Dua hari aku menginap di rumahku yang lama. Rumah yang sudah lima tahun lebih tidak aku tempati, hanya sesekali aku mampir saat mengunjungi makam Papa. Tak ada yang berubah sedikit pun dari rumah itu, bahkan semua kenangan di sana masih jelas terbayang di benakku.
Sudah seminggu sejak aku kembali dari rumah lamaku. Seminggu sejak acara kaburku saat itu. Sekarang, aku kem-bali ke rumah Ayah dan Bunda. Bodohnya aku, tidak memberi tahu mereka tentang keberadaanku. Membuat mereka mencemaskanku, dan mencariku kemana-mana.
Waktu itu, aku sempat kabur ke rumah Sha dan suaminya. Karena tidak ingin mengganggu, aku memutuskan untuk pamit di malam harinya dan menginap di tempat Luna. Selama itu pula, aku tak menyalakan ponselku. Aku hanya butuh ketenangan dan pendengar yang baik saat itu. Dan dua temanku itu, memang yang terbaik. Mereka selalu ada saat aku membutuhkan. Yaah, meskipun di awal Luna menertawakanku habis-habisan dan memberikan saran-saran konyolnya. Setidaknya, aku sedikit terhibur.
Tiga hari kemudian, aku baru berani pulang. Disambut histeris oleh Bunda dan wajah lega Ayah. Tapi, tidak dengan orang yang aku takuti dan hindari. Dia menatapku tajam, lalu meninggalkan ruang tamu begitu saja. Tak lupa dengan bantingan keras pintu depan yang mengiringi kepergian-nya. Membuat jantungku hampir saja lolos dari penyangga-nya.
"Ya Allah Hannah! Kamu kemana saja, Nak?" Bunda langsung menghampiriku saat itu, memberondongku de-ngan berbagai pertanyaan. Dan aku hanya diam dengan perasaan bersalah.
"Mbaaak! Tolong hubungi Elang, bilang kalau Hannah sudah kembali."
"Baik nyonya."
Kulihat Mbak Rani berlarian menuju telepon terdekat. Ya Tuhan, Kekacauan apa yang telah aku perbuat. "Kamu tidak apa-apa, Sayang? Kamu kemana saja? Kamu marah sama Elang? Kamu tidur dimana? Kenapa tidak menghu-bungi Bunda? Kamu membuat kami semua khawatir."
"Maaf Bun," dalam pelukan Bunda, hanya itu yang bisa aku katakan.
Tak lama setelah itu, datanglah orang yang menyebabkanku kabur. Peluh keringat nampak membayang di dahinya. Mata kami sempat bertatapan beberapa saat, sampai dia mengakhirinya lalu pergi begitu saja dengan bantingan kasar pintu utama.
Saat itu juga, aku merasa dia berubah kembali menjadi dirinya saat aku pertama mengenalnya. Sebelum dia meninggalkanku begitu lama.
"Jadi aku harus bagaimana?" tanyaku pada kedua sahabatku. Sha, dan Luna.
"Ya sudah, bicara saja baik-baik. Bukankah komunikasi kunci utama sebuah hubungan?" jawab Luna yang terdengar bijak sekali. Tidak seperti biasanya.
"Bagaimana aku bisa bicara, kalau aku tak pernah bertemu dengannya?"
"Bagaimana bisa? Kalian tinggal serumah kan?" tanya Sha akan kebingungannya.
"Ya. Sekamar malahan." jawabku cepat.
"Cieee!" dan langsung mendapat sorakan dari Luna. Coba kalau dia tahu apa yang aku alami.
"Ih! Dengarkan dulu!"
"Baik! Lanjutkan, Nyonya!"
"Tapi aku tidak pernah bertemu dengannya. Dia selalu berangkat sebelum aku bangun pagi, dan pulang setelah aku tertidur lelap."
"Wow! Amazing!"
"Luna, aku serius!"
"Oh, berati kamu yang selalu bangun kesiangan? Nggak baik perempuan bangunnya kesiangan. Apalagi kalau sudah punya suami."
"Shagufta Sayang, aku tidak pernah bangun pagi lebih dari pukul lima! Lagi pula, teori dari mana itu?"
"Yaa, pengalaman saja! Biasanya suami itu, kalau pagi-pagi ngajak ibadah." jawab Sha dengan polosnya dan aku angguki saja.
"Dasar mesum!" umpat Luna yang langsung melemparkan tisu bekasnya pada Sha setelah ia paham kemana arah pembicaraan ibu muda itu. Dan, aku juga baru saja memahaminya.
"Luna, Honey, kalau kamu belum merasakan jangan men-judge dulu. Tanya saja sama Hannah kalau tidak percaya."
"Benar Han?" tanya Luna.
"Ya Tuhan! Jangan-jangan, kalian belum pernah melakukan itu?" Ah, mulut Sha ternyata sama saja dengan milik Luna.
"Oh my God! Oh my God! Cobaan apa lagi yang kau hadapi, kawan!"
"Diamlah!"
"Astaga! Jadi benar?"
"What on earth!"
"Jadi, kalian bisa membantuku atau tidak? Kalau tidak aku pulang saja kalau begitu."
"Hmm... Kalu begitu, pakai saja tubuhmu untuk berkomunikasi. By the way sudah sejauh mana hubungan fisik kalian?" saran Shagufta yang membuatku bingung.
"Maksudmu?"
"Yah, semacam menggoda suamimu begitu. Kamu belum menjawab pertanyaanku."
"Ya, aku juga penasaran sejauh mana hubungan kalian."
"Apa perlu aku jawab?"
"Tentu saja perlu, untuk mengetahui tahapan mana yang harus kamu lakukan untuk menghoda suamimu."
"Nah, dengarkan yang sudah berpengalaman."
"Emm.. Kissing?"
"Kissing? Dan tidak berlanjut ke tahap sebelumnya? Dia tidak homo kan?"
"Shagufta!"
"Atau dia tidak tertarik padamu? Tapi kalau itu, rasanya tidak mungkin."
"Benar juga. Kau memiliki tubuh yang indah. Montok dan berisi."
"Kalian ini!"
"Luna, menurutmu apa masalahnya?"
"Hmm... Kau tidak meludahinya saat dia menciummu kan?"
"Tidak lah!"
"Lalu?"
"Sebenarnya, aku menolaknya saat dia mau melakukannya."
"Ah! Jelas saja dia marah padamu!"
"Dan sekarang kamu menyesalinya?"