Chereads / MRS1 - Addicted / Chapter 11 - Part 10

Chapter 11 - Part 10

Oriel bangun dari tidurnya, seperti biasanya Beverly berada dalam pelukannya. Selimut hangat menutupi tubuh polos mereka berdua.

Makin dipandang wajah Beverly makin manis saja dimata Oriel. Senyum Oriel terlihat saat jari-jarinya mengelusi wajah cantik Beverly. Ia ingin terus seperti ini. Ia ingin Beverly terus bersamanya.

Beverly tersenyum, ia menggerakan wajahnya lebih dekat ke Oriel. Sentuhan Oriel membuatnya terjaga tapi ia masih betah berada dalam posisi ini. Ia suka kehangatan Oriel. Ia suka belaian Oriel.

"Pagi, Sayangku." Oriel mengecup kening Beverly beberapa detik.

Beverly memeluk tubuh Oriel, "Pagi." Balasnya di depan dada Oriel. Bagian tubuh Oriel yang paling ia sukai adalah dada. Di sana Beverly menemukan tempat ternyamannya. Bebannya lenyap ketika ia berada dekat dengan dada Oriel.

"Libur, kan, hari ini?"

Beverly menganggukan kepalanya, "Hm, libur."

"Mau jalan-jalan denganku?"

"Kemana?"

"Villa."

"Kau punya Villa?"

"Punya."

"Baiklah. Aku mau kesana."

♥♥♥♥

Mobil Oriel sampai di villa yang ia maksud. Ia keluar bersama dengan Beverly.

Beverly melihat ke sekitarnya, bangunan indah terbuat dari kaca berada di depannya. Ada kolam buatan dan gazebo di tengah kolam itu. Nuansa hijau di tempat ini menyegarkan mata dan pernafasan.

"Suka?" Oriel sudah memeluk Beverly dari belakang.

"Hm. Tempatnya bagus."

"Ayo masuk." Oriel mengajak Beverly untuk masuk.

"Ya." Beverly melangkah bersama dengan Oriel yang menggenggam tangannya.

"Sepertinya yang difilm-film. Kehidupan mafia memang penuh dengan kekayaan."

Oriel tertawa kecil mendengarkan ucapan Beverly, "Kekayaan dan bahaya, lebih tepatnya."

Beverly menganggukan kepalanya. Ia setuju dengan apa yang Oriel katakan.

"Kau suka kekayaan atau suka hal yang bebahaya?"

"Aku suka dua-duanya, Bev. Tapi sekarang ada hal yang lebih aku sukai dari dua hal itu."

"Apa?" Beverly nampak penasaran.

"Kau."

Beverly tersenyum, pipinya memerah, "Kau memiliki mulut yang luar biasa manis, Oriel."

"Mulut ini tak pernah kugunkan untuk memuji wanita lain sebelumnya, Bev."

"Ah, aku beruntung berarti."

"Benar, kau sangat beruntung." Oriel membukakan pintu untuk Beverly. KEdiaman Oriel disini tidak terlalu dijaga ketat. Hanya beberapa orang saja berjaga di gerbang yang ada 200 meter dari bangunan villa dan pelayan yang bekerja hanya pada pagi hari. "Kau wanita pertama yang aku buatkan makanan, wanita pertama yang datang ke villa ini, wanita pertama yang mendapatkan kalimat manis dari mulutku, wanita pertama yang mengalahkan kebiasaanku, dan kau wanita pertama yang aku cintai. Wanita pertama dan akan jadi terakhir bagiku." Oriel tersenyum pada Beverly. Ia serius dan tulus dengan kata-kata yang ia ucapkan tadi.

Beverly tak tahu harus mengatakan apa saat ini, lama kelamaan kata-kata Oriel membuat jiwanya semakin tak tenang. Dia menginginkan lebih jika dia terus mengikuti getaran di hatinya. Dia tidak bisa. Dia tidak bisa bersama Oriel.

"Kau tidak seperti Oriel yang aku lihat pertama kali."

Oriel berhenti melangkah begitupun Beverly, "Ini semua karena aku bertemu denganmu. Kau membuatku jadi seperti ini. Kau harus tanggung jawab, Bev."

Beverly tertawa geli, "Apa aku menghamilimu hingga kau minta tanggung jawab?"

Oriel tahu saat ini Beverly sedang mencoba mengubah topik pembicaraan, "Aku membuatmu tak nyaman, ya?" Oriel merasa, dia benar-benar merasa jika Beverly tak nyaman dengan kalimatnya.

"Tidak."

"Kau hanya perlu jujur, Bev. Baiklah, kamar kita ada di lantai 2. Silahkan lihat-lihat tempat ini. Kita akan berada disini seminggu. Aku harap kau betah disini, Bev."

"Kau mau kemana?"

"Kenapa? Ingin ikut aku kemanapun, hm?"

"Aku ingin tahu saja, Oriel."

"Aku ada urusan sebentar di depan."

"Baiklah."

