"Dan sekarang kamu menyesalinya?"
"Hmm... Tidak juga sih. Wait guys! Kalian ini sebenarnya bicara apa? Aku hanya meminta pendapat bagaimana caranya agar dia tidak marah padaku. Bukannya malah membahas urusan ranjang!"
"Sama saja, Honey! Kalau urusan ranjang semulus kakimu itu, tentu yang lainnya akan mengikuti. Ya kan Sha?"
"Ya, benar."
"Non sense!"
"Why not? Just try, Baby! Lagi pula, dia kan suamimu."
"Atau datangi saja kantornya. Kamu tidak mau kan, kalau dia malah ada affair sama sekretarisnya?" Apa iya? Memang dia punya sekretaris? Lalu, sekretarisnya wanita? Ah, bahkan pekerjaannya saja aku tidak tahu.
"Jangan bilang lagi, kalau kamu tidak tahu dimana suamimu bekerja."
Aku hanya memberikan senyuman ragu, menjawab tembakan Sha yang tepat Salsaran. "Sayangnya iya."
"Ya Tuhan! Sebenarnya kalian serius menikah apa tidak sih?"
"Aku juga tidak tahu." Selama ini, aku menjaga hatiku. Membatasi hubunganku dengan lawan jenis. Karena aku tahu, bahwa aku sudah menikah. Apakah itu bisa dianggap sebagai bentuk keseriusanku?
"Kalau kamu saja tidak tahu apa maumu, bagaimana kita bisa membantu?"
"Aku hanya bingung, dia tiba-tiba kembali. Bersikap aneh, lalu pergi lagi dan marah padaku."
"Aneh apanya?"
"Ya, itu tadi."
"Kissing?"
"Hmm."
"Dimana anehnya, seorang suami mencium istrinya sendiri? Lagi pula itu hanya ciuman kan? Kalian boleh melakukan lebih."
"Aku belum siap, Sha. Entahlah, rasanya semua seperti belum tepat."
"Tepat yang kamu maksud itu, diciptakan, Hannah. Bukan ditunggu. Sampai gajah beranak lima juga, kalau kamu hanya menunggu tidak akan ada kata tepat."
"Kenapa hanya aku yang harus menciptakan? Dia yang pergi meninggalkanku. Harusnya, dia dong yang melaku-kannya." Ya, dia memperlakukanku semaunya sendiri. Menikahiku, lalu memarahiku, kemudian meninggalkanku begitu saja. Dia kembali, lalu melecehkanku semaunya. Sudah jelaskan, siapa yang salah?
"Dewasalah Hannah, please kamu bukan remaja lagi. Memang kamu mau jadi janda sekarang?"
"Sha!"
"Kalau dipikir-pikir, pasti suamimu itu kan yang memulai untuk menciummu? Berarti dia dong yang sudah memulainya."
"Ah, benar juga. Kalau begitu, masalahnya ada pada dirimu sendiri. Hatimu yang bermasalah."
"Kok jadi aku yang disalahkan?"
"Hhh..." Sha menghela nafasnya berat. Dia ini, dua tahun lebih muda dariku, tapi sifatnya seperti lima tahun lebih tua dari usianya. Apa karena dia sudah punya anak ya?
"Sekarang aku bertanya." katanya setelah menghela nafas. Luna hanya diam menyimak. "Kamu ingin perni-kahan ini berjalan, atau disudahi saja? Dan menjadi janda di usia muda?"
"Amit-amit!"
"Berarti dilanjutkan." Luna menyimpulkan.
"Kalau begitu, kamu harus mengalah. Kamu yang menginginkan pernikahanmu berlanjut, maka kamu harus berusaha mewujudkannya. Salah satunya dengan mengalah, Hannah." jelas Sha yang berusaha aku cerna baik-baik.
"Kamu membuat suamimu marah, maka kamu harus minta maaf. Lupakan dulu sejenak egomu. Percayalah membenci seseorang yang harusnya dekat itu menyakitkan. Aku sudah mengalaminya, dan jangan kamu yang mengu-langinya. Kalau kamu tidak bisa minta maaf, maka maaf-kanlah dia. Maafkan segala perbuatannya yang menurutmu salah."
Aku diam sejenak, mencoba merenungi nasihat ibu muda di depanku ini. "Apa bisa?"
"Kalau tidak bisa, bersiaplah mendapat gelar janda secepatnya."
"Tega sekali Sha!"
"Renungkan dulu apa maumu. Bayangkan bagaimana kedepannya jika pernikahanmu berhasil atau gagal. Ingat-lah, kamu sudah sangat dekat dengan Ayah Bundamu. Ba-yangkan apa yang akan terjadi jika pernikahanmu gagal dengan adiknya. Apa kalian masih bisa sedekat ini?"
Aku baru memikirkan ini. Mereka merupakan peng-ganti Mama Papa yang telah meninggalkanku. Apa jadinya jika mereka juga meninggalkanku?
"Pikir baik-baik, Han!"
"Lagi pula, memang suamimu seburuk apa sampai kau berniat meninggalkannya?" Luna bertanya.
"Aku tidak berniat meninggalkannya!" jawabku cepat. Kenapa jadi merembet kesini sih? Aku tadikan hanya meminta pendapat mereka tentang masalahku. Kenapa jadi aku yang dituduh?
"Kau tidak mau mengalah, tidak mau meminta maaf, kabur meninggalkannya, menolaknya, kau sebut apa semua itu?"
Aku diam. Luna memang lawan debat yang susah.
"Sepertinya suamimu cukup menarik di matamu."
"Ya. Kenalkan pada kami secepatnya."
"Kalau begitu, ayo!" Sha berdiri membereskan mejanya. Aku bingung.
"Kemana?"
"Kamu harus punya senjata untuk menggoda suamimu."
----------
-tbc