Silau.
Aku menutup mataku, cahaya terik matahari dapat terasa jelas meski dengan mata tertutup. Aku mengerjapkan mataku beberapa saat, mencoba menyesuaikan dengan pencahayaan sekitar. Hal pertama yang tampak di penglihatanku adalah bangunan serba putih yang menjulang tinggi bagaikan Istana dengan pagar berlapis emas yang mengelilingi bangunan raksasa tersebut. Aku menatapnya dengan kagum, sampai-sampai aku lupa untuk bernapas dibuatnya.
Nata dan Maria berjalan beberapa langkah kedepan dan berdiri tepat berhadapan dengan diriku dan Kelvin yang masih terpana akan keindahan bangunan di hadapan kami. Dengan kedua tangan terbuka dengan lebar, bersamaan dengan senyuman yang terukir di wajah mereka, Nata dan Maria berseru bersamaan. "Selamat datang di Calista Academy!!"
Aku membatu beberapa saat, hingga otakku berhasil mencerna sebaris kalimat yang dikatakan kedua gadis itu barusan. "T-Tunggu dulu! Aku tidak ingat pernah mengatakan bahwa aku menerima beasiswa dari sekolah ini!"
"Aku juga!" Kelvin menimpali dari sampingku dengan wajahnya yang masih awet pucat. "Kenapa aku harus menerima tawaran di sekolah ini? Aku ingin bersekolah di tempat yang lebih bagus, tahu!" Pria itu mengertakan rahangnya, aku tak pernah melihat Kelvin--si lelaki menyebalkan yang selalu cuek--bisa semarah ini. "Lagipula, aku tidak memiliki alasan untuk bersekolah disini!"
"Aku tahu pemikiranmu tidak sedangkal itu," Maria berkecak pinggang dengan tangan sebelah kirinya, sedangkan tangan kanannya ia gunakan untuk membenarkan letak anak rambut.
"Jika kalian kembali ke Kota kalian, aku percaya kalian sudah menjadi pajangan di Museum beberapa hari kedepan." Timpal Nata dengan nada menakut-nakuti.
Aku bergidik ngeri saat membayangkan diriku dipajang di dalam etalase kaca dan dipamerkan ke ribuan pasang mata. Tapi, entah dari mana nyali yang kudapat untuk membuka mulutku dan bertanya tentang sesuatu yang gila. "Apakah ini berhubungan tentang kemampuanku?"
Mungkin saja aku bisa dibilang gila, tapi mengingat bahwa Nata sepertinya dapat membaca apa yang kupikirkan dan Maria yang jika kusimpulkan meneleportasi kami sehingga aku muncul di tempat yang sangat asing bagiku, mungkin itu bisa sedikit masuk akal.
"Kamu tidak gila." Nah kan, sudang kubilang bahwa Nata bisa membaca pikiranku. "Kamu bisa menyebut sesuatu gila jika kamu tidak bisa mendapatkan penjelasan ilmiahnya." Ujar Nata yang terdengar seperti memprotes pendapatku.
Tapi masalahnya, disini tidak ada penjelasan ilmiahnya, kan?
"Penjelasan ilmiah?" Kelvin mengacak pelan rambutnya dengan frustasi, kemudian tertawa getir. "Apakah kamu bisa menjelaskan bagaimana caranya sebilah pisau dapat menembus tubuh seorang lelaki yang berada di hadapanku tadi pagi?" Lelaki itu menendang sebuah kerikil kecil hingga terlempar mengenai gerbang emas dan menghasilkan bunyi berdenting. "Dan, bagaimana mungkin Aparterment yang sudah kutinggali sejak dulu terbakar begitu saja? Bagimana jika ada seseorang yang berada di dekat Apartermentku ikut terbakar?" Sahut Kelvin yang terdengar histeris.
"Itu bukan kesalahan kami." Maria dengan entengnya mengatakan hal itu sambil mengendikan bahunya tak peduli. "Lagipula, kamu tidak takut saat seseorang bisa berada di dalam Apartermentmu yang terkunci rapat saat kau baru saja pulang sekolah? Jika aku tidak membunuhnya, maka kamu yang akan terbunuh." Ujar Maria tanpa dosa.
