Seperti biasa, ketika semua temannya tengah bersiap-siap menghadapi pelajaran usah jam makan siang, Derry malah dalam perjalanan menuju kantornya.
Bedanya hanya hari ini ia pakai motor, tidak menunggu jemputan Pak James.
Semua teman sekolahnya—termasuk Ifa—mengira ia sedang di-training oleh segala macam pakar Matematika dan Fisika dari seantero Indonesia. Cerita ini sekadar cover-story dari Pak Kepsek Kastil Hastina—dan tentu saja dirahasiakan para guru—yang memberi kemudahan bagi Derry untuk dapat sekolah sambil bekerja. Tak pelak lagi jika Derry pada akhirnya akan bermasalah dengan pelajaran dan absensi. Tapi, ia selalu mampu mengejar setiap mata pelajaran yang tertinggal, bahkan rangking pertama tiap semester tak pernah lepas dari tangannya. Tak heran jika asumsi teman-temannya yang menyebutkan Derry memiliki sejuta tutor, seolah-olah tampak benar adanya.
Kawasan perkantoran memenuhi Jalan Dapunta Hyang. Jalan itu merupakan satu dari enam jalan super besar dengan lebar delapan lane—terbagi dalam dua jalur yang membelah kota Pakar Kencana seperti jaring simetris. Di jalan inilah 60% perkantoran dan berbagai mall dipusatkan. Tepat di hadapan mall terbesar dan tereksotik di Indonesia, Mall Rimba Kristal, berdiri Menara Kencana—menara tertua di kota ini. Inilah tempat cikal bakal berdirinya Pakar Kencana puluhan tahun silam, dengan Rizal Susanto sebagai pelopornya.
Setelah mengunci sepeda motor di bawah tanda parkir VIP menara itu, Derry masuk lewat pintu samping gedung yang hanya dapat dibuka dengan kartu khusus. Ia masuk dengan santai, menumpang lift khusus karyawan yang kebetulan sedang terbuka. Di dalam lift yang kosong itu, ia memencet tombol 51.
Setelah perjalanan vertikal, pintu lift terbuka dan menampilkan lorong yang sibuk dengan panel-panel partisi kerja di kiri dan kanan. Suara mesin fotokopi, telepon, mesin fax (yap, lihat tahun novel ini), kumuran suara orang-orang, dan bunyi ketikan komputer memenuhi udara. Di tengah-tengah perjalanannya menembus kerumunan manusia, Vin Seitama—General Manajer sekaligus Kepala Divisi Khusus—langsung mendampingi Derry.
"Semua sudah kumpul?" tanya Derry, sambil mengenakan jas eksekutif yang telah diberikan seorang sekretaris.
Vin menjawab dengan sigap, "Sudah. Mereka menunggu di ruang rapat."
Melangkah cepat dan panjang, Derry berkata, "Mari kita selesaikan semua detail proyek kita hari ini."
*
Sudah dua belas tahun Vin bekerja di Susanto Group. Ia menapaki jenjang karier mulai dari level terendah—management trainee yang kerjanya dimulai dari belajar menjadi seorang office boy biasa. Meski memiliki gelar kesarjanaan, ia tak pernah malu mengerjakan tugasnya sebagai OB seperti memfotokopi atau sekadar jadi kuli panggil berkemeja putih. Vin percaya hidup tak dapat hanya ditentukan oleh selembar kertas, melainkan oleh sikap dan kemampuan. Melalui berbagai peristiwa yang mana ia gunakan dengan akal sehat, integritas, dan keberaniannya, barulah ia akan mendapatkan perhatian penuh sang pemimpin, Pak Rizal Susanto.
Beberapa tahun silam, berkat kecerdasannya, Vin sempat dikirim ke luar negeri untuk sekolah. Setelah lulus ia langsung bekerja sebagai sekretaris, kemudian menjadi tangan kanan sang atasan, hingga akhirnya menjadi direktur utama salah satu perusahaan perkapalan dan konstruksi. Kemudian, ia dipindahkan menjadi direktur utama untuk divisi tekstil, dan terakhir—tiga tahun yang lalu—ia kembali ke kantor pusat dengan jabatan yang mengejutkan: General Manajer sekaligus Kepala Divisi Khusus.
