sakit sambil merintih pelan.
Beruntungnya aku, bisa keluar hidup-hidup dari kejadian barusan. Jika saja aku terlambat persekian detik, mungkin aku sudah terbakar dan menjadi tumpukan abu sekarang.
Mataku menatap sayu rumah yang sudah kuhuni sejak aku lahir. Rumah yang memiliki sejuta kenangan manis hingga pahit tentang diriku, sekarang sudah terbakar habis oleh api.
Aku berdiri dengan tertatih-tatih, mengenggam erat tali tas selempangku dengan tangan bergetar. Aku sudah memperkirakan hal ini akan terjadi. Sejak aku mendapatkan kekuatan aneh ini untuk melihat masa depan dua tahun lalu, aku tahu bahwa pasti suatu saat hidupku akan berubah. Maka dari itu, aku selalu menyiapkan tas darurat jika sewaktu-waktu aku harus meninggalkan rumah secara terpaksa.
Namun, aku hanya tidak menyangka akan secepat ini.
Sekarang, aku kehilangan tempat untuk pulang. Lalu, akan kemana aku sekarang? Apa yang harus aku lakukan?
Aku teringat sebuah surat undangan beasiswa yang aku temukan di kotak surat. Kalau tidak salah, sekolah itu menerapkan sistem Asrama. Haruskah aku menerima tawaran beasiswa tersebut?
Aku menggelengkan kepalaku kencang-kencang. Tidak, masih banyak sekolah bagus yang memakai sistem Asrama yang menawarkan beasiswa kepadaku. Aku tidak memiliki alasan untuk menerima beasiswa dari sekolah aneh seperti ini, kan?
"Tentu saja kau memilikinya."
Aku terhentak, hampir saja terjungkal karena saking terkejutnya saat mendapati seorang gadis yang tampak seumuran denganku muncul entah dari mana di belakangku. "S-Siapa kamu?" Aku memasang kuda-kuda, was-was jika gadis itu mencoba menyerangku. Tuhan, aku berharap dia bukanlah seorang pencuri yang tega mencuri sisa uang anak gadis yang baru saja kehilangan semua harta bendanya.
"Aku bukan pencuri." Ujar gadis itu dengan nada tersinggung. "Aku disini diutus untuk menjemputmu oleh Ketua Osis, itu saja."
Kakiku bergetar hebat dan nyaris saja tak bisa menopang tubuhku sendiri. Bagaimana mungkin dia mengetahui isi pikiranku? Dan lagi, "me-menjemputku?" Aku mati-matian mengatur raut wajahku agar tidak terlihat ketakutan. Dia bilang menjemputku? Kemana? Apakah jangan-jangan aku sudah mati tapi aku tidak menyadarinya, dan dia datang untuk menjemputku ke alam lain? Atau dia mengetahui tentang kekuatanku dan kesini untuk menyulikku dan memajangku di Museum? Tidak terima kasih.
Gadis itu memutar bola matanya malas, kemudian berdecak pelan. "Siapa juga yang ingin memajangmu di Museum? Dan untuk catatan, aku bukan orang jahat."
Tidak ada pencuri yang jujur. Jika para pencuri jujur, penjara akan penuh. Kata-kata yang sering diucapkan orang-orang sekitar terngiang-ngiang di benakku, membuatku ragu untuk mempercayai orang di hadapanku ini.
"Kalau aku penjahat, aku sudah membunuhmu sejak awal." Ujar gadis itu dengan sebal karena aku tidak kunjung mempercayai perkataannya, membuatku meringis pelan. "Daripada kamu makin tidak mempercayaiku, biarkan aku langsung ke poin saja." Gadis itu berdiri tegap ala prajurit kerajaan, kemudian menunduk kecil kepadaku, membuatku mundur beberapa langkah ke belakang. "Selamat datang di Calista Academy, Anise Verenica Soraya. Kami telah menunggu kehadiranmu selama ini!"
Tenggorokanku seperti tersumpal sesuatu yang padat. Bagaimana mungkin dia mengetahui namaku? Jangan-jangan dia Stalker?!
"Kamu terlalu berisik dalam batin!" Ujar Gadis itu dengan nada memprotes.