Oriel tersenyum lalu membalik tubuhnya. Beverly segera naik ke lantai dua. Ia berkeliling tempat itu. Di lantai dua hanya ada dua kamar. Satu ruangan besar dengan piano di sudut ruangan. Ruangan menonton dan ruangan bersantai. Beverly berakhir di kamar, ia menggeser pintu kaca, melangkah keluar dari pembatas kamar dan sekarang dia sudah berada di balkon.

"Indahnya." Beverly memperhatikan apa yang disuguhkan di depannya. Tempat yang benar-benar hijau, banyak pepohonan dan padang rumput di sekitar Villa. Hanya orang-orang kaya yang bisa membeli tempat pribadi seperti ini. Beverly yakin jika tanah villa Oriel lebih dari satu hektar. Tak ada bangunan lain di tempat itu. Hanya bangunan Villa Oriel saja. Jika villa ini digunakan untuk menyekap orang pastilah tak akan ada yang tahu.

"Kau disini rupanya." Suara Oriel membuat Beverly terkejut. Ia mengurut dadanya pelan lalu membalik tubuhnya.

"Kau mengagetkanku, Oriel."

Oriel mengecup bibir Beverly, "Maaf." Satu kata haram itu terucap dari bibir Oriel.

"Dimaafkan." Beverly mengecup bibir Oriel. Hadiah bahwa seorang Oriel bisa meminta maaf juga.

"Berapa uang yang kau habiskan untuk membuat tempat ini, Oriel?" Beverly membalik tubuhnya. Meraih tangan Oriel lalu dilingkarkan ke perutnya. Ia suka berada dalam pelukan ala Titanic seperti ini.

"Kenapa kau peduli soal uangnya?"

"Tidak, hanya bertanya saja. Pasti banyak sekali."

Oriel menggigit pelan leher Beverly, "Ini hadiah ulangtahun dari Mommyku."

"Oooh." Beverly ber'oh' panjang. "Mommymu pasti banyak uang."

"Daddy dan Mommyku banyak uang, mereka pengusaha sukses. Tertarik untuk menghabiskan uang mereka?"

Beverly tertawa geli, "Aku lebih suka menghabiskan uangku sendiri daripada uang orang lain."

"Ah, wanita mandiri."

"Dimana Mommymu?"

"Di Jerman."

"Daddymu?"

"Berada di negara yang sama dengan kita hanya beda kota saja."

"Orangtuamu bercerai?"

"Iya saat usiaku 14 tahun."

"Ah, jadi kau menjadi mafia karena hal itu."

"Bagaimana mungkin kau menyimpulkan begitu?"

"Orangtuamu kaya. Kau tidak kekurangan uang. Biasanya orang jadi mafia karena faktor keturunan dan juga faktor ekonomi. Mommymu pengusaha, Daddymu juga begitu. Jadi pasti karena perpisahan kedua orangtuamu."

"Kau meleset. Aku tetap akan memilih dunia ini meski tak terjadi sesuatu pada orangtuaku. Aku memilih bukannya dipilih."

"Apa yang kau sukai dari dunia mafia?"

"Bahaya, darah dan kematian."

"Kau terdengar seperti psikopat."

Oriel tertawa geli, "Aku sepertinya juga kanibal. Aku ingin memakanmu sekarang."

Beverly tergelak, "Kau memang mesum, Oriel."

"Entahlah. Bersamamu membuat adikku terus mengeras. Bev, kau apakan aku?"

Beverly mencubit lengan Oriel, "Kau menyalahkan aku. Kejantanan itu punyamu bukan punyaku."

"Rasanya aku mulai gila karenamu, Bev. Jangan-jangan kau menggunakan sihir."

"Ayolah, Oriel. Jangan membuatku mengira kau suka ke dukun."

"Aku serius, Bev. Aku tergila-gila padamu. Mungkin aku akan gila jika kau tidak bersamaku."

"Jangan asal bicara."

"Maka dari itu, jangan pernah tinggalkan aku, Bev."

"Tak ada yang selalu bersama, Oriel. Pada akhirnya semua akan berpisah."

"Jika maut yang memisahkan aku tak bisa apa-apa, Bev. Kemungkinannya aku akan menyusulmu ke neraka."

Arah bicara Oriel semakin membuat Beverly takut saja, dia tak ingin Oriel gila. Dia tak ingin Oriel bunuh diri.

"Kau terlihat lemah sekali jika kau seperti itu, Oriel."

"Apa iya?" Oriel bertanya polos.

"Hidup harus terus berjalan meski seseorang tewas. Jodoh mereka sudah terputus, dan yang hidup harus menemukan jodohnya yang lain."

"Aku hanya ingin kau, Bev." Oriel bersuara sendu, "Tapi, tapi kenapa kita membicarakan kematian? Jangan membicarakan itu lagi, aku merinding mendengarnya."

Beverly tertawa lagi, "Baiklah. Kita bahas yang lain. Ah, kau punya saudara?"

"Banyak."

"Banyak?"

