Part belum di revisi.
Typo bertebaran.
Happy reading!
***
Ellina mengelus dadanya saat berhasil keluar dari apartemen Kenzie. Ia hanya menemukan handphonenya dari sekian banyak barang yang ia beli hari ini. Tak mempedulikan itu semua, tangannya mulai berselancar cepat di layar ponselnya. Memasuki sebuah grup kampusnya dan dengan cepat mendapati nomor telepon Nero.
"Jemput aku," ketik Ellina cepat. Lalu pesan selanjutnya ia kirim. "Apartemen A di kota Z,"
Ting!
Balasan Nero begitu cepat sampai.
"Siapa?"
Ellina bernapas lega. Lalu tangannya mulai mengetik lagi.
"Ellina Aracelia Azzuri!"
Menunggu balasan, Ellina berjongkok di halaman bangunan apartemen dengan menggenggam erat ponselnya.
"Sepuluh menit. Tidak, lima menit lagi,"
Mata Ellina menyipit. Lima menit? Apakah Nero ada di sekitar sini? Tak lama setelah itu sebuah suara klakson mobil terdengar. Ellina mendongak, mendapati wajah Nero yang tampak kusut dengan kacamata masih menggantung di sana. Tanpa banyak kata, Ellina memasuki mobil hitam tersebut.
"Terimakasih," ucap Ellina saat mobil mulai melaju.
Mata Nero menyipit, tatapannya mulai menyelidik. "Kau dari Apartemen A?"
Ellina mengangguk.
"Pacarmu?"
"Bukan!" bantah Ellina langsung. "Bagaimana denganmu?"
Nero mencibir. "Aku tinggal di Apartemen C, bangunannya berada di balik apartemen A."
"Oh,"
"Apa yang kau lakukan?" tanya Nero ingin tahu.
"Kabur." jawab Ellina tanpa pikir panjang.
Nero tertawa. "Kabur? Apa kau memiliki masalah dari rumah?"
Ellina menggeleng. "Aku kabur dari serigala putih yang akan membunuhku."
Nero tertawa lagi. Menganggap perkataan Ellina seperti candaan saat pertemuan. "Kemana aku harus mengantarmu?"
"Taman barat di hunian Rose Garden."
Nero menoleh. "Kau tinggal di sana?"
Ellina mengangguk.
"Kau--"
"Keluarga Rexton," jawab Ellina mengetahui pikiran Nero. "Tak ada yang tahu bukan?"
Nero menatap simpati. "Aku tak tahu kau putri dari keluarga Rexton. Kau tak memiliki nama keluarga ayahmu?"
Alih-alih menjawab, Ellina lebih memilih menggali informasi. "Bagaimana denganmu?"
"Aku?" matanya meneliti jalan lalu kembali menatap Ellina sesaat. "Aku putra terakhir keluarga Prinz. Kau mungkin tak begitu mengenal keluargaku. Keluargaku tak sekaya empat keluarga berpengaruh di Kota Z. Keluarga Blade, Canuto, E.V dan yang teratas, Keluarga Reegan. Tapi kami hidup cukup baik,"
"Yah, kau terlihat tak pernah pamer dengan kekayaanmu," ucap Ellina jujur.
Nero tertawa tipis. "Bagaimana denganmu? Kau juga merupakan keluarga terpengaruh setelah empat keluarga teratas. Aku sangat tahu saham keluarga dalam bidang properti begitu baik."
Ellina menggeleng tak peduli. "Aku tak tahu sama sekali soal itu,"
"Itu yang membuatmu berbeda," Nero menatap Ellina yang bersandar dan memejamkan matanya. "Kau tahu? Kau berbeda dari para gadis jurusan kita. Terlihat tak peduli pada sesuatu meski hidup tengah berputar di sekitarmu. Apa kau juga tahu? Kau gadis terpopuler di kampus kita saat ini."
"Apakah itu penting? Dari mana rating itu berasal?"
"Aku tak tahu, tapi semua pria kurasa mulai mengidolakanmu."
Ellina tak menanggapi dan memilih diam. Matanya terpejam dengan napas teratur. Ia tertidur. Nero pun tak mengusik ketenangan Ellina. Ia dapat melihat wajah lelah di sana. Namun ia cukup berhati-hati, karena Ellina keluar dari Apartemen A, itu berarti Ellina berada dalam kisaran keluarga kaya raya. Dan ia tak ingin mencari masalah dengan ini.