Walaupun aku tidak mengerti apa yang dia katakan, namun entah mengapa aku tetap merasa bersalah, "Eh, maaf, um..."
"Panggil aku Nata." Katanya cepat. Raut wajah gadis itu yang tadinya datar, berubah menjadi sedikit panik, seperti baru saja melihat hantu yang muncul begitu saja di hadapannya. Tanpa aba-aba, dia menarik tanganku dan berlari, memaksa diriku yang masih terpincang ikut berlari. "Sial," umpatnya.
Aku yang tidak mengerti apa yang terjadi segera melotot tak percaya saat melihat segerombolan orang berpakaian serba hitam sedang berlari beberapa meter di belakang, tengah mengejar kami. "S-Siapa mereka?!" Teriakku histeris.
"Orang yang sebenarnya jahat," jawab gadis yang bernama Nata itu dengan wajah serius. "Merekalah yang seharusnya kau kira jahat, bukan aku."
Astaga, dia masih mempermasalahkan itu? Serius?!
"Kita mau kemana?" Tanyaku disela engahan nafas tanpa memperlambat langkah kaki kami.
Nata menarikku tiba-tiba disebuah tikungan, nyaris membuatku terjatuh, namun itu lebih baik daripada aku menabrak pohon besar yang berada di sekitar tikungan. "Ke tempat temanku berada."
Aku menoleh ke belakang, menatap cemas segerombolan orang berbaju hitam yang berjarak semakin dekat dengan kami. "A-Apa kita bisa selamat?"
"Tentu saja!" Nata meraih sesuatu di dalam saku jaketnya, kemudian melemparkan secawan kecil cairan ke belakang. Tepat saat cawan itu penah menyentuh tanah, asap putih tercipta menghalangi sekitar, membuat pergerakan orang-orang di belakang melambat. "Nah, rasakan itu!"
Aku menatap ngeri kepulan asap putih di belakang, sedangkan Nata tertawa puas. Kami terus berlari hingga sampai di sebuah gang kecil yang kumuh. Disana, seorang gadis dengan rambut hitam dikuncir ponytail sedang bersedekap dan menyender ke tembok, bersama seorang pria yang hampir saja membuat bola mataku lepas dari tempatnya karena melotot saking tak percayanya.
"K-Kelvin?!" Aku menjerit tertahan. "Apa yang kamu lakukan disini?!"
Kelvin, si cowok menyebalkan itu duduk dengan wajah super pucat dan menatapku dengan mata sayu. Meski begitu, terukir dengan jelas bahwa ia terkejut saat menemukanku berdiri beberapa meter di hadapannya. "Anise?!"
"Syukurlah kalian saling kenal." Gadis bersurai hitam itu menatapku dan Kelvin bergantian.
"Hey, Maria! Cukup basa-basinya, mereka semakin dekat! Cepat teleportasikan kita ke Sekolah!!" Sahut Nata dengan kesal sembari sesekali menengok kebelakang, cemas orang-orang berbaju hitam tadi menangkap kami.
"Kamu dikejar mereka? Kasihan sekali." Ledek gadis yang bernama Maria itu dengan seringaian kecil. "Baiklah, ayo kita pergi."
"Tunggu!" Kelvin berdiri dari tempatnya, kemudian menatap tajam Nata dan Maria secara bergantian. "Kemana kalian akan membawaku― maksudku, kemana kalian akan membawa kami?!"
Aku mengangguk setuju. Itu adalah salah satu dari seribu pertanyaan yang tersimpan di otakku sejak kejadian tadi menimpaku.
"Kemana?" Maria tersenyum miring.
Salah seorang berpakaian serba hitam terlihat dari kejauhan, bersama segerombolan lainnya di belakangnya. Tidak salah lagi, mereka adalah orang yang mengejarku tadi.
"Tentu saja ke Sekolah!" Lanjutnya.
Tepat saat sebuah benda berbentuk lingkaran kecil―yang kusimpulkan adalah sebuah granat―terlempar ke arah kami, Maria mengatakan sebaris kalimat. "Teleportation: Actived!"
Sedetik kemudian, cahaya putih adalah hal terakhir yang kulihat disana.
***TBC***