Kelvin terdiam, tidak bisa menyangkal karena apa yang telah dikatakan Maria sepenuhnya benar.
Nata menyikut siku Maria, mengisyaratkannya untuk diam. "Bicaramu terlalu kasar," bisiknya, meskipun begitu, aku tetap bisa mendengarnya.
"Jadi," Aku menghela napas panjang. "Sekolah ini mengundang siapapun yang memiliki bakat spesial?" Tanyaku sambil menunjuk bangunan putih besar di hadapanku.
Nata mengangguk. "Lebih tepatnya, mengundang semua orang yang memiliki bakat dari seluruh dunia."
"Seluruh dunia?!" Pekikku. Aku menatap Kelvin yang berdiri dengan memalingkan wajahnya dariku. "Kalau begitu, Kelvin, kau..."
"Gravitasi." Kelvin menatap mataku lekat-lekat. "Aku sama sepertimu yang terkena penyakit aneh itu."
Aku menatap Kelvin dengan tatapan tidak percaya. Meskipun aku tahu kemungkinan dia bernasib sama sepertiku--mengingat dia disini bersamaku, namun aku tetap melotot tak percaya.
"Sebaiknya kalian masuk kedalam, kalian akan mendapatkan penjelasan disana." Nata berkata sambil membuka gerbang emas yang menjulang tinggi. "Silahkan,"
Aku tidak mengerti sepenuhnya, tapi sepertinya aku tidak memiliki pilihan lain selain menurut.
***
"Selamat datang di Calista Academy! Anise dan Kelvin!" Seorang lelaki bertubuh tinggi dengan garis wajah yang begitu tegas dan menawan membuka kedua tangannya lebar-lebar, terlihat sangat antusias saat menyambut kami. "Aku Aland, Ketua Osis di Calista Academy. Aku senang kalian menerima tawaran beasiswa dari kami."
"Memaksa, lebih tepatnya." Koreksi Kelvin dengan sedikit malas―dia masih tidak terima untuk bersekolah disini.
"Hey, hey... untuk kuberi tahu, sekolah ini sangatlah bergengsi, tahu!" Aland bersedekap, kemudian duduk di sebuah sofa yang tak jauh di dekatnya. "Kau pikir, sekarang kau sedang di negara mana?"
"Eh?" Kelvin menatap Aland dengan tatapan tidak mengerti. "Di Indonesia, memang dimana lagi?"
Aland tertawa, disusul beberapa orang yang berada di dalam ruangan itu dan sukses membuatku mengerutkan dahiku. Apa yang lucu dari perkataan Kelvin?
Aland berhenti tertawa, kemudian menatapku dan Aland bergantian dengan penuh arti. "Kita sekarang berada di Los Angeles, Amerika Serikat."
Aku mematung. Amerika? Sejauh itukah Maria meneleportasikan kami?
"Lalu, bagaimana mungkin kalian mengerti bahasaku dan Kelvin?"
Baik Nata, Maria, Aland, maupun beberapa orang di dalam ruangan yang luas ini hanya tersenyum dan saling tatap-tatapan. Hey, maksudku, aku tidak mungkin tahu sebuah jawaban hanya lewat tatap-tatapan, bukan?
"Tidak semua bisa bahasa yang kamu gunakan, hanya beberapa saja." Jawab Nata yang seakan, ralat, membaca pikiranku. "Mungkin karena kebetulan sering datang ke negaramu. Tapi, karena kita ada di USA, kita gunakan bahasa internasional. Kalian bisa berbahasa inggris, kan?"
Aku dan Kelvin mengangguk serempak.
"Baiklah, agar semua orang di ruangan ini mengerti, mulai saat ini, gunakan bahasa internasional, mengerti?"
Entah mengapa, aku bersyukur pernah ikut les Bahasa Inggris.