"Daddyku penebar benih. Saat ini yang aku tahu aku punya 5 saudara. Itu dari wanita yang tercatat pernah tidur dengan Daddyku. Dan dari Mommy, aku memiliki 2 orang adik perempuan. Mereka cantik dan lucu, Bev."

"Wajar saja anaknya suka menebar benih. Kau memang putra Daddymu."

"Aku tidak bisa menyangkalnya, Bev. Dia memang Daddyku. Ah, tapi aku sudah berhenti menebar benih. Aku hanya menyukai selangkanganmu saja sekarang."

"Kata-katamu itu, Oriel. Terlalu jelas." Beverly menggelengkan kepalanya.

"Aku hanya mencoba jujur saja."

"Aku percaya."

"Wanita lain sudah tidak bisa membuat adikku berdiri, Bev. Ah, masa kau tidak mengapa-apakan ku, Bev? Kau pasti melakukan sesuatu."

Beverly yakin saat ini Oriel sedang memicingkan mata curiga, "Tuduhanmu itu, Oriel. Benar-benar luar biasa." Beverly melemaskan bahunya, mengelus tangan Oriel yang memeluknya, "Tapi, sepertinya benar, aku sudah menembakan panah ke hatimu."

Oriel tertawa geli, "Kau tidak bisa menembak, Bev. Kau hanya bisa menampung. Hanya aku yang bisa menembak."

Beverly mencubit Oriel lebih keras hingga membuat Oriel mengaduh, "Otakmu memang dipenuhi hal mesum, Oriel. Astaga."

Oriel gemas, ia menggigit bahu Beverly hingga membuat Beverly meringis, sakit tapi aliran listrik berkekuatan kecil mengalir dalam tubuhnya, membuat ia meninginkan sesuatu dari Oriel.

"Bev, aku menginginkanmu."

Beverly sama, dia juga menginginkan Oriel sekarang.

"Tapi kau lelah. Kau menyetir berjam-jam."

"Aku tidak lelah. Mau ya.. ya??" Oriel bertanya seperti anak kecil. Kepribadian Oriel makin lama makin jauh dari imagenya selama ini. Ia seperti anak kecil, terkadang manja dan suka bisa merajuk.

"Baiklah. Ayo."

Oriel tersenyum lebar. Beverly memang tak pernah menolaknya. Tidak pernah sama sekali.

♥♥♥♥

Usai bercinta mereka terlelap, setelahnya Oriel terjaga begitu juga dengan Beverly yang membuka matanya karena pergerakan Oriel. Dan sekarang, disinilah mereka berada. Di dapur. Mereka akan masak bersama. Beverly pandai memasak tapi mungkin tak sepandai Oriel.

Oriel mendekati Beverly yang hendak mengiris jamur, ia menempelkan dadanya di punggung Beverly. Tangannya bergerak naik, mengalungkan tali apron ke leher Beverly dengan gerakan sensual. Kedua tangannya meraih tali apron di pinggang Beverly lalu mengikatnya dengan menarik sedikit hingga tubuh Beverly menegang. Ia mengikat tali itu di belakang pinggang Beverly dengan sedikit erat. Senyuman terlihat di wajah Oriel ketika Beverly tak bergerak.

Beverly merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Kecupan di pipinya membuat kesadarannya kembali. Hal manis yang Oriel lakukan padanya membuatnya ingin menangis sekarang. Ia tidak ingin memimpikan hal ini ketika ia jauh dari Oriel nanti.

"Lihat ujung pisaumu itu, Sayang." Oriel menyadarkan Beverly sepenuhnya, "Kau bisa melukai tanganmu sendiri jika melamun."

"Aku tidak melamun." Beverly cepat-cepat mengiris jamur. "Akh!" Dia meringis, jarinya benar-benar teriris.

Oriel melepaskan sayuran yang dia pegang. Ia segera meraih jari Beverly dan menghisap darah yang keluar dari jari itu. Beverly menangis, benar-benar menangis sekarang. Air matanya jatuh karena perlakukan manis Oriel.

"Aku sudah mengatakan untuk berhati-hati, Bev! Kau tidak dengar aku bicara, ya!" Oriel membentak Beverly.

Beverly tahu Oriel cemas padanya. Beverly tahu Oriel marah karena itu. Dan Beverly tahu kenapa ia menangis. Ia telah jatuh hati pada Oriel.

"Maaf." Beverly bersuara pelan.

Oriel baru menyadari jika Beverly menangis, "Kenapa kau menangis? Apa ini benar-benar sakit?" Oriel melihat ke luka Beverly. "Atau karena aku membentakmu tadi?" Ia menyadari hal lain. "Maaf, sayang. Aku hanya terlalu khawatir."

"Aku tahu. Aku tahu." Beverly menarik tangan Oriel, ia melumat bibir Oriel.

Aku kalah, Oriel. Aku kalah. Aku jatuh cinta padamu. Aku kalah. Beverly menjatuhkan lagi air matanya. Ia tak pernah kalah sebelumnya, tapi sekarang ia telah kalah. Ia kalah dengan perasaannya sendiri.