"Stop Blaming the situation. Take risks, dream bigger and hope bigger."
-Achiera Grey (Qoutes)-
Hans melempar Achiera ke atas ranjang secara lembut dan dengan cepat ia sudah berhasil membuka baju Achiera sehingga gadis itu sudah setengah telanjang.
Hans tidak menahan-nahan diri lagi dan langsung merenggut tubuh Achiera, tidak ada foreplay atau kelembutan yang dia berikan. Dengan kasar dibukanya paha gadis itu tanpa basa-basi menyatukan dirinya dengan Achiera yang sebenarnya pun sudah siap menerima kejantanannya.
Hans menyatukan tubuhnya dalam-dalam. Serasa tidak ingin kehilangan kenikmatan lainnya, ia menggerakkan tangan menyentuh payudara Achiera dengan sangat ahli, seakan-akan sudah tahu inci dari setiap tubuh gadis itu. Dia menyingkirkan bra yang menghalanginya untuk melihat buah persik merah ranum di dalamnya.
Lalu bibirnya yang panas menelungkupi puting payudara itu, lidahnya bermain di sana..Sementara tangan yang satu lagi meremas-remas gundukan di sebelahnya, terasa sangat panas membakar seluruh tubuh Achiera, membuatnya tidak sadar merintih dan bergidik.
"Ahhh....!!!"
Tanpa sadar suara itu keluar dari mulut Achiera, dia kebingungan merasakan gejolak yang menyebar di seluruh tubuhnya. Hans sangat ahli, sedangkan dia masih pemula, tetapi Hans langsung menyuguhinya dengan hal-hal aneh ini.
"Yaa Achiera teruskanlah merintih, sebut namaku!" perintah Hans serak, karena nafsu yang memenuhinya, sambil terus bermain di dalam liang Achiera.
Dia kebingungan, kenapa gadis kecil ini membuatnya selalu bergairah, akan selalu ada sensasi berbeda yang tidak pernah didapatkan dari wanita-wanita yang penah ditiduri. Kenikmatan yang menyengat selalu berhasil ia dapatkan dari gadis kecil ini dan Hans menyadari, ia membutuhkan Achiera untuk memenuhi kebutuhan seksualnya.
"Aaah..."
Sebuah erangan nikmat lolos dari mulut Hans dan meledak di dalam tubuh Achiera. Tidak ingin terburu-buru melepaskannya, dia tertidur di celah leher Achiera, merasakan detak jantungnya dan jantung Achiera yang berdegup kencang saling beriringan.
Setelah ritme pernapasan kembali normal, ia pun berbaring di samping Achiera dan memeluknya sangat erat.
"Wwwaaaooww...."
Kata itu keluar begitu saja dan berhasil membuat pipi Achiera merona, dengan lembut dikecupnya leher Achiera, mata birunya yang tajam menatap dalam ke mata Achiera.
"Kau sungguh membuatku tergila-gila, bagaimana aku tanpamu selama 3 hari ini? Aku bisa gila natinya," ucapnya dan langsunh tidur. Perkataannya itu mencairkan sedikit es yang membeku di hati Achiera.
Setalah mandi lagi dan bersiap-siap.
Achiera mengambil kartu yang diberikan Hans semalam lalu pergi berencana langsung menjenguk adiknya di tempat dia dibesarkan, tak lupa dia menulis sepucuk surat untuk Hans yg berisikan,
(TUAN HANS, TERIMA KASIH ATAS BANTUANMU, SAYA PAMIT DULU DAN SAMPAI JUMPA 3 HARI LAGI.
Achiera Grey~~)
Tulisnya lalu pergi tanpa melihat kebelakang lagi.
Sesampainya dia di kota tempat ia dibesarkan, dari airport, langsung menuju ke rumah sakit tanpa membuang waktu barang sedetik pun. Hatinya sudah tidak sabar untuk melihat kondisi adik yang begitu dikasihi.
"Kak..!!" panggil Ferisha begitu melihat Achiera sampai di rumah sakit.
"Bagaimana keadaan Steven?" tanya Achiera panik.
"Kakak lihat sendiri saja. Ayo... kita keruangannya sekarang," ajak Ferisha sambil menarik tangan Achiera.
Setiba di pintu ruangan insentif itu, air mata yang sudah ditahannya sejak kemarin langsung terjatuh meleleh deras ke pipi Achiera. Dia membuka pintu itu dan langsung memakai pakaian yang di steril khusus untuk penjenguk pasien yang memerlukan penanganan khusus.
Tik... tik... tikkkk, bunyi suara alat penunjang kehidupan mengisi penuh ruangan itu.
Achiera melihat tubuh yang terbaring lesu dengan wajah yang pucat di sana, dia berjalan mendekat.
"Bagaimana keadaannya dokter?" tanyanya lemas kepada dokter yang ketepatan ada di ruangan adiknya itu.
"Dia kuat, sungguh suatu keajaiban dia masih bertahan setelah mengalami kecelakaan yang begitu parah. Akan tetapi kecelakaan itu merusak organ dalamnya dan kami akan berusaha memperbaiki organnya yang rusak semampu kami dengan penanganan yg terbaik. Kita juga harus segera melakukan operasi karena ada gumpalan darah di otak-nya. Steven dalam kondisi tidak lazim, dan dia sudah koma sejak kecelakaan dan apa pun tindakan medis yang kami lakukan padanya memiliki resiko tinggi, akan tetapi lebih beresiko lagi jika kita tidak melakukan operasi itu sesegera mungkin. Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi karena akan membahayakan keselamatannya," jelas si dokter pada Achiera.
