Sarah mengetukkan jari telunjuk di atas meja. Lima menit berlalu dari kesepakatan, tapi sosok yang ditunggu belum juga memunculkan batang hidungnya. Sejak tadi Sarah sudah menebak kalau orang itu pasti terlambat. Dia masih hafal dengan tingkah laku orang itu.
"Udah lama nunggu?"
Seketika Sarah mendongak. Dia menatap Atika yang duduk di depannya, tampak tenang tidak merasa bersalah sedikitpun. Sarah tersenyum sinis. Dulu saat Atika telat, wanita itu selalu datang dengan napas terenggah lalu meminta maaf ke Sarah. Tidak seperti barusan.
"Ada apa ngajak ketemu?" tanya Atika to the point.
Atika kaget saat malam hari mendapat telepon dari Sarah. Sebenarnya malam itu juga dia diminta datang. Tapi dia menolak karena masih menemani Lean di Bali.
"Kamu pasti tahu gosip yang nerpa anak kita." Sarah membuka percakapan. Dia memajukan tubuh. Dia tidak perlu takut ada orang yang melihatnya. Karena dia telah memasan ruang privat untuk membicarakan hal ini. "Aku nggak setuju Rein dengan anakmu."
Atika menegakkan tubuh dan menatap Sarah sengit. "Sama. Aku juga nggak setuju sama anakmu. Nanti anakmu menghianati Lean. Sama seperti mamanya."
Kedua tangan Sarah terkepal di sisi tubuhnya. Dia tahu kata "menghianati" lebih ditujukan untuknya. Sarah lalu tersenyum tipis. "Harusnya kamu ngaca. Siapa yang penghianat. Kamu dulu ingin menjadi model sedangkan aku pemain sinetron. Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu rebut sinetronku!!"
Mendengar kalimat itu, Atika mulai emosi. Dia menatap Sarah marah. Rasa kemarahan saat masih remaja kembali menguar. "Kamu nggak bilang kalau ditawari main sinetron. Aku yang saat itu ditawari jelas mau."
Satu alis Sarah terangkat. Apa benar yang diucapkan kalau Atika tidak tahu? Sarah menggeleng dan menganggap itu adalah alasan semata. "Tapi setelah kamu tahu kamu tetap terima, kan?"
Air mata Sarah hendak keluar. Dia ingat saat Atika main sinetron yang harusnya itu menjadi miliknya. Setiap melihat sinetron itu Sarah menangis. Dari kecil dia berlatih keras untuk masuk ke dunia entertain. Kedua orangtua yang tidak kaya, membuat Sarah berjuang sendiri demi mendapatkan peran. Tapi yang terjadi, dia ditusuk sahabatnya sendiri.
"Awalnya aku nolak setelah tahu kalau awalnya kamu yang ditawari. Tapi kamu ingat, kan, kamu menjelek-jelekkan namaku di depan media? Kamu menuduhku sahabat yang menusuk sahabatnya sendiri. Kamu ingat kelakuanmu, kan?" sentak Atika.
Atika mengalihkan pandang. Pundaknya naik turun menahan emosi yang bergejolak. Tak lama Atika menoleh saat mendengar Sarah terisak. Perasaan bersalah itu muncul di hatinya. Atika hendak bangkit mendekati Sarah, tapi dia mengurungkan niatnya.
"Aku marah sama kamu, Tik. Aku emosi saat itu. Setelah berita itu tersebar, aku memang puas. Tapi hatiku sakit. Aku ingin meminta maaf, tapi apa yang kamu lakukan? Bahkan kamu anggap nggak kenal aku. Kamu ingat itu? Di masa kejayaanmu!!" teriak Sarah.
Sarah menutup wajah. Dia ingat pengusiran Atika, padahal dia hanya ingin meminta maaf. Sejak saat itulah rasa sakit hati menguasai diri Sarah. Bahkan dia bertekad akan membalas Atika. Sarah berusaha agar mendapat peran, dan dia selalu menyaingi Atika dalam bidang apapun.
Sekarang Atika yang tertegun. Selama bertahun-tahun saling diam, barulah kali ini mereka membiacarakan masa lalu. Dia merasa dirinya dulu begitu jahat. Dia ingat pernah mengusir Sarah. Padahal Sarah adalah temannya saat perjuangan di banyak agency. "Aku nggak sadar kalau aku sejahat itu."
Dada mereka sama-sama sesak. Dua orang yang dulunya bagai pinang di belah dua menjadi bermusuhan karena urusan karier. Dua orang yang mendadak menjadi egois hanya karena duniawai.
"Oke itu memang kejadian dulu, sekarang keadaan udah kayak gini," ucap Sarah sambil mengusap sudut mata. "Aku nggak setuju Rein sama Lean."
"Sama aku juga nggak setuju."
"Bagus," jawab Sarah sambil berdiri. "Bilang ke anakmu jangan dekati anakku." Setelah mengucapkan itu dia berjalan keluar.
Sekarang di ruangan itu hanya ada Atika. Dia menunduk sambil menyangga kening. Membahas masa lalu membuatnya sedih, tapi dia tahu setelah sekian lama bermusuhan tidak mudah untuk berbaikan. Terlebih semua orang sudah tahu jika hubungan mereka tidak baik. Sekarang ditambah anaknya memiliki perasaan lebih ke Rein. Atika tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.
***
"Yakin, Liv, lo nggak mau mampir dulu?"
Rein menyampirkan kantong belanjaannya ke tangan. Dia menoleh ke Oliv yang duduk di balik kemudi itu. Mereka baru saja shoping dan ke salon bersama setelah selesai syuting.
"Enggak, deh. Gue mau tidur," jawab Oliv.
