Begitu sampai mereka disambut oleh Adam yang memang sudah pensiun dari tempat kerja. "Kok kalian berdua sudah pulang? Bukannya sisa beberapa hari lagi?"
"Ada masalah Kakek jadi kami berdua disuruh pulang. Kalau begitu aku akan pergi ker--"
"Hei kenapa harus terburu-buru? Kakek punya hadiah untuk kalian." Dia pun menyodorkan sebuah tiket pada keduanya.
"Sebenarnya Kakek mau memberikan tiket ke Bali itu saat kalian sudah pulang dari kemah tapi karena kalian pulang lebih cepat maka kalian bisa ambil tiket ini untuk kalian gunakan.
Mata Nabila berbinar-binar sedang Leo tetap memasang wajah datar. "Kalian belum pernah berbulan madu bukan, ini adalah kesempatan kalian." Leo melirik pada Nabila yang langsung mengingat kejadian di kemah ketika keduanya hampir melakukan ritual malam pertama.
Hanya saja itu gagal dikarenakan Marco memanggil mereka. Pandangan Leo sudah mengatakan banyak hal. "Baik Kakek, terima kasih nanti lusa kita akan pergi. Aku juga akan mengganti jadwal tiketnya."
"Baguslah kalau begitu ... Kakek tak sabar punya cicit." Leo tersenyum penuh makna sedang Nabila memerah.
Malam harinya, setelah makan malam Nabila menyelesaikan kegiatannya dalam membenah semua barang yang dia bawa ke kemah. "Nabila, apa kau tak sabar berlibur di Bali?" Mulanya Nabila kaku lalu mengangguk pelan.
Tiba-tiba saja sebuah dekapan belakang diterima olehnya. "Apa kau tak mau kita pratek?"
"Pra-praktek apa?"
"Liburan termasuk ritual."
"Ritual?"
"Iya, masa tak tahu sih?"
"Tidak." Nabila lalu mendorong Leo menjauh. Dia lalu membaringkan diri di ranjang dan menutup tubuhnya dengan selimut. Leo terkekeh dan memeluk tubuh sang istri yang masih terbungkus selimut.
"Ayo Nabila lepaskan selimutnya,"
"Nggak, aku nggak mau!" Setelah lama bergelut mereka akhirnya tertidur pulas di atas ranjang.
Tak terasa hari untuk pergi ke Bali tiba. Fredikson beserta istri dan juga Adam mengantar pasangan itu ke bandara. "Leo jaga Nabila ya begitu juga Nabila jaga Leo."
"Iya Ibu, kami akan baik-baik saja." ujar Leo kemudian memeluk kedua orang tua dan kakek lalu menjauh beberapa langkah. Nabila pamit juga dengan mencium tangan Ibu dan Ayahnya lalu pergi bersama suaminya.
Di dalam pesawat, Nabila merangkul lengan Leo sangat erat dan hal itu membuat Leo jadi bingung sendiri. "Nabila kenapa kau memegangku erat?" Sontak wajah Nabila tersipu malu.
"Mm ... ini adalah pertama kalinya aku naik pesawat."
"Oh begitu, tenanglah ada aku kau--" Mendadak kedua orang itu merasakan goncangan yang sangat kuat.
"Leo, kenapa ini?" Raut wajah Nabila berubah menjadi pucat pasi.
"Tidak apa-apa Nabila, pesawat sudah seperti ini."
"Tidak terjadi apa-apa, kan?"
"Tidak." Selama perjalanan, Leo sibuk dengan menenangkan Nabila. Bahkan dirinya tak bisa pergi ke kamar kecil saking Nabila ketakutan namun dengan bujukan, Nabila mengalah dan akhirnya Leo bisa melepas diri.
Butuh beberapa jam akhirnya mereka sampai di Bali. Keduanya segera mengonfirmasi kamar yang sudah dipesan jauh hari dan masuk. Nabila menyibak gorden dan melihat suasana asri yang sangat indah sampai dia menyadari ada pasangan bule yang tengah berciuman mesra di hadapannya.
Nabila secepatnya menutup gorden dengan wajah memanas. "Loh Nabila, kenapa kau tutup gordennya lagi? Biarkan udara dan cahaya masuk supaya bagus." kata Leo seraya mengeluarkan barang-barang dari koper
"Mm ... aku pikir akan lebih baik kalau kita jalan-jalan saja." balas Nabila kikuk.
"Kau tak mau istirahat dulu?"
"Ti-tidak aku ingin keliling dulu di hotel ini. Aku sangat bersemangat melakukannya!" jawab Nabila dengan gerakan ceria yang dibuat-buat. Walau Leo merasa ada yang salah dengan tingkah Nabila, dia pun menuruti dan mengganti bajunya dengan baju santai.
Leo lalu mengetuk pintu yang menjadi tempat Nabila mengganti baju. "Nabila ayo kita pergi,"
"Iya sebentar." Pintu terbuka dan tampaklah Nabila dengan senyuman lebar. Namun senyuman itu menghilang melihat sang suami tak memakai topeng seperti yang biasanya.
"Leo, kenapa kau tak memakai topengmu?"
"Aku mencoba untuk tampil dengan diriku sendiri. Aku yakin sekarang dan semoga saja percobaanku berhasil." Nabila mematung sesaat lalu tersenyum.
"Ya itu pasti. Aku akan mendukungmu." Sambil beriringan keduanya berjalan keluar dan menikmati suasana di Bali yang sesak. Sesekali orang-orang menatap Leo dengan pandangan kurang mengenakkan tapi Leo tak memusingkan hal tersebut. Dia lebih tertuju untuk menikmati liburan bersama Nabila.
Tempat yang terakhir mereka kunjungi adalah pantai. Meski sudah sore namun kondisinya masihlah ramai dipenuhi para pengunjung. Baik dari mancanegara mau pun lokal berkumpul jadi satu. Mereka lalu beristirahat di kafe yang tak jauh dari pantai.
"Apakah menyenangkan?" Nabila mengangguk.
"Ternyata begini rasanya liburan di Bali. Menyenangkan rasanya,"
"Ya, aku juga senang terlebih ketika sama kamu."
"Ish, sejak kapan kau jadi penggombal seperti ini?" Leo tergelak kecil dan mengecup dahi Nabila penuh kasih sayang. Kemudian, Nabila membuka topi dan kacamata Leo yang agak menyembunyikan luka.
Akhirnya terlihat luka Leo di sebagian. Nabila meneliti luka tersebut dan memegangnya. Dielusnya beberapa saat lalu tersenyum. "Apa aku terlihat mengerikan?" Nabila menggeleng.
"Aku suka ... kau tahu penampilanmu ini membuat aku teringat pada pangeran Zuko, salah satu karakter di Avatar. Dia memiliki luka bakar di sebelah wajahnya sama sepertimu. Meski pertamanya dia angkuh dan ambisius tapi dia sangatlah kharismatik."
"Benarkah? Apa aku juga kharismatik?" Nabila mengangguk polos menjawab pertanyaan Leo. Pria itu tertawa dan menatap indahnya panorama matahari tenggelam.