" Oh hai," Narin merasa lebih lega dengan kemunculan Lovia yang menggunakan gaun biru laut dengan jepitan pita berwarna merah muda di rambutnya, dia tampak lebih tinggi menggunakan sandal berhak 7 cm.
Pikirannya mungkin sedang kacau, ini masih terlalu terik untuk menggunakan gaun, dan dia semakin kacau karena memutuskan memakai sandal berhak tinggi.
Narin melirik ke arah Agum, dan terlihat jelas ekspresi geli di wajahnya.
" Agum, ini Lovia, dia ingin memberikanmu sesuatu, dan...ohh aku hampir lupa," Narin segera mengulurkan tangannya pada Agum.
" Selamat ulang tahun, " ucapnya.
Agum segera meraihnya dan menjabatnya dengan erat.
" Sorry, aku tidak membawa apa-apa untukmu," Narin merasa bersalah karena tidak membawa hadiah ulang tahun, tapi dia memang tidak ingin memberi apapun padanya, dia tidak ingin meninggalkan kesan.
Agum tersenyum dan berkata, " tidak apa-apa, kamu menemuiku itu sudah...."
" ohh iya, lovia cepat berikan pada Agum, aku pergi dulu ya," Narin menarik tangannya dari genggamannya dan segera beranjak pergi. Berjalan menuju halaman depan perpustakaan tempat mobilnya terparkir.
Setelah sendiri di dalam mobil, dia menghirup nafas panjang. Dadanya terasa sesak seperti hampir lupa bernafas saat bersama Agum.
Kenapa dia menjadi gugup di dekatnya, jantungnya berdetak tak karuan.
Agum mengungkapkan perasaannya secara langsung, dan Narin tidak menyangka dia masih menyimpan perasaannya selama ini.
Untuk menghilangkan kegelisahan, Narin menyetel musik keras-keras di dalam mobil, dia tidak ingin pulang lebih awal, karena sebenarnya dia masih ingin melanjutkan belajarnya di perpustakaan, tapi pertemuannya dengan Agum membuatnya tidak bisa berfikir jernih, jadi diputuskan untuk menenangkan pikiran dulu. Masih ada waktu 1 jam lagi sebelum perpustakaan tutup.
Dia memejamkan mata sambil mendengar musik yang melantun indah. Lagu kesukaannya dari maroon 5, memories, membuatnya mengantuk. Dan tidak butuh waktu lama dia pun tertidur.
" tok...tok...tok!",
Narin terbangun saat mendengar suara kaca jendela mobilnya diketuk seseorang dari luar.
Di luar sudah gelap, dan Agum menempelkan wajahnya di kaca jendela mobilnya dari luar. Itu sangat menjengkelkan. Jantungnya serasa mau copot.
Dia segera membuka kaca mobilnya, dan Agum segera tersenyum padanya.
" Aku tadi sempat ragu kalau itu adalah kamu, ternyata benar, kukira kamu sudah pulang," katanya.
" Ohh, eh, iya, aku ketiduran," Wajah Narin merah menahan malu.
" Apa perpustakaan sudah tutup?" tanyanya.
" tentu saja, ini sudah jam 6." Agum menjawab dengan lucu.
" kenapa kamu belum pulang? bagaimana Lovia,?"
Narin seketika teringat Lovia. Dia tadi meninggalkannya bersama Agum.
" Dia sudah pergi dari tadi, kami hanya bicara sebentar dan kemudian berpisah karena aku harus melanjutkan latihanku."
Narin mengusap matanya yang masih terasa berat.
" Bukalah pintunya, aku akan menyetir untukmu,"
" tidak usah, eh, makasih tapi tidak perlu," Jawab Narin gugup.
" Aku akan mengantarmu pulang, nanti aku akan kembali dengan bus," Ujar Agum meyakinkannya.
Sepertinya itu ide bagus, karena posisi tidurnya yang tidak nyaman, membuat kepala Narin terasa sakit.