"Baiklah, aku mengerti." Kelvin duduk di sebuah sofa yang berhadapan langsung dengan Aland. "Lalu, bisa kau jelaskan penjelasan ilmiah tentang sindrom atau apalah itu dan sekolah yang memaksaku bergabung ini?" Kelvin bertanya nyaris tanpa aksen―mengingat bahasa Inggris memanglah bukan bahasa Ibu kami.
Nata yang merasa sedikit tersindir hanya menautkan alisnya, sebal.
"Baiklah, kita mulai dari sana." Aland bersender, mencoba untuk rileks. "Seperti yang kalian ketahui, Sindrom Pubertas adalah semacam penyakit yang mengidap remaja di seluruh dunia tanpa mengenal penyebab atau status. Penyakit ini bukan muncul tanpa sebab, daripada penyakit, ini lebih seperti karunia untuk kita."
Dalam hati, aku sedikit menyetujui perkataan Aland.
"Sindrom ini muncul saat kejadian beberapa tahun lalu, dimana saat itu hujan terjadi di seluruh belahan dunia secara serentak. Memang tidak aneh bagi sebagian besar masyarakat, tapi menurut ilmu alam, itu adalah kejadian yang sangat menggemparkan dunia. Hujan itu bukanlah sembarang hujan. Itu adalah hujan peringatan, bahwa era baru akan dimulai."
"Setelah peristiwa aneh itu berakhir, sebagian kecil remaja di dunia terbangun dari tidurnya tanpa penyebab, dan tanpa sepengetahuan mereka, indra keenam mereka telah terbuka dengan sendirinya. Setiap orang memiliki indra yang berbeda-beda, namun tak sedikit pula memiliki indra yang sama. Para remaja yang merasakan hal aneh yang terjadi pada dirinya mulai mencari tahu tentang kemampuan mereka. Dari sanalah, istilah Sindrom Pubertas muncul." Aland menghela napas panjang, mungkin sedikit melelahkan bercerita panjang lebar kepada dua orang awam.
Seorang gadis berambut dark orange melangkah mendekati kami dan bersender di tembok terdekat. "Tujuan sekolah ini adalah untuk mengumpulkan para remaja yang terkena Sindrom agar menggunakan kekuatan mereka secara bijak dan untuk melindungi mereka."
"Melindungi? Dari apa?"
Maria menghela napas pelan. "Ada sebuah organisasi yang mencoba untuk menculik kita. Kami masih belum tahu jelas apa tujuan mereka, namun kami berani bertaruh mereka tidak mengincar kemampuan kita."
"Kenapa?" Tanyaku dengan bingung. "Kukira yang mereka inginkan adalah kemampuan kita. Bukankah itu yang biasanya diinginkan orang-orang jahat?"
Kelvin menutup mulutnya dengan telapak tangan, tubuhnya sedikit bergetar membuatku mengertukan keningku, bingung. Detik berikutnya, aku menyadari bahwa dia tengah menahan tawanya.
"Hey, apa yang lucu?" Protesku tidak senang.
Di saat seperti ini pun, dia sangat menyebalkan. Aku masih tak percaya bagaimana mungkin dia adalah Ketua Kelasku di Sekolah.
Kelvin menggeleng-gelengkan kepalanya, menyengir lebar. "Kamu terlalu banyak membaca cerita Fantasi."
"Suka-suka aku!" Kilahku sebal.
Aland berdeham, mengakhiri perdebatan singkatku dengan Kelvin. "Jadi, lanjut ke cerita, mereka tidak mengincar kemampuan kita. Kami yakin seratus persen karena kami pernah mengirim seseorang untuk menyusup kedalam markas mereka. Menurut laporannya, mereka sedang meneliti dan membuat sesuatu."
"Apa yang mereka buat?"
"Sebuah Rudal."
"Rudal?" Ulangku dan Kelvin bersamaan.
Aland mengangguk. "Mereka sedang membuat Rudal raksasa. Entah rencana bodoh apa yang sedang mereka rencanakan, namun mereka menculik kita bukan untuk mengambil kemampuan kita. Tapi untuk menghilangkan penghalang mereka."
"Heeh? Lalu, untuk apa kita menghalangi mereka?"
Aland tersenyum lebar. "Karena itu tugas kita."
***TBC***