Chapter 15 - Tak Yakin

Jessica mengepal tangannya erat. Rasa benci terhadap Nabila makin meluap saja mendengar perkataan Marco yang jelas membela Nabila. "Camkan perkataanku ini. Jangan pernah mengganggu Nabila lagi, jika kau mengulanginya lagi maka kau harus berhadapanku mengerti dan satu hal lagi kendati aku tak menyukai Nabila aku pun sama sekali tak akan menyukaimu."

Hati Jessica serasa tercabik-cabik mendengar kalimat yang menusuk terlontar dari sang pujaan hati. Jessica pun langsung teringat akan perkataan Nabila yang mengatakan bahwa dia mempunyai suami. "Aku merasa kasihan padamu Marco, kau itu sama sepertiku memiliki cinta untuk orang yang sama sekali tak pernah melirikmu."

Marco kembali memutar tubuhnya memandang pada Jessica. "Apa maksudmu?" Segaris senyuman sinis ditampakkan oleh gadis itu.

"Nabila sudah menikah Marco, dia sendiri yang mengatakannya padaku bahwa dia telah menikah." Marco tentu saja tak percaya dan memasang wajah kesal.

"Tunggu sebentar kau tak tahu? Bukankah kalian berteman? Bagaimana dia setega ini padamu, menikah tapi tak mengundangmu." Ada nada mengejek dari Jessica tapi Marco hanya diam kemudian berlalu dari gadis itu.

Jessica mendecak kesal. Untuk kedua kalinya dia tak dipedulikan oleh Marco. Sedang itu Nabila terus memakai muka sendu sepanjang dia belajar. Dia tak memiliki mood untuk tersenyum dikarenakan perkataan Jessica yang tidak percaya jika dirinya sudah menikah dengan Leo DeMonte.

Malahan sebab itu dia menjadi bahan lelucon kemungkinan besar Jessica telah mengatakan pada semua orang tentang fakta yang menurutnya adalah bualan semata. Langkah Nabila terhenti ketika berada di depan sebuah mading.

Diperhatikan dengan seksama dan menemukan kegiatan ekstrakulikuler alam yang dibuat oleh MAPALA. Mata Nabila berbinar-binar, dia suka sekali dengan kegiatan seperti ini dan begitu melihat nama PAMALA Nabila yakin Marco akan mengizinkan dia untuk ikut juga dalam kegiatan tersebut.

Dia pun menuju tempat MAPALA, mendapati Marco yang sibuk berbicara pada beberapa teman yang ikut dalam ekstrakurikuler mereka. Melihat sosok Nabila, Marco menghentikan perbincangan. Pria itu memilih menghampiri Nabila. "Nabila, ada apa kau ke sini? tumben sekali."

Marco melirik pada sekelompok orang yang kini tengah mencibir pelan Nabila. Lirikan itu memperingatkan agar mereka tak mencibir gadis itu. "Begini ... aku mau ikut kegiatan kalian. Apa boleh?" kata Nabila secara bersemangat

Kegembiraan terpancar di wajahnya namun Marco menampakkan wajah masam. Dia menatap ke bawah lebih tepatnya pada kaki Nabila sebelum akhirnya membuang napas berat. "Tak boleh Nabila, maafkan aku."

Sontak Nabila terkejut, mematung sesaat gadis itu bertanya. "Kenapa? Apa ada masalah?"

"Ini tentangmu Nabila. Aku tak mungkin mengizinkanmu ikut kegiatan kami dengan keadaanmu. Bukan bermaksud mengecilkan hati, tapi aku tak mau terjadi apa-apa padamu."

Nabila tahu apa yang disinggung oleh Marco. Keadaanya yang cacat. "Ta-tapi aku akan berusaha sebaik mungkin jadi tolong biarkan aku ikut."

"Tidak Nabila!" Bentakan keras Marco mendiamkan semua orang termasuk Nabila. Melihat raut wajah Nabila yang sedih, Marco menjadi bersalah.

"Maaf Nabila, bukan bermaksud untuk membentakmu. Tapi percayalah aku melakukan ini demi kebaikanmu." Sesudahnya Marco pergi meninggalkan Nabila. Masih dengan mata yang berkaca-kaca Nabila dihampiri oleh Andre salah satu sahabat Marco.

"Sudahlah jangan menangis, ini fomulirnya." Mata Nabila membelalak melihat fomulir persetujuan kemudian pada Andre.

"Kau harus mendapat persetujuan dari walimu. Mungkin saja Marco akan luluh jika orang tuamu mengizinkanmu." Diterimanya fomulir itu. Secercah harapan muncul kembali.

"Terima kasih Andre."

"Sama-sama."

🌟🌟🌟🌟

Sepulang dari kampus, Nabila menunggu kedatangan Leo agar pria itu mau membubuhkan tanda tangan pada fomulir persetujuan. Semenjak menikah dengan Leo, pria itu telah resmi menjadi walinya.

Kedatangan Leo lantas disambut oleh Nabila. Sebagai seorang istri dia menyiapkan segala sesuatu keperluan Leo sampai mereka selesai makan. Mengumpulkan keberanian, Nabila masuk ke dalam ruang kerja Leo di mana pria itu berada.

"Leo ...." Leo menoleh dan memberikan senyuman pada sang istri.

"Ada apa?"

"Mm ... aku ingin bicara padamu."

"Tentu silakan." Nabila lalu menyodorkan fomulir persetujuan pada Leo.

"Aku ingin ikut kegiatan alam. Apa boleh?" Leo terdiam. Sama seperti Marco, dia melihat pada kaki Nabila.

"Apa kau serius?" Nabila mengangguk.

"Percayalah, aku akan berusaha sebisaku Leo. Selama ini aku tak pernah mengikuti kegiatan yang sama karena larangan orang tua tapi sekarang aku sudah menikah. Aku mohon ya Leo, tolong mengerti." Leo mengembuskan napas berat.

"Sebenarnya aku tak yakin ..." Untuk sesaat Nabila kembali merasakan kekecewaan mendengar ucapan Leo.

"Tapi jika kau menginginkannya maka aku pun tak bisa berbuat apa-apa lagi." Senyum Nabila merekah. Dia memandang takjub pada suaminya itu.

"Be-benarkah? K-kau mau aku mengikuti kegiatan ekstrakulikuler alam." Leo tersenyum.

"Tentu saja. Asal kau harus berjanji kalau kau menghubungiku setiap kalian istirahat dan juga berhati-hatilah." Gadis itu senang bukan kepalang.

Karena kegembiraannya dia memeluk Leo tanpa sadar sambil bersorak gembira. Leo pun ikut memeluk turut bahagia dengan yang Nabila rasakan.

Sepersekian detik kemudian, Nabila tersadar. Wajahnya merona karena malu memeluk Leo dengan erat. "Maafkan aku dan terima kasih. Aku janji akan menghubungimu tapi sebelum itu aku harus mendapat izin dari ketua MAPALA semoga saja dia luluh."

"Semangat ya Nabila, aku akan terus mendukungmu." Nabila mengangguk lalu Leo membubuhkan tanda tangannya dan memberikan semua data yang dia punya untuk ditulis juga.

Semoga saja Nabila mendapat apa yang dia inginkan.