Perkenalkan, namaku Anise Verenica Soraya, biasa dipanggil Anise. Aku hanyalah gadis SMP biasa yang sedang memasuki akhir tahun ketiganya. Benar, aku hanyalah gadis biasa, dengan segudang prestasi, dan tanpa teman. Sekarang ini, aku tengah berjalan kaki menuju sekolah.
Saat sedang dengan santainya berjalan, tiba-tiba saja aku tersentak pelan, halusinasi mulai menguasai diriku. Aku melihat, seekor anak kucing yang tengah menyebrangi jalan, kemudian terlindas oleh mobil yang melaju kencang. Saat tersadar dari halusinasiku, aku refleks menoleh ke arah jalanan yang kosong, hanya ada seekor anak kucing yang bersiap menyebrangi jalan.
Aku segera beraksi, melempar tasku ke sembarang arah, lantas berlari mencoba menghentikan langkah si anak kucing. Tepat saat tanganku menyentuh tubuh anak kucing tersebut, suara klakson mobil terdengar tak jauh dari kejauhan. Aku segera berlari ke tepi jalanan, nyaris saja mobil itu menabrakku.
Mobil yang hampir menabrakku tersebut mengerem mendadak, kemudian si pengemudi membuka kaca jendela mobilnya. "Hey, nak! Jangan bermain di tengah jalan! Apakah orangtuamu tidak mengajarkan peraturan lalu lintas?" Makinya.
Aku hanya menunduk kecil seraya meminta maaf, dengan seekor anak kucing di pelukanku. "Maafkan aku, tuan."
Si pengendara mobil itu hanya bersungut-sungut kesal, kemudian kembali menjalankan mobilnya. Sebenarnya, yang seharusnya kesal itu aku, kan? Di masa depan yang seharusnya, dia telah menabrak anak kucing ini. Bukannya terima kasih malah memaki-makiku. Huh, dasar orang dewasa!
Aku menurunkan anak kucing dari pelukanku, kemudian mengusap kepala mungilnya. "Lain kali, hati-hati ya, pus."
Anak kucing itu mengeong, kemudian pergi meninggalkanku. Aku menghela napas panjang. Yah, setidaknya anak kucing itu selamat.
Aku berbalik, mengambil tasku yang barusan kulempar, kemudian melanjutkan perjalanan menuju sekolah.
Kalian pasti bertanya-tanya, apa yang barusan terjadi, kan? Baiklah, biarkan aku menjelaskan sedikit tentang apa yang barusan kualami. Ini bermula dua tahun lalu, saat aku baru memasuki bangku smp. Saat itu aku sering berhalusinasi akan suatu hal, dan tak lama kemudian, apa yang aku bayangkan tersebut terjadi. Setelah beberapa saat, aku mulai mengerti. Bahwa mungkin saja aku dapat melihat masa depan.
Aku tidak tahu dari mana kemampuan ini datang, tapi saat aku mencoba mencari di interner, terpapar di suatu website, bahwa aku terkena sindrom pubertas. Dimana indra keenam para anak remaja terbuka, kemudian memberikan kemampuan khusus bagi pemiliknya.
Katanya, sindrom ini tak diketahui penyebabnya, dan muncul secara acak kepada 40% anak remaja di dunia. Jadi, populasinya sedikit dan terbilang langka. Lagipula, di era sekarang, sesuatu yang berkaitan dengan sihir atau sejenisnya, dibilang hanyalah sebuah dongeng.
Aku melangkahkan kakiku, melewati gerbang hitam tinggi dan memasuki kawasan sekolahku. Aku berjalan dengan tenang menyusuri koridor sekolah, kemudian berbelok ke kanan dan menaiki tangga. Tepat di sebelah kiri tangga, terdapat pintu besar berwarna cokelat. Terdapat papan besar yang bertengger di dinding samping pintu bertulisan "3-A"
Tanpa ragu, aku membuka pintu tersebut. Sepi, hanya ada jejeran meja dengan kursi yang belum diturunkan dari atasnya. Aku hanya menghela napas pendek, sepertinya hari ini aku datang terlalu pagi lagi.
