Dua tahun berlalu, kehidupan pernikahan antara Leo dan Nabila baik-baik saja bahkan sampai sekarang saat Nabila akan lulus. Kekhawatiran yang pada mulanya ada kini tergerus karena Leo membuktikan bahwa dia sangat mencintai Nabila apa adanya.
Beberapa wanita pernah mencoba mendekat pada Leo tetapi semuanya mundur satu per satu saat Leo mengabaikan mereka. Hari ini adalah hari kelulusan yang dinantikan oleh Nabila tetapi akhir-akhir ini dia mengalami muntah di setiap pagi.
Setelah muntah, Nabila kemudian mencuci muka. Dia kembali ke kamar di mana Leo baru bangun. "Apa kau muntah lagi?" Nabila mengangguk.
Leo membuang napas berat. "Apa kau tak mau pergi ke rumah sakit dulu?" Nabila menggeleng.
"Aku tak mau aku terlambat di acara kelulusanku."
"Sayang, tubuhmu lebih penting dari acara kelulusan."
"Tidak, tidak aku hanya ingin pergi untuk mengambil ijazahku saja. Nanti ya kalau sudah selesai acaranya baru kita pergi." Leo membuang napas. Tak ada lagi yang bisa dilakukan dan sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh pria itu, sepanjang acara wisuda istrinya sering bolak-balik ke kamar kecil untuk muntah atau sekadar mual.
"Sudah jangan keras kepala lagi ayo kita ke rumah sakit." kata Leo pada Nabila yang baru saja keluar dari kamar mandi. Nabila menggeleng lemah.
"Sebelum namaku dipanggil, aku tak mau pergi dari sini."
"Tapi Nabila--"
"Sebentar lagi aku janji setelah namaku dipanggil aku akan langsung pergi bersamamu." Ada kesungguhan di mata Nabila hingga membuat Leo tak tega.
"Baiklah, datang padaku setelah kau menerima ijazah padamu." Nabila tersenyum lemah. Dia kembali ke ruangan dan Leo menyusul tak lama setelah itu.
"Nabila, wajahmu pucat. Apa kau baik-baik saja?" tanya Marco yang sedari tadi khawatir akan kesehatan temannya itu.
"Ya, aku baik-baik saja. Aku akan langsung pulang setelah namaku dipanggil ke depan." Tak lama setelah itu, satu per satu nama mereka dipanggil untuk mengambil ijazah. Nama Nabila juga dipanggil dan dengan sisa tenaganya Nabila bergerak ke depan.
"Kau baik-baik saja?" tanya seorang pria tua di depannya. Pria itu memberikannya ijazah dan mengubah penempatan tali toga.
Nabila tersenyum seraya menjabat tangan pria tua itu. "Aku baik-baik saja." Dia lalu bergerak menjauh namun baru dua langkah, Nabila berhenti. Kepalanya terasa sangat pening dan akhirnya menggelap.
Marco yang memang berada di belakang Nabila segera menangkap Nabila dan berusaha menyadarkan wanita itu. Langkah Leo pun cepat menghampiri mereka berdua. Segera dia menggendong Nabila kemudian membawanya masuk ke dalam mobil.
Ijazah beserta topi toga yang terlepas dititipkan ke Marco. Leo fokus pada Nabila untuk sekarang. Begitu mereka sampai di rumah sakit, Nabila diperiksa intensif. Adam beserta kedua anaknya datang tak lama kemudian.
"Ada apa dengan Nabila? Kenapa dia sampai pingsan di acara wisuda?" tanya Silvia panik.
"Mungkin karena kelelahan Ibu. Sejak tadi pagi aku membujuknya untuk ke dokter tapi dia tak mau." Keluarlah dokter yang memeriksa Nabila dan mendekati mereka.
"Apa kalian keluarga dari pasien bernama Nabila?"
"Iya dokter. Kami keluarganya."
"Bagaimana dengan keadaan istri saya dok?" tanya Leo khawatir.
"Oh tidak apa-apa kok, Ibu Nabila hanya kelelahan dan perlu banyak istirahat."
"Terima kasih dokter. Dia memang selalu bekerja keras beberapa bulan terakhir karena ingin lulus." Si dokter mengangguk.
"Selain yang saya katakan dari tadi. Tolong beri istri anda makanan yang bergizi dan jangan biarkan dia bekerja terlalu berat apa lagi dengan kondisi hamil muda, terlalu membahayakan kondisi janinnya." Semua orang tampak terpaku dengan ucapan si dokter.
"Maaf dokter, apa yang dokter bicarakan dari tadi?" Kening si dokter mengerut.
"Apa anda tak tahu kalau istri anda sedang hamil muda?" Mata Leo membelalak untuk sesaat kemudian tersenyum lebar.
"Nabila hamil ... dia sedang hamil!" Leo memandang pada Adam dan kedua orang tuanya.
"Kakek dengar tidak apa yang dikatakan oleh dokter itu? Nabilaku sedang hamil." Adam mengangguk lalu tersenyum bahagia.
"Selamat ya Leo, Kakek tak sabar sekarang untuk menggendong cicit Kakek." Leo kemudian memeluk satu per satu anggota keluarga yang sekarang dari rona wajah mereka bahagia.
Sungguh hadiah yang paling membahagiakan.
๐๐๐๐
Nabila mengerang lemah lalu membuka matanya secara perlahan. Sebuah usapan lembut di pipi membuat Nabila otomatis menoleh ke arah kanan. Ada Leo tersenyum lembut dan semua anggota keluarga berada bersama dia.
Bahkan kedua orang tua Nabila juga ada di tempat itu. "Leo ... kenapa aku bisa ada di sini? Bagaimana dengan acara kelulusannya?"
"Sudah jangan terlalu dipikirkan lebih baik kau fokus pada kesehatanmu dan acaranya juga berjalan lancar."
"Aku benar-benar merusak acara itu bukan?"
"Tidak sama sekali." balas Leo masih senantiasa memberikan belaian kasih sayang pada Nabila.
"Sekarang kau jangan pikirkan kuliah lagi atau apa pun itu. Aku tak mau kau sakit."
"Iya aku janji. Leo aku ingin pulang, tak mau berada di tempat ini."
"Maaf Nabila bukannya aku tak mau tapi kau kelelahan. Aku tak ingin kalau kau pulang ke rumah langsung bekerja."
Nabila kemudian berusaha bangun dan anehnya semua orang bereaksi membuat Nabila kebingungan. "Ada apa ini? Kenapa kalian sangat khawatir begitu?"
"Tolong jangan terlalu banyak bergerak ya." Raut wajah Leo juga tampak sedikit tak biasa.
"Ada apa sih ini?" tanya Nabila sekali lagi. Leo mengembangkan senyuman. Dia mengecup lembut tangan Nabila yang kini tegang entah karena apa.
"Nabila ... jagalah kesehatanmu, makan yang bergizi untuk anak kita." Beberapa waktu Nabila mencerna perkataan Leo dan langsung membulatkan matanya.
"Leo, apa ... apa aku sedang hamil sekarang?" Senyum manis Leo mengartikan segalanya dan membuat Nabila memandang perutnya yang masih rata kemudian mengusap penuh kasih sayang.
"Aku akan menjadi seorang Ibu dan kau akan menjadi Ayah." Nabila sama sekali tak pernah terpikir jika dia hamil tetapi baru itu dia sadar jika masanya sudah lewat. Sungguh ini adalah hadiah kelulusan yang paling membahagiakan Nabila.