Pagi ini Narin sudah menghabiskan 5 buku yang dia beli semalam, hari sudah hampir siang, dan perutnya baru terisi sepotong roti coklat tadi pagi. Dia beranjak dari kursi belajarnya dan berjalan malas ke meja makan. Bibi rumah, bi surmi, sudah memasak semeja penuh bermacam-macam menu, dan pagi ini hanya ada Narin di rumah, Ny. Rini sudah berangkat ke kliniknya pagi-pagi buta, sedangkan Tn. Dian tentu saja belum pulang dari Kanada, lalu siapa yang akan menghabiskan makanan sebanyak ini?
Dia pikir aku sapi yang memiliki perut 4?, pikir narin.
Dari sekian menu yang terhidang, dia hanya tertarik dengan sepiring salad buah yang penuh energi, dia segera membawanya ke pinggir kolam ikan yang ada di luar ruang makan, dan makan dengan lahap. Kolam di rumah itu sangat terawat, mereka memiliki orang yang khusus membersihkan kolam setiap hari. Airnya jernih dengan ikan-ikan cantik berenang di dalamnya. Ada air terjun mini yang menambah keindahan kolam kami. Tanaman hijau yang rimbun dan rapi, serta sebuah patung ikan berukurang sedang berdiri di tengah kolam.
Narin melahap salad buah gigitan terakhir, dan setengah berlari ke dapur untuk mengambil minum air putih dingin, lalu segera pergi mandi.
Setelah selesai mandi, saat membalut rambut basahnya dengan handuk, handphonenya berdering, Lovia menelpon
" rin, temenin aku yuk beli sepatu," katanya segera setelah narin menjawab panggilannya.
" sekarang?" tanyaku
" satu jam lagi aku jemput yaa,"
" oke"
Keluarga narin memiliki rumah lain yang lebih sederhana tak jauh dari rumah yang baru, rumah itu tampak lebih biasa saja, dan masih bisa dianggap sama dengan rumah pada umumnya milik teman-temannya di sekolah. Sebenarnya, rumah itu rumah lama yang mereka tempati sebelum rumah baru selesai dibangun, selama SMP narin tinggal di sana bersama orang tuanya, saat rumah baru selesai dibangun, mereka segera pindah, dan rumah lama ditempati oleh pasangan suami istri yang sudah lama bekerja bersama Ny. Rini, tugas mereka adalah menjaga rumah lama tetap bersih. Jika ada teman narin yang ada perlu denganku, dia selalu meminta mereka datang ke sana.
Setelah mengganti pakaian dengan kaos merah tak berlengan dan cardigan kaos hitam serta celana jeans panjang, narin segera bergegas pergi ke rumah lama. Karena jaraknya hanya sekitar 400 meter dari rumah baru, dia hanya berjalan kaki ke sana.
Sesampainya, terliha tante elya sedang duduk bersama suaminya, paman Adi, di teras depan. Mereka lah yang menempati rumah lama dan membuat rumah itu selalu bersih. Mereka sudah dianggap seperti keluarga. Mereka punya seorang anak laki-laki yang 2 tahun lebih tua dari narin, dia sedang kuliah semester 1 di Yogyakarta, tapi mereka tidak pernah dekat. Narin baru pindah ke jakarta saat kelas 1 SMP, itulah pertama dia berkenalan dengannya, saat itu mereka satu SMP, dia kelas 3. Tapi hampir seluruh waktu narun dihabiskan di perpustakaan, di tempat les, dan di toko buku untuk belajar, dia hampir tak memiliki waktu untuk bergaul dengan seseorang.
" Non rin, mau belajar kelompok sama temen?", tante Elya menyambut dengan tergopoh-gopoh.
" Aku ada janji sama temen, cuma sebentar di sini," jawab narin.
" Mau dibuatin apa non?"
" Nggak usah, dia cuma mau jemput terus kami pergi,"
" oh begitu," tante elya mengangguk-angguk.
" Non, ingat Erfan?" tanya paman Adi tiba-tiba.
Narin mengingat sebentar, dan segera teringat sosok pemuda yang tinggi berambut cepak. Dia selalu tersenyum setiap kali mereka bertemu. Dialah anak paman Adi dan tante elya.
" tentu saja aku ingat paman, gimana kabarnya?" tanya narin.
" sabtu depan dia mau pulang, katanya ada libur 3 hari dari kampusnya, dia juga menanyakan non rin," paman Adi menjelaskan dengan wajah berbinar. Jelas sekali menunjukkan kebahagiaan akan bertemu anaknya yang hanya menemuinya tiap liburan semester.
