Chereads / Nightmare Cinderella / Chapter 5 - Lari atau aku akan mati!

Chapter 5 - Lari atau aku akan mati!

Reegan World Grup terlihat tegang siang ini. Ruangan rapat bernuansa putih dengan meja besar panjang di tengah itu tampak sunyi. Bukan karena tak berpenghuni, tapi karena tak ada satupun orang yang berani bicara. Raut tegang itu terlihat jelas di setiap wajah dengan mimik takut dan tertekan luar biasa. Semua orang menatap lesu pada pimpinan perusahaan mereka karena tak juga bersuara meski rapat telah usai.

"Jadi, kalian mengatakan bahwa kita telah kalah dari perusahaan Yu Blade Comunication?"

Suara dingin dengan tekanan berat itu membuat suasana kian menegang. Pria itu tak memiliki ekspresi lain selain menatap satu per satu orang yang menghadiri rapat di ruangan itu.

"Itu, kita hanya mengira-ngira Ceo Ken,"

Anggukan setuju menyambut saat sebuah suara menjawab pelan. Lalu,

Srakkk!!!

Suara tumpukan kertas di banting di atas meja terdengar keras. Semua orang bergetar terkejut dan menunduk ciut.

"Hanya perkiraaan?! Apakah ini lelucon untuk kalian!"

Semua orang memejamkan matanya pahit saat mendengar amarah pria itu memuncak. Dari awal mereka semua tahu, suasana hati pemimpin mereka tengah buruk akhir-akhir ini, tapi mereka tak menyangka bahwa akan menjadi tumbal dari amarah yang tertahan selama ini.

"Tuan Kenzie,"

Mata Kenzie menoleh nyalang saat sebuah suara mengintruksinya.

"Kita telah melakukan sesuai perintah, tapi akhir-akhir ini--"

"Aku memerintahkan kalian untuk bekerja! Bukan main-main! Jika kalian tak sanggup memenuhi target yang aku minta, maka keluarlah! Pintu masih ada di sana!"

Seperti sebuah angin sepoi yang beracun, semua wajah memucat. Tak ada yang bergerak, membantah ataupun bernapas lega. Udara seakan meruncing layaknya jarum es yang mengkristal. Dingin dan mematikan. Seperti Ceo mereka, Kenzie Alexis Reegan.

Terkenal kejam dan tak berperasaan. Tak peduli proses namun selalu melihat hasil akhir yang memuaskan. Pria tampan terkaya nomor 1 di kota Z. Dan merupakan pria impian setiap wanita. Namun sayangnya, tak ada satu pun wanita yang berhasil mendekatinya. Banyak yang telah mencoba dan kembali sia-sia atau mati di bawah hewan peliharaannya. Mencoba mendekatinya sama saja dengan memasukkan diri ke neraka.

Tak ingin dikalahkan atau menerima kekalahan. Mencintai kesempurnaan dan membenci kebohongan. Semua hal tentang dirinya adalah impian setiap manusia. Namun dengan seluruh hal yang ia miliki, tak satupun dapat bersanding dengannya. Ia terlalu sempurna hingga merasa tak membutuhkan hal lainnya.

Hingga seluruh keluarganya menjodohkannya. Sebagai generasi tertua, ia di haruskan menikah agar generasi berikutnya dapat menikah juga. Namun jika Kenzie masih sendiri, maka tak satupun dari generasi keluarga besar Reegan yang akan menikah. Dan itu petaka bagi mereka.

Kembali pada ruangan rapat, tak satu pun dari mereka bergerak setelah lima belas menit berlalu. Bahkan mereka merasa kesulitan bernapas dengan benar sejak pandangan dingin Kenzie tak mencair. Hingga saat sebuah suara dari dalam saku jasnya berdering. Mengalihkan perhatian Kenzie, dan mereka semua bersyukur untuk itu. Namun karena itu juga, mereka semua menajamkan pendengaran.

Menatap tak peduli pada layar ponselnya, Kenzie membawa telepon genggamnya ke telinga. "Ibu, aku sedang rapat," ucapnya langsung pada inti permasalahan.

"Tinggalkan itu. Itu tak penting. Kau harus datang pada pertemuan kali ini. Jangan lupa untuk bergegas."

Jauh di seberang sana, suara wanita terdengar lembut dengan nada gembira. Tak perlu mendengarkan bantahan Kenzie, wanita itu telah menutup teleponnya.

Wajah Kenzie mengeras. Ia telah menahannya selama ini. Namun semua ini seakan tak berujung. Dan kali ini saja, ia ingin mereka semua menyerah.

