Chereads / Aku dan Suamiku / Chapter 13 - Part 9.1 Dia Menginginkanku

Chapter 13 - Part 9.1 Dia Menginginkanku

"Aah!" Aku menjerit ketika punggungku terhempas di ranjang. Detik pertama pintu kamar hotel terbuka, dia langsung mendorongku begitu saja. Tanpa peringatan dan aba-aba.

 

"Hmmhp... Tu-tunggu." Tanganku menarik rambut kepalanya agar bibirnya lepas dari bibirku dengan kuat. Aku tidak bisa bernafas, dan aku juga memerlukan waktu.

 

"I want you, Baby." bisiknya begitu di dekat telingaku. Lalu kepalanya menyusup di leherku, menghirupnya dan menjalankan lidahnya di sepanjang leher sampai bawah telingaku. Membuat tubuhku meremang dan kegelian.

 

"Enghh!" Aku mengerang ketika mulutnya menghisap dan menggigit leherku. Terasa panas, sakit, tapi anehnya aku sedikit menikmatinya.

 

"Ya, mendesahlah, Baby." Setelah berkata demikian, bibirnya kembali membungkam bibirku. Aku hanya bisa memejamkan mata, dan kuat-kuat mencengkram punggungnya. Mataku terpejam, mulai mencoba menikmati ciuman dan sentuhannya yang mulai melembut. Terasa sangat di kulit dan bibirku yang dikulum-kulumnya. Mem-buat tubuhku menjadi lebih sensitif.

 

Aku semakin meremang kala lidahnya telah mencapai puncak dadaku. Entah sejak kapan seluruh pakaian atasku itu tanggal. Membuatnya bebas menghisap dan meremas kedua buah dadaku. Aku ingin menangis dibuatnya. Rasanya begitu aneh.

 

"Henng...mmmh." Kesadaranku di ambang batas. Seluruh tubuhku terasa asing. Tangannya, tubuhnya, bibir dan lidahnya terus menjalar di seluruh tubuhku. Sampai aku samar-samar mendengar dering ponsel.

 

Lalu, perlahan otakku mulai bekerja.

 

"Telepon." kataku terengah, menahan gairah yang mulai menguasaiku.

 

"Hentikan. Ponselmu bunyi." ucapku lagi. Dering telepon itu, membawaku pada akal sehatku kembali. Ini tidak benar.

 

"Abaikan saja."

 

"Mungkin penting. Angkatlah." Sekuat tenaga kutarik kepalanya yang masih menghisap sebelah dadaku. Takut-takut melihat matanya, dan mengingatkan lagi akan dering ponselnya. "Angkat dulu teleponnya." kataku lagi.

 

Dibalasnya tatapanku sebelum dia menghembuskan nafas dengan kesal. Tubuhnya mulai bangkit dari tubuhku, aku bisa bernapas lega sekarang. "Sudah mati. Aku lebih su-ka menikmatimu daripada mengangkat telepon tidak jelas."

 

Dia berdiri, melepas kaosnya lalu mengangkatku. Meletakkanku di tengah ranjang. "Ak... Aku- saya ingin ke toilet." kataku asal, tak tahu lagi harus bagaimana meng-hentikannya.

 

"Tidak usah membuat alasan. No excuse, Baby!"

 

Tubuhku kembali menegang saat dia menindihku lagi. Bibirnya kembali menancap di dadaku sebelah kiri. Sedang sebelah tangannya memelintir dengan kuat puncak yang sebelahnya.

 

"Aaah!" Aku ingin menangis lagi menghadapi perasaan ini. Punggungku bergetar samar, kurasakan keringat mulai menjalari wajahku. Bahkan, aku hampir lupa cara bernafas jika saja ponselku tak berbunyi. Terimakasih, Tuhan. Engkau masih menyayangiku.

 

"Telepon lagi." kataku lirih, menunjuk ponselku yang tergeletak di nakas.

Dihiraukannya suaraku, bibirnya masih terus melumat dadaku bergantian. Menggigit dan menghisapnya. Pinggangnya bergerak-gerah di bawah sana, yang sejujurnya membuatku semakin gelisah.

 

"Telepon! Angkat teleponnya!" aku berteriak. Menarik kepalanya, dan berusaha mengintimidasinya melalui mataku.

 

"Angkat. te.le.pon.nya!" kataku lagi, memegang kedua sisi kepalanya, dan menegaskan setiap kata padanya.

 

"Aaarghh! Damn it!"

 

Brakkkk!

 

"Ffhiuhh."

 

Aku meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Suamiku itu baru saja membanting pintu kamar mandi. Ah, aku sela-mat. Untuk saat ini aku tidak perduli dengan kekesalannya. Siapa suruh main terkam, tidak minta izin dulu. Pasti Tuhan tidak meridloi.

 

Sekali lagi kuatur nafasku sebelum mengangkat telepon dari Luna. Kau baru saja menyelamatkanku, Lun.

 

"Hal-lo-"

 

"Hannah! Kau kemana saja?"

 

"Ehmm..." Aku membasahi tenggorokanku yang sedikit kering. "Santai Lun. Ya Tuhan!"

 

"Hannah, kamu sakit? Kenapa dengan suaramu?"

 

"Tidak. Ada apa?" Ah sial! Pasti Luna mendengar suara parauku. Semoga saja dia tidak menyadarinya.

 

"Tumben kamu bolos. Kemana? Ada kuis dadakan tadi."

 

"Demi apa?" Aku langsung menegakkan dudukku. Dosen killer, dan aku meninggalkan kuisnya.

"Demi suamimu yang tak pernah pulang!"

 

"Huss. Benar ada kuis tadi?"

 

"Hmm... Siap-siap saja dapat C, atau mungkin mengu-lang tahun depan."

 

"Luna ih, jangan gitu dong!"

 

"Lagian kamu kemana sih? Kan enggak sakit juga."

 

"Aku ada urusan urgent. Sampai tiga hari nanti. Tolong izinkan ya?"

 

"Apanya yang urgent? Mencurigakan. Nggak biasanya kamu ada urusan urgent-urgent begini."

"Benar ini urgent. Aku di luar kota sekarang."

 

"Urgent yang kamu maksud bukan karena suamimu pulangkan?"

 

"Hah? Eum, bukan. Bukan. Aku ada kepentingan lain." Aku sedikir gelagapan mendengar tembakan Luna. Bagaimana dia bisa menebak seperti itu?

 

"Masa? You know, kau tak bisa berbohong Hannah."

 

"Udah ah. Bye. Assalamu'alaikum!" putusku segera. Semakin aku banyak membuka mulutku, semakin banyak juga yang akan diketahui Luna. Dia sulit sekali untuk dikelabuhi.

 

Susah sekali memang kalau sudah berurusan sama Luna. Kalau tidak disudahi, pasti akan mengejar sampai ke ujung dunia. Aku hanya belum siap untuk bercerita. Bukan waktu yang tepat pula.

Aku bingung harus apa sekarang. Kalau dia keluar dan berulah lagi, aku harus bagaimana? Aku benar-benar belum ingin melakukannya sekarang. Sekali lagi, ini terlalu cepat. Terlalu cepat untuk kami berdua.

 

Ah, sebaiknya aku kabur. Ya, aku harus kabur.

 

----------

-tbc