Setengah jam kemudian mobil Nero telah sampai. Ia menatap rumah besar mewah bergaya eropa yang tampak terawat dengan baik. Ellina turun dari mobil dan melambaikan tangannya.
"Terimakasih atas tumpanganmu, Nero."
Nero mendengus. "Kau pikir aku supir? Lain kali aku tak akan melakukan ini."
Ellina tertawa saat mobil Nero melaju meninggalkannya. Ia melangkah masuk ke dalam rumah dan di sambut tatapan dingin ayahnya.
"Darimana saja baru pulang?"
Ellina menunduk minta maaf. "Aku ada acara bersama teman."
"Siapa yang mengantarmu?"
"Teman satu jurusan,"
"Kenapa kau tak datang dalam pertemuan keluarga kali ini?"
Kening Ellina mengernyit. "Pertemuan Keluarga? Kapan?"
Aldric menahan rasa kesalnya. "Sekarang kau pura-pura lupa?"
Ellina menggeleng. "Tidak, Ayah. Aku memang tak tahu."
"Jangan mencari alasan! Adikmu telah mencoba menarikmu tapi kau mengatakan pertemuan itu tak penting! Apa aku membesarkanmu tanpa moral?" nada suara Aldric meninggi. Ia menunjuk wajah Ellina kasar. "Masuk ke kamarmu dan jangan keluar sampai minggu depan!"
Ellina langsung tertegun. "Tapi Ayah, aku harus pergi kulia--"
"Kau bisa pergi setelah pertunaganmu selesai!"
"Pertunangan?" tanya Ellina kaget. Ia sangat yakin, saat ini tak ada berita apapun dari keluarga Reegan. "Bukankah itu masih tahun depan"
"Putra keluarga Reegan ingin semua di percepat!" matanya Aldric menggelap. Wajahnya mengeras marah. "Jangan coba menolaknya, atau kau akan keluar dari rumah ini!"
Ellina terpaku. Kenapa semua menjadi seperti ini? Dalam kehidupan dulu, ia sangat ingat bahwa Kenzie mencoba menggagalkan pertunangan ini. Tapi dalam kehidupan ini, kenapa ia merasa pilihan Kenzie sangat berbeda. Kenapa Kenzie mempercepat semuanya. Saat semua rencananya belum satu pun yang berjalan, takdir seakan mendekatkan mereka dengan sangat cepat.
Ellina menutup pintu kamarnya rapat. Ingatannya berputar pada kehidupannya yang lalu. Ia ingin meremas ingatannya namun rasa sakit dari kenangan itu menyadarkannya. Tak ada yang bisa ia lakukan, selain mencoba menjauhi Kenzie atau keluar dari keluarga ini. Hanya itu caranya. Agar ia bisa bertahan hidup.
Di timbang dari segi manapun, hanya cara kedua yang mungkin ia lakukan. Keluar dari keluarga Rexton. Maka ia tak perlu menghadapi pertunangan bisnis ini. Lagi pula, ia sangat ingat. Cepat atau lambat ia tetap akan keluar dari keluarga Rexton.
Ketukan pintu terdengar, Ellina membukanya dan wajah Lexsi menyambut.
"Kakak, dari mana saja kau baru pulang?"
Tak menjawab, Ellina lebih memilih tersenyum mengejek. Ia sangat muak dengan raut khawatir Lexsi yang palsu. Rasanya, ia ingin merobek semua sandiwara yang telah dilakukan Lexsi selama ini. Kemuakan terlihat jelas di matanya. Namun senyum tipis itu terukir, dengan pikiran ; kapan semua ini akan berakhir?
"Masuklah," kata Ellina. "Bukankah ada hal yang perlu kau bicarakan?"
Lexsi mematung. Langkahnya terlihat ragu namun ia tetap masuk ke dalam kamar Ellina. "Kakak, jangan pernah pikirkan apa yang Ayah katakan. Kau tahu Ayah--"
"Apa yang Ayah katakan?" tanya Ellina sambil menutup pintu kamarnya. Senyumnya terukir pias.