" Minta dia untuk berkunjung ke rumah baru ya paman, kurasa Mama akan senang bertemu dengannya,"
Ny. Rini memang terlihat sayang pada Erfan, mungkin karena dia tidak memiliki anak laki-laki, karena itu Erfan sudah seperti anaknya, sering sekali Ny. Rini membelikan barang-barang anak laki-laki untuknya. Sebelum ke Yogyakarta, Erfan sering main ke rumah baru. Tapi narin kurang memperhatikan, karena dia selalu pulang malam setelah les, dan jika sampai rumah, yang dia inginkan hanya tidur. Dia hanya bisa mengingat bahwa Erfan sering membantu memperbaiki barang-barang yang perlu diperbaiki, atau bersama paman Adi mencuci mobil-mobil di rumah.
" Iya non," jawab paman Adi senang.
Lalu sebuah motor berhenti di depan rumah, tante elya segera membuka gerbang, dan Lovia masuk mengendarai motor maticnya.
" Rin, rumahmu selalu sejuk," Lovia turun dari motor, melepas helmnya, dan menghirup dalam-dalam nafasnya.
Rumah lama memang asri, banyak pohon rindang, tanaman hijau, yang membuatnya seperti oase di tengah kota jakarta yang penuh polusi.
" Mau di sini sebentar?" tanya narin.
Lovia tak mempedulikannya, dia menyalami tante elya dan paman Adi.
" Maaf tante, paman, aku kesini mau pinjem keponakannya sebentar," katanya meringis.
Selama ini narin memberitahu Lovia bahwa tante elya dan paman adi adalah keluarganya, sehingga dia tidak menaruh curiga tentang hubungan mereka sebenarnya.
" Oh, haha, silahkan silahkan, tapi tolong hati-hati di jalan ya, " jawab tante elya seraya tertawa.
" Permisi tan, paman," Lovia menarik lengan narin, memakaikannya helm dan menyuruhnya naik motor.
Mereka mengendarai motor dengan laju pelan, karena memang kendaraan sangat ramai siang ini, satu jam kemudian mereka sampai di salah satu mall terbesar di jakarta.
Lovia seperti tidak pernah kehabisan tenaga, dia sudah membawa narin di hampir setiap toko di mall ini, dan narin berpikir dia tidak benar-benar ingin membeli sepatu.
" riiin, sini sini",
Lovia berteriak senang pada narin yang baru saja duduk di bangku panjang tepi lorong untuk memberi kedua betisnya waktu istirahat.
" pilih sendiri sana, aku capek, aku tunggu di sini aja," narin melambaikan tangan ke arahnya.
Lovia melengkungkan bibirnya ke bawah, dan segera masuk ke salah satu toko pakaian pria.
Sebenarnya apa yang dia inginkan, mencari sepatu wanita di toko pakaian pria?
Dasar sahabat pembohong, bilang saja dari awal kalau hanya ingin jalan-jalan, jadi aku akan menolak menemaninya, pikir narin.
Narin menyandarkan punggungnya di bangku, mall hari ini ramai pengunjung, akhir minggu memang waktu menyenangkan untuk jalan bersama orang terkasih. Kecuali dia, yang menyesal telah menyetujui ajakan Lovia.
Bosan menunggu Lovia yang keluar masuk di beberapa toko yang sepertinya tanpa mendapatkan apa-apa, narin mulai memainkan hansphonenya. Dia membuka instagramnya yang sudah mulai lapuk karena lama dikunjungi, terakhir dia membuka instagram saat kelas 1 SMA.
Dan dia terkejut saat mendapat 1 pesan dari Agum, pesan itu terkirim bulan september 1 tahun yang lalu, saat mereka masih kelas 1.
Sejak kapan dia mengikuti akun instagramku, tanya narin dalam hati.
" Narin, salam kenal ya, aku Agum, sebenarnya kita bertemu berkali-kali, tapi sepertinya hanya aku yang memperhatikanmu. Seharusnya mungkin aku tidak mengirim pesan lewat instagram, aku bisa saja mengatakan langsung, tapi aku takut mendengar reaksimu secara langsung. Aku menyukaimu. Aku tidak percaya love at the first sight, mungkin sebelumnya aku juga pernah bertemu denganmu, makanya sekarang aku benar-benar menyukaimu. Tolong jangan menjawab langsung pesan ini. Kalau kamu belum menyukaiku, kita bisa berteman dulu. Dan jangan tanyakan kenapa aku menyukaimu, aku juga tidak tahu alasannya. Aku hanya menyukaimu begitu saja, setiap melihatmu jantungku berdetak lebih cepat, dan aku merasa bahagia. Aku tahu kamu adalah seorang jenius, yang mungkin tidak akan tertarik untuk memiliki pacar, tapi aku tidak memintamu menjadi pacarku, aku hanya ingin menyatakan perasaanku. Aku, Agum, sangat menyukaimu, narin."
Saat selesai membaca pesan itu, handphone serasa hampir terjatuh dari genggamannya. Seluruh tubuhnya terasa lemas, dan betisnya semakin terasa sakit.