Suasana kembali hening. Tak ada yang berani berbicara dan hanya bisa mengutuk pada telepon genggam Kenzie karena membuat suasana hati Ceo mereka semakin buruk. Mereka merasa seakan di hakimi untuk mati hari ini. Begitu berat dan tak tertahankan.

"Rapat di tunda!" perintah Kenzie kemudian sambil berlalu dari ruangan rapat.

Semua orang refleks berdiri dan bernapas lega. Memegang dada mereka dan menyeka keringat dingin yang mengalir. Setidaknya mereka selamat kali ini.

Di lain tempat, di sebuah cafe terbaik di kota Z tampak hangat. Sebuah ruangan telah tertutup dengan hidangan tersaji sangat baik dan berkelas. Dua keluarga telah hadir di sana, keluarga Rexton dan Keluarga Reegan. Aldric Rexton dan Vania Vanessa tersenyun ramah pada Raven Thian D' Reegan dan Azzura Xaviera. Mereka berempat menunggu putra putri mereka dalam obrolan yang sangat sopan.

Tak lama pintu ruangan terbuka dan kembali tertutup. Lexsi tersenyum cantik dengan sangat anggun dan imut. Keluarga Reegan pun menyambut dengan antusias. Tapi wajah Aldric tampak tak nyaman saat Lexsi duduk di antara mereka.

"Lexsi, di mana kakakmu?" tanya Aldric langsung.

Wajah Lexsi berubah pias. "Itu, Ayah, aku telah mencoba menariknya untuk pertemuan ini. Namun sepertinya Kakak sangat tidak tertarik. Dia berkata bahwa ini bukanlah hal penting."

Vania tersenyum diam-diam pada jawaban putrinya. Sesuai rencananya, mereka akan menggantikan Ellina untuk pertemuan kali ini.

Wajah Raven dan Azzura berubah. Wajah Aldric pun menggelap. Ia tak menyangka bahwa Ellina akan mengatakan itu. Merasa berhasil, Lexsi tertawa menang dalam hati. Tak hanya menciptakan keretakan di hati Aldric, tapi juga memperburuk nama Ellina di hadapan keluarga Reegan.

"Ayah, mungkin kakak hanya sedang sedikit sibuk. Lagi pula, wajar jika dia menolak. Karena awalnya ini adalah urusanku maka aku berniat untuk kembali mengambil alih," ucap Lexsi lirih, matanya menatap wajah Aldric dan Raven bergantian.

"Mengambil alih?"

"Siapa yang menolak?"

Ucapan Aldric bersamaan dengan Kenzie yang membuka pintu ruangan lalu menutupnya. Semua mata menoleh dan Kenzie masih berdiri kaku di sana. Sorot matanya sangat dingin seperti seseorang yang datang dari jauh dan tak tersentuh.

"Katakan, siapa yang menolak?" ulang Kenzie menembus mata Lexsi tajam.

Lexsi tersenyum tipis, sangat tipis hingga menggigil ketakutan. "Itu--"

"Duduklah terlebih dahulu," perintah Raven menatap Kenzie.

Menuruti kata Ayahnya, Kenzie duduk berhadapan dengan Lexsi. Lalu suasana berubah hening dan terasa aneh. Hanya Lexsi yang diam-diam mencuri pandang ke arahKenzie. Merutuki kebodohannya karena tak mengenal Kenzie selama ini.

"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Azzura pelan, ia menoleh pada Kenzie. "Anak kami sudah datang, tapi seperti yang kita dengar, anak perempuan kalian tidak menginginkan anak kami."

Wajah Kenzie mengeras mendengar ibunya mengatakan itu semua. Di tolak?  Dia? Dan keluarganya? Dia benar-benar tak bisa terima itu semua.

"Maaf atas kejadian ini. Kami merasa ada yang tidak beres. Kami rasa, dia hanya belum tahu kabar pertemuan ini," jelas Aldric masih mencoba melindungi Ellina.

"Namun Nyonya Reegan, apakah kalian harus mencocokkannya dengan anak sulung kami? Maksud kami, kami masih memiliki satu putri lagi," ujar Vania sopan sambil menatap Lexsi yang tersenyum malu-malu.

Merasa keadaan tak nyaman, Aldric ikut mengangguk. "Benar, karena dari awal kami ingin menjodohkannya dengan Lexsi. Lalu kurasa tak masalah jika kita menukar --"

"Apakah kalian puas?"