Oliv menoleh ke sabahatnya itu. Dia tersenyum senang melihat Rein kembali ceria. Selama tiga hari Oliv selalu berusaha menghibur Rein. Semua dia lakukan demi Rein, dan demi pekerjaan mereka. Sadar atau tidak, pemain lain terkena imbas karena mood Rein dan Miko yang tidak bersahabat. Lokasi syuting yang awalnya kondusif menjadi tempat tegang dan asing.
"Makasih, ya, Liv. Bye." Setelah mengucapkan itu Rein keluar mobil. Dia melambaikan tangan ke Oliv setelah berdiri di sebelah mobil. Setelah itu dia berbalik dan masuk rumah. Ya, sejak tiga hari yang lalu Rein kembali ke rumah atas permintaan mamanya.
Saat sampai di ruang tengah, Rein melihat mamanya itu sedang menonton tv. Dia mendekat, meletakkan barang belanjaannya di atas meja lalu duduk di sebelah mamanya.
"Habis belanja, Rein?" Sarah menatap tiga kantong belanjaan di atas meja. Setelah itu dia menatap Rein yang terlihat fresh itu. "Habis dari salon juga?"
Rein mengangguk. "Iya, Ma. Habisnya Rein suntuk. Tadi pas Oliv ngajak ya udah Rein langsung mau aja."
Tidak ada tanggapan dari Sarah. Rein menatap ke tv yang sedang menayangkan konser musik. Rein mengikuti acara di tv itu, hingga dia melihat Lean muncul dan menyapa penonton. Seketika Rein menegakkan tubuhnya lalu menatap mamanya aneh. "Kok mama lihat ini?"
Sarah menoleh. "Memang kenapa?"
"Ya. Biasanya kan...." Rein tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Dia menatap mamanya penuh selidik dan berharap mamanya tahu maksudnya.
"Rein, setelah putus dari Miko kamu nggak berniat cari pacar lagi?"
Tubuh Rein tersentak. Cari pacar lagi? Dia belum sempat memikirkan itu. Dia baru putus dengan Miko, dan sedang tidak ingin terlibat hubungan dengan siapapun.
"Mama akan menjodohkan kamu."
Kelanjutan ucapan mamanya membuat mata Rein membulat. Seketika dia menatap mamanya tidak percaya. "Menjodohkan? Mama apa-apaan, sih? Rein baru dua puluh tiga tahun. Rein nggak mau dijodohin."
Sarah seolah tidak mendengarkan ucapan anaknya. Dia memilih mematikan televisi lantas memutar tubuh menghadap Rein. "Daripada kamu kena gosip terus, Rein. Mama berniat menjodohkan kamu."
"Ma. Gosip itu bakal ilang sendiri. Nggak usah jodoh-jodohin Rein."
Rein menatap mamanya, lelah. Mungkin ini jawaban atas apa yang selama ini Rein takutkan. Mamanya bertindak yang tidak sempat gadis itu pikirkan. Rein memperhatikan mamanya beranjak dari posisinya itu. Dia menyandarkan kepala di kepala sofa lalu memijit pelipisnya yang mulai nyeri.
"Ini demi kebaikan kamu. Mama akan buatkan janji, biar kamu ketemu Dava."
"Dava?"
Rein menatap mamanya tidak percaya. Dava adalah pacar Rein saat SMA. Setelah kelulusan mereka putus karena Dava memilih fokus dengan studi kedokterannya di Singapura. Sekarang rasa cinta Rein ke Dava tidak ada lagi.
"Iya. Kenapa memang? Dari mantan-mantanmu yang dulu, Dava yang terbaik," jawab Sarah. "Ingat, ini demi kebaikan kamu"
"Rein nggak mau dijodohin!!!" Setelah mengucapkan itu Rein berlari ke kamar.
Brak!!
Rein menutup pintu kamarnya kencang, dan berlari ke ranjang. Dia mulai menangis. Makin ke sini dia tidak mengenal mamanya. Kenapa harus ada acara perjodohan untuk menghilangkan gosip? Kenapa mamanya sering mencampuri urusannya?
Perlahan Rein bangkit dari posisi tengkurapnya. Dia melepas tas slempang yang masih melingkar di pundak dan mereogoh sesuatu. Rein mengambil ponsel, lalu menghubungi seseorang yang menjadi tempatnya berkeluh kesah.
"Halo."
"Lean. Lo di mana?" tanya Rein dengan suara serak.
Di ujung sana Lean mendadak panik mendengar suara serak Rein. "Kamu kenapa, Sayang? Habis nangis?"
"Hiks...." Tangis Rein kembali pecah. Dia ingat dengan ucapan mamanya barusan. "Lo di mana? Gue pengen ketemu."
Lean menoleh ke luar jendela. Sekarang dia masih dalam perjalanan menuju bandara. Dia baru saja menyelesaikan tournya di Bali dan langsung mengambil penerbangan terakhir. "Gue lagi di bandara. Nanti kalau udah sampai di Jakarta, gue hubungi. Jangan nangis, Sayang."
Rein mengangguk. "Ya udah. Nanti gue tunggu di apartemen."
Setelah mengucapkan itu Rein memutuskan sambungan secara sepihak. Dia kembali berbaring di ranjang. Dia sedang menjalani hidup apa, sih? Gosip yang menerpanya saja belum hilang, sekarang ada masalah baru. Apalagi ini soal perjodohan.
Rein menggeleng. Dia tidak akan mau dijodohkan. Rein lalu memejamkan mata dan terbayang wajah Lean. Entah kenapa dada Rein sesak memikirkan Lean. Ada ketakutan besar yang dia rasakan. Takut kehilangan Lean.
"Hiks.... Kenapa semua jadi membingungkan?"