Bahagia. Itulah reaksi pertamanya ketika diberi jabatan tersebut. Mengapa tidak? Gajinya dilipatgandakan, berlipat-lipat ganda malah. Otomatis gaji naik, tunjangan pun ditambah, plus kesempatan memiliki porsi saham di 20 korporasi paling berkembang milik Susanto Grup.
Namun, yang pertanyaan berikutnya pada sang atasan adalah, "Apa itu Divisi Khusus, Pak?"
Rizal Susanto, legenda hidup di hadapannya tersenyum dingin. Ia mengatur letak benda-benda kecil dan kertas-kertas di atas mejanya dengan tenang. Suasana ruangan sunyi, selain oleh hiasan barisan bola-bola perak yang terus berdetak dan mengayun dalam hukum tumbukan lenting sempurna.
"Kamu tahu apa yang paling penting dalam sebuah bisnis, Vin?"
Vin tahu jawaban umum dari pertanyaan itu. Namun, tetap saja ia merasa bahwa bos slash gurunya ini tengah ingin menyampaikan sesuatu yang jauh lebih penting, "Saya tidak tahu, Pak."
Wajah dingin dan tatapan mata—telah menaklukkan banyak hati baja pengusaha dan politikus—menatap lurus ke wajah anak buah yang ia tahu kesetiaannya tak dapat diragukan lagi.
Rizal berucap, "Kontinuitas. Kesinambungan. Suksesi. Keberlanjutan. Semuanya sama: Kontinuitas."
Gerigi otak Vin bekerja tapi ia tetap diam, menunggu informasi lebih lanjut.
Rizal melanjutkan, "Tidak ada hal yang lebih penting saat ini, selain kontinuitas. Kontinuitas perputaran uang, kontinuitas eksplorasi diikuti ekspansi bakat dan sumber daya, lalu kontinuitas kepemimpinan. Apalagi kalau kepalanya sudah usia setengah baya seperti ini...."
Hening sejenak.
"Kau tentu tahu bahwa aku punya dua putra…. Yang satu kudidik dengan susah payah, sangat menyenangkan hatiku, tapi ia kemudian meninggalkanku begitu saja…."
Vin menundukkan kepala, ia masih sangat shock mengenai kasus Herman Susanto. Adalah hal tabu menyebut nama itu di seluruh kantor dalam Susanto Grup.
Wajah bosnya tetap tenang tapi tampak ada bara yang menyala dingin di matanya. Ketenangan di dalam kemarahannya itu malah lebih menakutkan dibandingkan ledakan emosi dengan semprotan kata-kata!
"Sekarang aku hanya punya seorang putra lagi,—dan Wennie tidak cocok untuk pekerjaan seperti ini—Derry. Aku tahu dia masih sangat muda, tapi ia mengerti situasi kantor, yayasan, yah..., intinya, semua pekerjaan kita dia paham. Memang, dia belum berpengalaman. Oleh sebab itu, aku menugaskanmu untuk membantunya sekaligus mendidiknya. Setengah dari grup kita nantinya akan di bawah tanggung jawab Derry. Kupercayakan Derry dalam pengawasanmu. Dan, kau langsung bertanggung jawab padaku, mengerti?"
"Baik, Pak." Vin berkata dengan tegap. Tugas kali ini ternyata mengawasi setengah kerajaan bisnis sang bos!
"Satu hal lagi..., jangan kaget, Vin. Anak yang satu ini…," Rizal geleng-geleng, lalu ia mendadak tertawa keras sekali, "aku tahu kamu tidak gampang kaget. Tapi, percayalah…, kau akan belajar banyak hal dari dia, seperti dia akan banyak belajar darimu. Aku memercayaimu."
Vin mengulang lagi, "Baik, Pak."
Dalam hati ia bertanya-tanya, apa maksud perkataan bosnya ini. Apalagi kata-kata seorang bos—raksasa bisnis Indonesia yang tak kenal lelah, tak terduga, tajam, tak pernah menyerah, atau mengenal yang namanya 'impossible'—seperti ini....