Helena terlelap diatas sofa yang berada di dalam ruang inap Arya, ia tertidur karena kelelahan sehabis menangis atau mungkin juga ia tertidur karena memang sangat mengantuk sebab saat ini jam masih menunjukan pukul 3 dini hari. Sedangkan Darren masih terjaga menatap buah hatinya yang juga terlelap dengan infusan di tangannya. Orang tua mana yang tega melihat anaknya sakit seperti itu. Ia masih tak menyangka, Arya bisa masuk ke rumah sakit dalam kondisi kritis padahal Darren yang sebagai orang tuanya merupakan dokter bedah ternama tahun ini. Memang pekerjaannya tak menjamin keluarganya tak akan jatuh sakit, namun ia pikir setidaknya ia bisa mencegah orang terdekatnya agar tak sampai sakit. Dengan perasaan bersalah akibat kelalaiannya, tangan besarnya mengusap pucak kepala Arya dengan lembut, seakan jika ia memberi kekuatannya sedikit saja, ia takut akan melukai anaknya. Sudah cukup Darren melihat Arya kesakitan. Itu saja rasanya jatung Darren seperti dicabik-cabik belati. Orang bilang jika anak sakit orang tua bisa jauh lebih besar merasakan sakit melihat darah dagingnya tak berdaya. Dan ya memang benar, itulah yang dirasakan Darren saat ini. Kalau saja ia bisa memindahkan rasa sakit, demi Tuhan Darren dengan senang hati menggantikan posisi Arya.
Beberapa kali mengelus kepala Arya, Darren melihat pergerakan pada mata Arya, anak itu terbangun dari tidurnya, matanya mulai mengerjap, sedikit mengeluh karena sinar lampu yang menusuk penglihatannya.
"Ayah?"
"Ya sayang, Ayah disini. apa yang Arya rasakan sekarang? Kepala Arya pusing? Atau mual? Bilang ya nak kalau ada yang sakit."
Arya menggeleng lemah ia tak merasakan apapun, awal terbangun memang ia sedikit merasakan pusing, tapi kemudian rasa sakit itu berangsur hilang. Ia justru takbisa lagi tertidur, matanya sepenuhnya segar seperti mendapatkan tidur dengan sangat cukup.
"Ayah.. Arya dimana yah?"
"Arya di rumah sakit nak."
"Tempat kerja Ayah?"
"Hmm. Kamu beneran udah gak ngerasain sakit lagi? Atau dadanya sesak?" Arya menggelengkan kepalanya. Kemudian menatap lamat-lamat wajah ayahnya yang nampak kelelahan. Gerutan wajahnya samar namun telah terlihat, meskipun begitu ayahnya masih dapat dikatakan sangat tampan dan gagah.
"Ada apa? Kok lihatin ayah kaya gitu? Kamu lebih baik tidur lagi, ini masih terlalu pagi untuk bangun."
"Ayah.."
"Iya kenapa?"
"Arya mau dipeluk ayah, boleh?" Dengan senyuman yang merekah diwajahnya, Darren menganggukan kepalanya, Kemudian Arya menggeser tubuhnya secara otomatis. Darren ikut membaringkan tubuhnya disamping putranya lalu membawa Arya kedalam pelukannya. Tangannya kembali mengusap punggung kecil Arya, membuat anak itu semakin nyaman dalam dekapan ayahnya.
"Maaf ayah gak sadar kamu sakit nak. Ayah terlalu sibuk bekerja"
Arya mendongak, menatap bingung pada permintaan maaf ayahnya, ia tak mengerti tapi nalurinya menggerakkan kepalanya naik turun.
"Gakpapa, ayahkan superhero" kata Arya semangat membuat Darren terkekeh dengan jawaban yang tak nyambung itu.
"Superhero?"
"Iyah superhero yah. Kata teman-teman Arya, superherokan suka menolong orang. Ayahkan suka menolong orang, bisa bikin orang hidup lagi."
"Bukan bikin orang hidup lagi nak, siapa yang bilang begitu?"
"Uncle brother"
"Maksud Arya Uncle Daniel?"
Arya menganggukan kepalanya, Darren mendengus, kurang ajar emang Daniel itu, bisa-bisanya mengajarkan hal yang tidak benar, memangnya dia dokter Frankenstein bisa menghidupkan orang? Itupun orangnya jadi zombie.
"Tidak ada dokter yang bisa menghidupkan orang, tapi dokter mencari tahu orang itu sakit apa, terus kasih obat, nanti Tuhan yang bikin sembuh"
"Jadi ayah bukan superhero, padahal Arya mau kayak ayah"
"Bukan tapi ayah seorang dokter. Dokter juga keren kok"
Arya memandang wajah ayahnya, nampak meragu dengan jawaban yang diberikan ayahnya, apanya yang keren, masih lebih keren superhero bisa terbang, terus bisa hilang juga kayak di film yang Arya lihat. Ditatap seperti itu Darren menghela nafasnya.
"Tidak ada superhero berkekuatan super Arya, yang kamu lihat di film itu bohongan adanya dokter. Lagipula dokter juga menolong orang kok"
"Ayah gak asik, ayah gak percaya sama superhero"
"Nanti kalau sudah besar kamu pasti ngerti. Sudah ayo tidur, ayah sudah ngantuk. Jagoan juga harus tidur biar cepat sembuh." Kata Darren semakin mengeratkan pelukannya, tanpa membalas ucapan ayahnya, Arya memejamkan matanya yang ternyata memang mulai mengantuk lagi dan beberapa menit kemudian keduanya sudah tenggelam kedalam mimpi masing-masing dengan posisi Darren yang mendekap anaknya.
🍀🍀🍀
Helena terbangun karena terganggu dengan sinar matahari yang masuk dari celah jendela kemudian menyilaukan matanya. Pada saat matanya terbuka ia telah disuguhkan pemandangan yang luar biasa menyentuh hatinya. Pemandangan dua orang yang disayang tertidur disatu ranjang dengan Darren yang tengah memeluk Arya. Ia menghampiri keduanya lalu terkekeh tak kala matanya menangkap baju lengan Darren basah karena air liur Arya. Agaknya suaminya terlalu lelah hingga tak menyadarinya.
Terbesit rasa bersalah pada Darren, Helena menyadari bahwa Darren sama khawatirnya seperti dirinya, bagaimanapun juga Arya adalah darah dagingnya, Helena yakin Darren juga merasakan sakit melihat Arya yang kesakitan. Seharusnya ia mengerti posisi Darren, tidak mudah menjalani peran ayah sekaligus seorang dokter bersamaan. Seharusnya ia tidak menyalahkan Darren atas kejadian ini, Helena juga tahu Darren sendiripun pasti tidak ingin kejadian seperti ini terjadi. Tapi karena sudah terjadi, Helena tidak boleh berlarut dalam penyesalan, ia mengerti ini semua bisa menjadi pelajaran untuk keduanya agar bisa semakin menjadi orang tua yang baik untuk ketiga anaknya.
Secara hati-hati ia memperbaiki selimut yang menutup keduanya sampai dada, lalu Helena mengusap kepala Darren dan Arya bergantian tak luput sebuah kecupan manis di masing-masing kening mereka.
"Ibu sayang kalian.... jagoan ibu jangan sakit lagi"