Potong Kenzie dingin membuat semua orang bungkam. Matanya menajam dengan wajah gelap yang mendung.

"Apakah aku barang yang bisa kalian cocokkan sesuka hati?"

Lexsi menggigit bibir bawahnya kuat. Ia menunduk takut pada aura Kenzie.

"Kenzie," peringat Raven merasa tak nyaman.

"Cukup pada rencana awal! Aku inginkan gadis yang pertama! Bukan dia!" putus Kenzie dingin menolak Lexsi langsung.

Mata Azzura berbinar. "Jadi kau setuju? Tak masalah jika dia tak datang?"

Aldric dan Vania juga merasa terkejut pada keputusan Kenzie.

"Masalah? Tak akan ada masalah jika aku yang menginginkannya."

Kata-kata penutup Kenzie membawa kelegaan di setiap wajah. Tapi tidak untuk Lexsi. Ia menggengam erat kepalan tangannya dan mencoba meredam amarahnya. Tersenyum lembut dan merasa bahagia untuk Ellina karena pilihan Kenzie. Meski ia harus menggigit lidahnya sendiri untuk kebencian yang kian mendalam.

"Y-ya, kurasa kalian sangat cocok." ujar Lexsi terbata menekan rasa malunya. Ia sangat tak nyaman dengan pilihan Kenzie.

"Jadi, Paman, kenapa dia tak datang?" tanya Kenzie mengabaikan Lexsi dan lebih memilih bertanya pada Aldric.

Wajah Lexsi mengeras mengetahui bahwa ia di abaikan. Ia mencoba tersenyum dengan pertanyaan Kenzie dan kembali menjawab. "Ketua Ken, kakak tak berminat pada pertemuan ini. Aku telah mencoba memberi tahunya bahwa engkau akan datang, tapi kakak tetap tak peduli,"

Kenzie menatap Lexsi tajam. Dari awal pertemuan, ia sudah tak suka pada wanita di depannya dan kali ini suaranya cukup mengganggu pendengarannya.

"Kenzie, kurasa --"

"Aku akan menemuinya di kampus," potong Kenzie membuat keputusan. Semua orang menoleh. "Kenapa? Apakah aku tak boleh bertemu dengannya?" tanyanya lagi karena melihat seluruh tatapan.

Aldric tertawa. "Tidak, tidak. Kau bisa menemuinya kapanpun."

"Kapanpun?" ulang Kenzie dingin. Sudut bibirnya berkedut akan ijin yang ia dapatkan. "Karena Paman telah memberi ijin, maka aku akan menemuinya sekarang. Kalian bisa bicarakan hal lebih lanjut, aku merasa tak keberatan jika kami harus bertunangan dengan cepat."

Azzura berbinar dengan ucapan putranya. Ia tak akan menolak kata-kata ini dan harus dengan cepat di bicarakan. Atau Kenzie akan berubah cepat lalu mereka kecewa.

Kenzie meninggalkan ruangan pertemuan dan berjalan keluar dengan angkuh. Langkah lebarnya sangat serasi dengan wajah dinginnya yang tak menunjukkan ekspresi. Matanya menatap mobil hitam miliknya yang terpakir tak jauh dari halaman cafe. Saat tangannya mulai menyentuh pintu mobil miliknya, sebuah suara membuatnya menoleh.

"Ketua Ken, bolehkah aku ikut bersamamu? Aku juga akan ke kampus, kurasa aku bisa membantumu bertemu dengan Kakak."

Kenzie menatap Lexsi dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia sangat bisa merasakan bahwa wanita ini tertarik padanya. Ia juga sangat yakin bahwa wanita ini berusaha mendekatinya. Tapi baginya wanita di depannya tak lebih dari orang yang selalu mengganggunya.

"Siapa yang mengatakan aku akan menemuinya?"

Lexsi mengerutkan alisnya atas jawaban Kenzie. Ia sangat tahu bahwa Kenzie sangat dingin, tapi ia tetap berpikir bahwa itu hanya perasaannya. Tapi kali ini, ia merasa bahwa pria di hadapannya benar-benar tak menyukainya. "Tapi--"

Tanpa melanjutkan kata-katanya, Lexsi tertegun saat Kenzie mengabaikannya dan masuk ke dalam mobil sportnya. Perlahan, Lykan Hypersport hitam itu melaju mulus meninggalkannya yang masih mematung.

Tersenyum kesal tak percaya, Lexsi melemparkan tas tangannya ke udara dan bergumam kesal. "Aku di tolak karena Ellina! Lagi-lagi dia! Kenapa dia sangat beruntung!"