"Apa?" tanya Lexsi tak mengerti. Ia menatap senyum Ellina dan entah kenapa wajahnya menjadi gugup. "Bukankah Ayah memarahimu?" tanyanya hati-hati.
Ellina merasa puas saat melihat Lexsi mulai masuk dalam permainannya. Ia bosan, dan harus menyelesaikan semua ini. "Kenapa Ayah harus marah padaku?"
Lexsi menggengam erat kepalan tangannya. Mencoba menutupi wajah gugupnya. Ia telah cukup kesal selama ini. Menahan semua amarah di hatinya. Tapi akhir-akhir ini, ia merasa Ellina sangat berubah. Menjadi sedikit cerdik dan sulit ia kendalikan. "Itu, karena pertemuan itu,"
"Pertemuan?" alis Ellina berkerut sedikit. "Benar, pertemuan itu. Bukankah kau harus menjelaskannya padaku?"
Lexsi tertegun. Langkahnya mundur ke belakang. "A-aku? Aku--"
"Tak ada orang lain di sini. Hanya kita! Kau tak perlu memakai topeng palsumu. Apakah kau tak lelah?" bongkar Ellina bosan.
"Kak, apa maksudmu?" tanya Lexsi pura-pura tak tahu. "Kenapa kau mengatakan itu semua? Apa kau membenciku? Apa kesalahan yang telah aku lakukan?"
Ellina tertawa sedih. Harusnya ia tahu bahwa Lexsi tak akan percaya semudah itu. Dia telah melakukan ini puluhan tahun. "Hentikan! Aku mulai bosan."
"Kak--"
"Baiklah, jika kau tak mau jujur. Kenapa kau berbohong pada Ayah? Telah berapa lama kau melakukan ini?"
"Berbohong? Tidak, aku tak bermaksud --"
"Kau hanya ingin menghancurkan nama baikku bukan? Lalu kau akan mengambil tempatku. Mengusirku dari keluarga ini. Kau telah sejak lama membenciku, Lexsi!"
Wajah Lexsi memucat. Ia sama sekali tak menyangka bahwa Ellina akan tahu segalanya. "Kak--"
"Hentikan! Kubilang, aku telah bosan!"
Lexsi tertawa. Kilatan benci itu terlihat jelas di matanya. "Benar," jawabnya tanpa ragu. "Aku sangat membencimu! Aku sangat ingin menyingkirkanmu. Kenapa kau sangat beruntung? Membuatku benci setengah mati!"
Ellina tak terkejut. Ia merasa lega karena Lexsi telah jujur. Ia membiarkan Lexsi menatapnya penuh benci. "Tapi kau yang meminta aku menggantikanmu!"
"Benar! Itu aku! Lalu kenapa jika aku memintamu? Kau harusnya berakhir bersama orang buruk dan hidup dengan sengsara. Aku tak mengharapkan bahwa dia sangat berbeda juga memilihmu! Dia menolakku! Kenapa? Kenapa aku selalu kalah darimu?"
"Kau bisa memilikinya jika kau mau. Maka aku akan sangat bahagia," terang Ellina menunjukkan pikirannya.
Namun hal itu membuat kebencian Lexsi semakin besar. "Memilikinya?" tertawa sedih. "Benar! Itulah yang kubenci darimu! Kenapa aku harus menggunakan semua barang bekasmu! Kenapa kau memberikan semua hal berharga dari hidupmu layaknya mereka sama sekali tak berarti! Tahukah kau, itu sangat memuakkan!"
Ellina tertegun. Ia sama sekali tak menyangka pada kejujuran Lexsi yang ini.
"Dulu, saat aku pertama kali datang ke rumah ini. Kau memberikan semua boneka bekasmu untukku. Aku tetap tersenyum menerima itu semua. Lalu waktu berlalu dan kau memiliki semua hal yang aku inginkan. Dan hal yang kuinginkan selalu kau berikan seperti mereka tak berarti apa-apa untukmu. Aku muak! Aku benci! Aku ingin memiliki segalanya sendiri! Tanpa harus berbagi ataupun melihatmu lagi!"
"Lexsi, aku memberikannya karena aku ingin berbagi. Karena aku ingin kau tahu, bahwa aku menyayangimu," jelas Ellina sedih. Ia sama sekali tak tahu bahwa seluruh perbuatannya itu membuat Lexsi membencinya.