Sempat ragu tapi akhirnya dia membuka pintu kemudi dan pindah ke kursi penumpang.
Selama perjalanan mereka hanya terdiam, Sebenarnya Narin merasa sedikit gugup. Tapi senyum Agum tidak pernah lepas dari wajahnya, dan itu semakin membuatnya terlihat tampan.
Narin bisa melihat wajahnya dari sisi samping, hidungnya mancung, dan rahangnya tegas melukis keindahan wajahnya, bibirnya tipis dan terlihat merah merona.
Uhhh...apa yang kupikirkan, Narin mengutuk dirinya sendiri karena sudah berpikiran terlalu jauh.
" Aku sudah tahu alamat rumahmu, tenang saja," Ujar Agum tiba-tiba.
Narin tak menjawab.
Setelah berkendara dengan laju sedang, mereka akhirnya sampai di depan rumah barunya.
" Bagaimana kamu tahu?" tanya Narin heran.
" Aku pernah datang kesini," jawabnya.
" Benarkah?"
Jawaban Agum semakin menambah keheranannya.
Agum mengangguk meyakinkan.
" kurasa sekitar 4 bulan yang lalu, aku kesini mengantarkan barang milik Mamamu,"
Dia tertawa lucu melihat ekspresi wajah Narin yang kebingungan.
" baiklah, akan kujelaskan," Dia menatap Narin dan tersenyum.
" Dokter Akmal adalah ayahku,"
Dan itu menjawab semua pertanyaan yang ada di kepala Narin.
Dokter Akmal adalah dokter yang melakukan praktek di klinik kecantikan Mama di Pondok Indah. Dialah dokter favorit Nari yang sangat menyenangkan.
" Aku tak menyangka, tapi kenapa aku tidak melihatmu di rumah?".
" Harusnya aku yang bertanya, kenapa aku tidak melihatmu di rumahmu?" Agum balik bertanya.
" ohh benar juga, haha..." Narin menertawakan dirinya sendiri.
" Entahlah, aku tidak ingat,".
" Baiklah, aku turun di sini, bus berikutnya datang jam setengah 8,"
Agum turun dari mobil.
Narin segera menyusulnya turun.
" terimakasih ya, dan hati-hati di jalan," katanya canggung.
Agum hanya tersenyum.
" Mulai sekarang kita berteman?"
Dia bertanya tiba-tiba, dan itu membuat Narin tersentak.
Cukup lama dia terdiam.
Wajah Agum berubah kecewa.
" kamu tidak mau?"
" Iya, kita berteman," jawab Narin segera.
" Tapi maaf gum, Lovia adalah sahabatku, dan dia sudah menyukaimu sejak kelas 1 SMA," sambungnya.
" Dan aku juga sudah menyukaimu sejak kelas 1,"
Jawaban Agum membuat Narin tidak bisa berkara lagi. Tersadar bahwa dia tidak pernah memikirkan perasaan Agum,.selama ini yang dia pikirkan hanya Lovia.
" Masuklah dulu, aku akan berjalan dari sini," Ujar Agum lembut.
Narin segera masuk ke mobil, dan mengendarai mobilnya memasuki halaman rumah. Tak sempat memasukkan mobil ke garasi, dia segera berlari keluar gerbang untuk melihat Agum, tapi sosoknya sudah menghilang dari pandangan.
" Ada apa non?" Bibi surmi melongok keluar gerbang dan melihat ke arah jalan dengan penasaran.
" Nggak apa-apa bi, tolong bilangin pakde rus buat masukin mobilku ya,"
Narin menyerahkan kunci mobil pada bi surmi, dan berjalan masuk ke rumah.
Merebahkan tubuh di kasur kamarnya, dan pikirannya kembali membawanya kepada wajah Agum yang tersenyum lembut.
Seketika wajah narin terasa panas, dan jantungnya seperti tersengat listrik.
Dia segera berdiri, dan menutup wajahnya sendiri.
Kenapa dengan dirinya?