Sedangkan di lain tempat, Ellina melangkah riang dengan beberapa tas belanjaan di tangannya. Ia baru saja membeli beberapa helai pakaian dan kini tengah duduk menikmati secangkir kopi di sebuah kafe di kawasan Reegrand World Mall. Mall terbesar di kota Z itu adalah salah satu milik dari keluarga Reegan.

Wajah kecilnya tampak bercahaya dengan tangan mengaduk-aduk kopi di depannya. Matanya berkedip sesekali menatap sekitar cafe yang begitu ramai. Ia menikmatinya saat ini, saat ia bisa bersantai dan bertindak atas ke inginannya. Ia berniat untuk menikmati setiap hari setelah kelahirannya dengan sangat baik.

Merasa momen ini sangat berharga, ia mengeluarkan sebuah kotak handphone yang baru saja di belinya. Mengeluarkan isinya dan mulai mengotak-atik. Jarinya melayang di atas layar dengan lihai. Matanya tampak jernih dengan senyum lembut yang hangat.

"Boleh aku duduk di sini?"

Sebuah ketukan di meja di iringi suara berat menyapa. Ellina mendongak dan mendapati Aaric tengah berdiri dengan kopi di tangannya.

Tak menjawab, Ellina lebih memilih diam dan sibuk pada handphonenya.

"Karena kau tak menjawab, maka aku menafsirkannya sebagai iya."

Aaric duduk dan menatap wajah Ellina yang tak tergerak untuk menatapnya. "Kau telah lama di sini? Apa yang kau lakukan?"

"Aaric," sela Ellina pada akhirnya. Ia mulai bosan dengan pertanyaan-pertanyaan yang terlontar padanya. "Aku merasa tak ada hal yang harus kita perbincangkan. Jadi mari kita seperti orang asing saat bertemu."

Wajah Aaric tertegun. Jelas ia terlihat kecewa. "Kenapa seperti itu? Kenapa kita harus seperti orang asing?"

Ellina tersenyum tipis, "Karena aku tak menginginkan untuk mengenalmu!"

Kata-kata tajam itu mengakhiri percakapan mereka. Ellina berdiri dan membawa seluruh tas belanjaanya lalu meninggalkan cafe. Tak mempedulikan teriakan Aaric atau sapaan dari beberapa pria yang menggodanya. Dalam langkah kecilnya, ada langkah lebar yang baru saja turun dari mobil hitam sport. Memasuki keramaian dengan tatapan dingin dan satu tatapan lurus. Mereka berjalan bersisipan tanpa mengetahui satu sama lain.

Namun langkah Ellina terhenti saat tiba-tiba tangan asing itu menarik tangannya dingin. Tubuh kecilnya terhuyung mundur mengikuti tangannya dan membentur tubuh seorang pria.

"Kita bertemu di sini, Pencuri?"

Mata Ellina melebar. Wajah dingin tanpa ekspresi itu, lalu keharuman yang terasa familiar. Tubuhnya bergetar takut kemudian, dengan cepat ia berusaha melepaskan tangannya. Tas-tas di tangannya jatuh berserakan, napasnya memburu dengan jantung berpacu cepat. Syaraf terkecilnya jelas telah memerintahkan untuk lari dari sana secepat mungkin. Namun genggaman pria itu terlalu kuat di tangannya.

"Melarikan diri?"

Ellina tak menjawab. Ia masih berusaha sekuat tenaga melepaskan pergelangan tangannya. Tangan mungilnya menyentuh tangan Kenzie dan berusaha melepaskan. Tatapannya tak beralih dari tangan kuat yang melingkari pergelangan tangannya. Sudut matanya berair dengan perlahan menetes pelan. Ia menangis ketakutan!

"Le-lepaskan," ujar Ellina lirih penuh dengan nada ketakutan. Ia mulai menyesali kenapa harus lari dari Aaric hingga akhirnya bertemu pria yang paling ia benci.

Namun tangan itu tetap melingkar kuat. Meninggalkan rona merah di kulit putihnya dengan kekuatan yang sama. Tak berkurang. Merasa tak berdaya, ketakutan di hatinya semakin menjadi. Ia merasa seakan dunianya mulai runtuh dengan kegelapan yang datang perlahan. Tubuhnya terasa ringan bagai kapas saat tak lagi dapat berdiri sendiri. Dan samar ia mencium aroma familiar itu kian dekat dengan tubuhnya.

Apakah aku akan mati lagi kali ini?

***