"Lucu sekali! Apa aku pernah memintanya?"
Ellina terdiam. Ia sama sekali tak menduga semua ini.
"Aku cukup lega kau dapat aku kendalikan selama ini. Tapi akhir-akhir ini, kau berubah! Membuatku merada tertekan dengan pikiran gugup sewaktu-waktu. Aku tak dapat tidur dengan nyenyak. Dan kau semakin berulah hingga aku benar-benar merasa harus menyingkirkanmu dengan mudah!"
"Lexsi,"
"Kenapa? Kenapa kau harus berada di rumah ini! Kenapa kau harus menjadi bagian keluargaku! Kenapa kau tak pergi saja!"
Ellina tertawa sedih. Menatap air mata Lexsi dengan mata berapi-api. Itu pasti sangat sulit untuknya. Menahan kebencian sangat lama hingga tak merasakan ketenangan. Ia bergidik ngeri, orang seperti apa yang telah menjad adiknya selama ini.
"Kau ingin aku pergi?" tanya Ellina dengan sirat tak pasti. Ia tertawa. "Baikan, aku akan melakukan itu. Kau bisa memiliki segalanya! Ayah, ibu, keluarga, dan semua. Aku akan pergi,"
Lexsi tertawa sumbang. "Menggelikan! Dari awal mereka telah milikku. Kau bukan siapa-siapa dalam keluarga ini!"
Hati Ellina mencelos. Ia sangat tahu kenyataan ini, tapi mendengar itu semua secara langsung masih saja menyakitkan hatinya. "Maka bisakah kau berjanji? Jangan pernah usik kehidupanku lagi! Jangan ganggu hidupku dengan semua alasanmu!"
Benar. Ini adalah langkah yang benar untukku. Dengan ini ikatan takdirku akan berubah. Aku tak perlu berada di sini lagi. Aku bisa menjalani hidupku sendiri.
Lexsi tertawa mendengar jawaban Ellina. "Kau sangat lucu!"
Tanpa banyak kata, Lexsi bergeser ke samping dan menyenggol sebuah gelas hingga jatuh dari atas meja. Gelas itu pecah. Ellina cukuo terkejut dengan semua.
"Lexsi, hati-hati. Menjauh dari sana,"
Tapi belum selesai semuanya. Lexsi sengaja menginjak kakinya pada pecahan gelas kaca tersebut. Hingga darah keluar dari kakinya. Ia mengaduh lalu terduduk sambil menangis. Hal itu membuat Ellina mendekat karena terkejut.
"Ahhkkk! Sakit. Ayah...! Ibu...!" teriak Lexsi cukup keras. Ellina masih tertegun dan tak dapat memikirkan hal yang Lexsi lakukan.
Pintu kamar Ellina terbuka kasar. Aldric dan Vania masuk lalu sangat terkejut pada hal yang terjadi.
"Kakak, aku telah minta maaf. Aku tak tahu kau semarah ini hingga mencoba mendorongku. Kakak, aku bisa jelaskan semuanya. Aku tahu aku bukan anak keluarga ini. Tapi aku sama sekali tak mencoba menyakitimu. Aku akan melakukan semua hal yang kau katakan. Aku akan menjadi adik yang baik untukmu. Jadi jangan seperti ini padaku," Lexsi menangis histeris dengan menggenggam tangan Ellina. Ia masih terduduk dan menekan tubuhnya pada pecahan gelas kaca itu hingga darah semakin banyak keluar.
Mata Ellina terasa panas. Ekspresinya tak terbaca. Ia sangat tahu sifat Lexsi, tapi tak menyangka bahwa dia akan melakukan semua ini. Ia sangat kebingungan sekarang. Di masa lalu, Lexsi tak pernah melakukan hal ini. Mereka menjadi keluarga harmonis hingga dirinya mati. Tapi di kehidupan ini, kenapa semua menjadi tak terkendali?
"Le-lexsi, aku--" ucap Ellina bingung.
"Apa yang kau lakukan pada anakku!" potong Vania murka. Ia tak bisa melihat semua ini. Melihat anaknya terluka dengan darah di mana-mana.