"Baik dok, lakukan apa pun yang terbaik untuk adik saya," ucap Achiera datar.
"Baik kami akan memberikan yg terbaik," ucap dokter itu.
"Sus ... siapkan ruang operasi," lanjutnya.
Achiera mendekati Steven dan mencium tangannya. Hatinya sangat pedih bagaikan sudah tertusuk benda tajam tapi masih sengaja disirami air garam untuk menambah kepedihan.
"Kamu harus sembuh, jangan buat usahaku sia-sia. Aku melakukan ini untukmu. Aku sangat mencintaimu ,dan tidak ingin kehilanganmu," ucapnya pelan.
"Apa pun akan kulakukan demi kalian. Ingatlah itu apa pun akan kulakukan!!!" lanjutnya sambil terisak.
Achiera keluar dari ruangan intensif menuju ruang administrasi. Setelah itu, pergi ke ruangan neneknya dirawat. Bersyukurnya, keadaan neneknya sudah membaik, membuat Achiera boleh sedikit bernapas lega. Menurut dokter Neneknya sudah boleh pulang hari ini juga.
"Hai adinda-ku, bagaimana keadaanmu sekarang?" sapa Achiera kepada nenek yang sedang makan itu.
"Achiera-ku, kamu pulang?" tanya nenek dan langsung memeluk Achiera. Air mata nenek tua itu ingin terjatuh dan langsung dicekal oleh Achiera.
"Lho apa-apaan ini, aku pulang kok malah menangis? Apa tidak senang melihat aku datang?" tegur Achiera, berusaha menghibur. Dia tidak ingin menunjukkan kepedihannya kepada semua orang termasuk neneknya.
"Dokter sudah mengizinkan Nenek pulang, makanya sekarang Nenek harus makan yang banyak biar pulang," lanjutnya dengan senyum indahnya.
Demi Tuhan, hanya Tuhanlah yang tahu apa yang dirasakan.
"Sini, aku yang suap Nenek makan. Pokoknya harus habis yaaa," rayu Achiera sambil menyodorkan nasi ke mulut neneknya.
Beberapa saat kemudian, setelah nenek selesai makan, ia menyuruh si nenek tidur istirahat. Setelah neneknya tertidur, ia pun pergi.
Dia berencana membeli rumah yang layak untuk tempat Nenek dan kedua adiknya, dari sisa uang yang dia dapat dari Hans. Setelah rumah itu dapat, ia mengajak nenek dan juga Felisha pulang ke rumah barunya.
"Nek, sekarang Nenek dan adik-adik tinggal di sini yaa. Tidak akan ada lagi yang mengusir Nenek dari sini. Rumah ini sudah atas nama Nenek," ucap Achiera begitu sampai di rumah barunya.
"Dari mana kau mendapat uang untuk membeli ini? Sementara kau baru saja bekerja," tanya Nenek.
Gleg!!!
Achiera sudah menduga neneknya akan berkata seperti itu dan dia sudah menyiapkan jawabannya.
"Nek, aku memang baru bekerja, tapi aku meminta perusahaan kami melakukan pembayaran gaji dimuka. Istilahnya sebagai pinjaman gitu, dan yang akan dipotong setengah dari gajiku tiap bulan," jawab Achiera dengan cepat. Entah sejak kapan seorang Achiera pandai berbohong seperti itu, tapi lebih tidak mungkin lagi untuk berkata yang sejujurnya.
"Nenek percaya padamu karena Nenek yakin kau tidak akan berbuat hal yang melanggar nasihat nenek," jawab Nenek sambil mencium kening cucunya dengan sangat lembut, hal ini tanpa sadar menjatuhkan air mata Achiera dan secepatnya dihapus agar tidak menjadi pertanyaan buat neneknya.
*
*
*
Ketika bersama dengan orang yang tersayang waktu terasa berputar 10 kali lebih cepat, mungkin itulah yang dirasakan Achiera. Operasi Steven berjalan lancar, walau belum ada tanda-tanda yang menunjukkan kalau adiknya itu akan segera bangun dan kondisi neneknya juga sudah jauh membaik. Waktu 3 harinya pun sudah habis dan kini waktunya untuk kembali ke ibukota.
"Nek, aku harus kembali untuk berkerja, Nenek jaga diri sini ya. Jangan sakit-sakitan lagi atau aku akan sedih," pinta Achiera sembari mencium pipi tua neneknya.
"Ferisha... Kakak pulang dulu, titip Nenek juga Steven. Ada apa-apa langsung telepon, obat nenek jangan lupa dikasih dengan teratur," lanjutnya sambil memeluk adik yang sangat dikasihi itu.
Sebenarnya berat buatnya untuk meninggalkan keluarganya di sini, tetapi dia harus kembali karna ada tanggung jawab yang sudah ditaruh di panggungnya, mau tidak mau dia harus berangkat ke ibukota.
Pesawat yang dinaiki Achiera sudah landing, pertanda sudah sampai di bandara ibukota negara F, tak lama setelah pemberitahuan dari maskapai penerbangan.
Dia pun turun dan masuk ke dalam bandara, berencana memesan taxi untuk pulang ke rumah sewa.
Selama 3 hari ini, Hans juga tidak ada menghubunginya dan dia pun tidak punya nomor Hans. Untuk kembali ke rumah sesuai perjanjian, Achiera tidak tahu alamat menuju sana.
"Achiera...." panggil seorang pria sambil melambaikan tangan.
Achiera kaget heran karena melihat siapa yang datang menjemputnya.
"Kamu....??" ucap Achiera heran.