Saat sedang menurunkan kursiku dari meja, aku merasa ada yang menepuk bahuku. Tanpa menghentikan aktifitasku, aku menoleh ke belakang. "Kenapa?"
Seorang lelaki berambut hitam pekat menyodorkan sebuah buku kepadaku. "Ini milikmu, kan?"
Setelah menurunkan kursi dan meletakkan tasku diatasnya, aku menerima buku dari tangan lelaki itu, lantas membaca deretan nama yang tertulis di label buku. "Oh, iya, ini milikku. Terima kasih." Kataku, kemudian meletakannya di dalam loker meja.
"Bagaimana mungkin kamu bisa meninggalkannya di ruang eskul?" Anak lelaki di depanku menyilangkan tangannya, kemudian menyenderkan tubuhnya ke tembok. "Ceroboh sekali."
Aku mendengus pelan. "Bukan urusanmu!"
"Ya, terserah." Lelaki itu berjalan keluar dari kelas, tepat di ambang pintu, dia menoleh padaku. "Jangan lupa mengumpulkan 'kertas masa depan' ke kantor. Hanya kau yang belum mengumpulkan. Gara-gara kamu, aku jadi dimarahi oleh wali kelas kita. Huh, mentang-mentang aku ketua kelasnya." Dia bersungut-sungut kesal, dan membuatku hampir saja tertawa jahat.
"Iya, iya ... maafkan aku, Kelvin. Ini, aku sudah mengisinya." Ujarku sambil tersenyum lebar. "Nih, sudah kan? Sana pergi, hush!"
Lelaki yang tak lain bernama Kelvin itu menerima lipatan kertas dariku, kemudian membuka dan membacanya tanpa seizinku. Yah, aku juga tak terlalu memperdulikannya, sih. Jadi, kubiarkan dia membaca kertas yang berisi rencana masa depanku.
"Kau mau masuk SMA Rounville? Whoah, seleramu boleh juga." Kelvin melipat kembali kertas di tangannya. "Tapi biar kuberi tahu, untuk masuk kesana sangatlah sulit. Persaingannya sangat ketat."
Aku mengerutkan keningku, merasa diremehkan. "Kamu meremehkan kemampuanku?"
"Tidak sih," Kelvin memutar tubuhnya, kakinya mulai melangkah meninggalkan kelas. "Hanya saja, sekolah itu kurikulumnya kurang bagus. Tapi, seterahmu saja." Katanya dengan nada mengejek yang menyebalkan.
Aku menatapnya kesal, hingga sosoknya hilang dari pandanganku. Aku berjalan keluar kelas, mengirup udara pagi yang masih segar. Mataku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Jam setengah tujuh, mungkin sekitar lima belas menit lagi sekolah akan ramai.
Aku bersender di balkon yang ada di depan kelasku, menatap langit biru yang begitu cerah. Burung-burung terbang membentuk formasi V di langit, dedaunan di pohon berterbangan terhempas angin. Beberapa murid mulai berdatangan, membuat suasana sekitar mulai membising. Aku menatap kosong kedepan, kemudian aku tersentak pelan.
Aku melihat seorang anak gadis dengan tumpukan kertas di tangannya yang terjatuh akibat tersandung batu, membuat kertas yang berada di pelukannya berhamburan dalam sekejap. Aku mengusap mataku, tepat setelah itu, benar saja ada anak perempuan yang tersandung batu dan semua kertas yang dibawanya berhamburan di aspal.
Aku menghela napas pelan, walaupun dengan kekuatanku aku bisa menolong banyak orang, namun aku tidak dapat menolong orang-orang yang berada di luar jangkauanku. Aku tidak bisa menolong semua orang.
Tapi, aku yakin sindrom ini bukanlah sebuah penyakit, tapi merupakan sebuah berkat yang diberikan tuhan untukku agar dapat menolong banyak orang. Jadi, aku tidak akan menyia-nyiakan bakatku ini, dan akan terus menyelamatkan orang-orang yang dapat kuraih. Aku harap aku dapat terus hidup begini.
Kupikir begitu, namun ternyata aku begitu naif, hingga tidak menyadari sisi gelap dari kekuatan yang aku miliki.
***TBC***