"Ellina!" bentak Aldric kalap. Wajahnya menggelap dengan emosi yang meningkat cepat. "Kau sangat keterlaluan."
"Ayah, Ibu, jangan memarahi kakak. Aku yang salah, jadi tolong jelaskan padanya. Aku akan menjadi adik yang baik, aku--"
"Berdiri," potong Vania mendekat cepat menarik tangan Lexsi untuk berdiri.
"Ahkk," pekik Lexsi kesakitan. Ia sangat melebihkan desahan sakitnya hingga wajah Aldric kian berat.
"A-ayah, ibu. Aku tidak. Aku tidak melakukan itu semua. Lexsi tolong berhenti. Jelaskan pada mereka semua--"
"Aku telah menahannya selama ini!" potong Aldric marah. Ia menatap Ellina benci. "Tapi aku tak menyangka kau tega mekakukan ini pada keluargamu. Jik hari ini adikmu, lalu siapa selanjutnya? Kau sangat berubah," jelasnya sangat dingin.
Ellina menggeleng. Air matanya jatuh tanpa di minta. "Tidak Ayah. Ini tidak seperti yang terlihat. Aku bisa jelaskan."
"Keluar!" tunjuk Aldric pada pintu kamar Ellina. "Mulai hari ini, keluarga Rexton hanya memiliki satu anak. Jadi jangan pernah datang dan di sini lebih lama lagi!"
Ellina tertegun. Semua sangat tiba-tiba meski itu yang ia inginkan. Harusnya tak seperti ini. Harusnya ia mengalami ini dua atau tiga tahun lagi. Ia bahkan belum memberi apa-apa pada ayahnya. Meski ia hanya anak pungut. Harusnya ....
"Ayah," ucap Ellina kecewa. Jantungnya rasanya terengut. Semua kenangan kecilnya yang manis terbayang hingga luka menyayat terasa kian menyakitkan. "Ayah, aku--"
"Aku tak tahu, kenapa aku memilki anak sepertimu! Kenapa dia melahirkanmu dan mengorbannya nyawanya pada manusia sepertimu!"
Bagaikan petir, sebuah kenyataan yang membuat mata Ellina terbelalak. Ayahnya baru saja mengungkapkan sebuah rahasia yang tak pernah ia duga. Dan hal ini menyangkut ibunya. Tapi kenapa semua kian menjadi menyakitkan?
"Ayah," ucap Ellina menggantung. Air matanya begitu deras. "Apa maksud Ayah?" tanyanya menuntut penjelasan.
"Aku kecewa padamu. Aku telah menahan semua ini! Apakah kau harus melakukan ini. Aku bahkan tak mengenalmu! Kau sangat jauh berbeda dari ibumu! Kau merengut semua hal yang kucintai!" jelas Aldric dingin. Ada tatapan terluka dalam di matanya. Tapi rasa benci telah berkumpul menjadi satu.
Lexsi dan Vania yang mendengar itu tersenyum dalam hati. Mereka puas, melihat hubungan ayah dan anak menjadi berantakan. Sebentar lagi, mereka bisa memiliki semuanya sendiri. Hal yang mereka rencanakan dari lama akan segera terwujud.
"Pergi dari sini! Mulai hari ini, aku tak pernah memiliki anak sepertimu! Dan jangan gunakan nama keluarga ibumu! Jangan menjelekkan nama orang yang aku cintai!"
Ellina masih terpaku. Semua sangat mengejutkan untuknya. Tapi rasa sakit ini kian terasa. Dan semua kenyataan ini? Ada apa dengan kehidupan ini? Kenapa ia bisa menjadi anak kandung ayahnya? Kenapa ayahnya sangat terluka pada perbuatannya? Ia sama sekali tak mengerti, namun rasa sakit ini lebih terasa menyakitkan dari yang pernah ia alami di kehidupan sebelumnya. Ia telah di buang untuk kedua kalinya. Bedanya, ia benar-benar melukai ayah kandungnya. Dan di buang dengan sangat tiba-tiba. Hatinya tak siap, tapi ia harus melangkah. Meninggalkan semua ini di sini. Kini akhirnya ia hidup sendiri. Tapi kenapa rasanya seperti ia menyesali keputusan ini?
***