Chapter 19 - Menyusul

"Nabila, apa kau tak apa-apa?" Nabila menoleh. Dia menemukan Marco tengah menatapnya heran. Lantas, Nabila menggeleng lalu pergi dari tempat itu.

Pikiran Nabila terus saja kalang kabut sampai Marco datang lagi dengan membawa makanan. "Nabila, makan siang sudah siap."

Gadis itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Sepanjang keduanya makan bersama, Nabila melihat terus pada Marco yang makan. Kalau dipikir-pikir, Marco selalu berada di sampingnya sejak kecil.

Dia selalu berada di sisinya bahkan di saat sulit sekali pun. Nabila masih mengingat dengan jelas, saat dia masih diopname di rumah sakit akibat kecelakaan yang menimpanya.

Keluarga Marco adalah keluarga pertama yang datang untuk melihat kondisi Nabila. Kaki yang tak utuh lagi dilihat jelas oleh Marco yang masih kanak-kanak saat itu dan bertanya dengan nada tenang. "Apa terasa sakit?"

Tiga kata itu membuat Nabila tak bisa membendung air matanya. Tangis yang tak pernah terlihat selama beberapa hari karena berusaha tegar di depan sang Ibu dia keluarkan saat bersama Marco.

Nabila kecil sangat mengerti dengan kekhawatiran yang dialami oleh seluruh keluarga. Terutama sang ibu. Ibu yang melihat semua dengan mata kepala sendiri kejadian yang naas tersebut.

Dia merasa tak berguna sebagai seorang ibu yang tak bisa melindungi Nabila. Tentu saja ada perasaan menyesal yang sangat hebat dalam dirinya. Nabila kecil tahu bahwa Ibunya terguncang maka dia terus tersenyum pada kedua orang tuanya dan mengatakan tidak apa-apa.

Hanya Marco yang saat itu selalu mendampingi sekaligus mendengarkan semua kesedihan yang Nabila tahan. Selalu saja membuat Marco repot, tapi pria di depannya ini tak pernah mengeluh. Dia sering berkata ketus namun sama sekali tak pernah menyakiti hati Nabila sekali pun.

"Ah airnya habis, aku akan ambilkan ya." Namun sebelum Marco pergi, Nabila menghentikan langkahnya.

"Ada apa?" Marco mendadak gugup melihat tatapan Nabila yang serius.

"Jawab yang jujur Marco, apa kau punya perasaan padaku?" Napas Marco mendadak tertahan. Otaknya tak bisa berpikir sehingga dia salah tingkah di depan Nabila.

"Mm itu aku ...." Hanya gelagatnya saja Nabila sudah tahu jika Marco memang memiliki perasaan padanya sebab semua itu pernah dia rasakan oleh Nabila sendiri.

Didekatinya Marco lalu mengecup salah satu pipi Marco yang langsung membeku. "Terima kasih aku merasa tersanjung dengan perasaanmu. Aku selalu merepotkanmu dengan keadaanku ini tapi kau selalu membantuku terima kasih karena menjadi teman yang selalu ada di sampingku, aku juga minta maaf karena tak menyadari perasaanmu padaku."

Keduanya saling menatap dalam diam sampai Marco bersuara. "Nabila, jika kau belum menikah ... apa saat ini kita akan jadi sepasang kekasih?" Nabila tersenyum.

"Entahlah, mungkin saja. Tapi selama ini aku merasa nyaman sama kamu sebagai seorang sahabat tak lebih."

🌟🌟🌟🌟

Malam ini Leo merasa kamarnya sendiri seperti tempat asing. Tak ada kehadiran Nabila yang membuatnya menjadi berwarna. Leo berkali-kali ingin tidur tapi naasnya semakin dia paksa semakin juga dia tak bisa terlelap.

Dia ingin sekali menghubungi Nabila, tapi Nabila sudah mengatakan padanya jika signal di tempat itu buruk jadi perlu tempat yang bagus untuk menelepon.

Leo yang tak bisa tidur lalu keluar dari kamar. Membuat kopi seorang diri dan duduk di balkon rumah sambil menatap bintang-bintang. Memikirkan apakah Nabila baik-baik saja di sana.

"Kenapa kau belum tidur? Apa kau memikirkan istrimu?" Leo mendongak menemukan Adam yang berjalan menghampiri dan ikut duduk bersamanya.

"Ya, Kakek. Aku merasa kehilangan sesuatu yang sangat berharga setelah Nabila pergi ... aku rindu padanya kakek." Segaris senyuman ditampakkan oleh Adam yang kemudian menepuk bahu cucunya itu.

"Kalau rindu, kenapa tak bilang?"

"Aku sudah mengatakannya kakek sebelum dia pergi tapi tetap saja aku tak bisa tak merindukannya. Menurut kakek aku harus bagaimana? Enam hari lagi akan terasa sulit untukku."

"Bagaimana jika kau pergi ke sana?" Kening Leo tertaut.

"Maksudnya?"

"Susul Nabila Leo, kalau kau merindukannya kenapa tak ikut kegiatan kemah mereka?" Leo melebarkan mata sesaat lalu tersenyum cerah.

"Benar juga kata Kakek, aku sayang padamu." Pria itu kembali ke kamar dan akhirnya bisa tidur. Dia sudah memikirkan apa yang akan dia bawa untuk menyusul di kegiatan perkemahan nanti.

Tak terasa dua hari berlalu, Nabila yang memang seorang cacat diberikan kebebasan agar tak mengikuti kegiatan harian MAPALA tapi karena dia keras kepala akhirnya Nabila turut serta kendati pekerjaannya tak dianggap oleh Marco yang selalu memantaunya.

"Biar aku saja Nabila, kau diam di sini."

"Tapi aku tak enak Marco, semua orang bekerja kenapa aku tidak?"

"Biarkan saja, semua orang tahu kalau kau berbeda. Aku tak mau kalau hanya karena ini, kau terluka." Nabila hendak memprotes namun sebelum itu terjadi terdengar suara seorang pria yang sangat dikenali oleh Nabila.

"Dia benar Nabila, jangan memaksakan diri untuk bekerja." Gadis itu menoleh dan matanya seketika membelalak melihat Leo. Apa ini imajinasinya saja?

Nyatanya, Leo berjalan mendekat ke arah mereka berdua. "K-kau di sini?"

"Iya, maaf aku tak bilang."

"Pekerjaanmu? Apa tak nantinya akan menumpuk?"

"Aku sudah minta izin pada Ayah dan dia bilang pekerjaanku akan diambil sementara oleh Direktur Utama." Sebelum bertanya banyak, Nabila memandang Marco dan seakan tahu Marco lalu menjauh membawa ember yang awalnya di pegang Nabila sementara Nabila menarik tangan Leo menuju tenda miliknya.