Wanita yang kau cintai setiap hari bisa kau jumpai.
Sadarilah sungguh hidup ini indah.
—Fortune Cookies, 11 Agustus 2004
24 Agustus 2004
Tiga hari telah berlalu sejak percakapan terakhir mereka—antara Derry dan Anima. Hari ini adalah hari Kamis yang cerah bagi seluruh penghuni Pakar Kencana.
Setiap pagi, pukul 04.30 Anima sudah mulai memasak untuk para pelanggan setianya; kaum jogger,—yang jauh-jauh datang ke café paginya untuk menikmati udara pagi dan tentu saja bubur Empat Pelangi Dasar plus cakwenya—para pemudik kerja, juga para tetangganya.
Café Po Chi Lam sendiri baru buka pukul sebelas pagi. Jadi, tenda portabel kecil serta bangku-bangku dan meja lipat adalah wujud Café Po Chi Lam di pagi hari sebagai kedai khas dari pukul enam sampai pukul delapan pagi.
Ayah angkat Anima, Liu Yen Gang— 53 tahun—sedang mengawasi Anima dari belakang. Seperti biasanya, acara masak-memasak setiap pagi hari selalu menjadi latihan bagi Anima. Konsentrasi gadis ini sepenuhnya dicurahkan dalam menangani dan memasak bahan-bahan yang ada di depannya dengan gesit.
Setelah melihat aksi Anima dengan dan di antara bubur, cakwe, kue-kue, dan teh, Pak Liu merasakan kebanggaan yang tak terkira. Anak angkatnya ini telah melebihi keandalannya dalam bidang masak-memasak.
Pikiran pria berbadan tegap dan tinggi—generasi kedua imigran dari Cina Daratan—ini mulai melayang, sambil memerhatikan anak angkat yang paling disayanginya ini. Satu-satunya anggota keluarga yang ia miliki di dunia ini.
Sepuluh tahun sudah mereka bersama. Tahun-tahun yang berlalu bagaikan awan dan hujan: ketika diamati akan terasa lama, tetapi begitu hilang akan terasa begitu cepat. Pertemuan mereka yang pertama merupakan keajaiban dan hadiah terindah bagi hidup mereka berdua.
Setelah kematian istri dan anak perempuan satu-satunya akibat kecelakaan, Liu hidup sendiri terpuruk dalam kepedihan yang tak kunjung sembuh. Bekerja keras, membanting tulang sekeras-kerasnya, untuk menghilangkan pedih peri batinnya. Namun, alih-alih berhasil menekan rasa di hati, ia malah menjadi dingin, semakin hampa, dan kehilangan perasaannya. Ia menjadi semakin keras, bahkan kadang kejam, tidak memedulikan orang lain. Ia tak menyadari akan hal itu, sampai ia bertemu seorang anak gadis tepat di depan kedainya—ya, Pak Liu lebih suka menyebut Po Chi Lam sebagai kedai ketimbang café. Anak gadis itu bilang dirinya yatim piatu dan ia sedang melarikan diri dari komplotan penjual anak asuh di Jakarta. Hanya pada Liu lah ia berharap bisa mencari tempat perlindungan. Nama anak gadis itu: Anima.
Liu terpaksa menerimanya karena Anima membawa surat dari orang yang Liu sangat hormati. Mulailah saat itu mereka hidup bersama. Dua insan unik yang sama-sama terluka dan enggan, tapi harus bersama.
Anima yang dibesarkan tanpa cinta kasih, penuh dengan pengalaman buruk, tapi memiliki hati yang tulus akhirnya ia jadikan anak angkatnya saat mereka berdua menyadari bahwa mereka saling membutuhkan untuk menyembuhkan luka hati masing-masing. Pada akhirnya, Liu dapat memaafkan dirinya sendiri, berhadapan langsung dengan kedukaan sekaligus memahaminya secara total. Yang tersisa dari keluarganya yang telah meninggal adalah memori yang indah untuk dikenang, dan kasih sayang Pak Liu pada mereka. Ia kembali merasa dapat dan berhak untuk bahagia.
Sedangkan Anima, tumbuh menjadi gadis yang cantik—jiwa dan hatinya. Ia bisa berdamai dengan masa lalunya karena ia merasa dicintai dan disayangi orang tua angkatnya dengan tulus. Para pelayan, koki, dan semua tamu di café itu adalah keluarganya.
Ketika Pak Liu merenungkan dalam hati mengenai anak gadisnya ini, ia tidak bisa tidak merasa trenyuh. Bahagia sekali. Meski juga ada penyesalan, karena Anima memutuskan tidak ingin melanjutkan sekolahnya. Pak Liu sendiri hanya lulusan SMP Cina di Palembang, yang ditutup paksa pada masa G-30-S/PKI. Sedangkan Anima hanya lulusan SD. Memang anaknya itu memiliki ilmu dan pengetahuan yang luar biasa, tetapi tetap saja Pak Liu menyadari bahwa masyarakat selalu memandang terlebih dahulu yang namanya sertifikat pendidikan.
Pertengkaran soal ini memang sesekali mengudara, terutama jika menyangkut masalah masa depan, tapi Anima selalu menjawab bahwa ia tak pernah merasa khawatir. Ia percaya dengan kemampuan tidak dapat diberikan oleh pendidikan formal. Ia juga memercayai karunia yang dimilikinya. Lagipula, siapa bilang Anima tidak punya cita-cita? Ia punya rencana dan tekad besar plus keras kepala untuk suatu hari menikahi Derry Susanto. Toh, ia adalah calon pewaris Café Po Chi Lam. Memangnya pemilik café harus lulus SMP? Tidak perlu. Begitu selalu dikatakan Anima. Liu Yen Gang hanya bisa geleng-geleng mendengarnya.
Minat anak gadisnya kepada anak penguasa 'di balik layar' kota Pakar Kencana dengan total aset—0,4 % arus perekonomian di Indonesia ini—sangat mengagetkannya! Hampir ia menyangka anaknya jadi korban budaya materialisme! Namun, lama-kelamaan, ia akui bahwa buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Pilihan hati anaknya memang tepat. Derry Susanto bukan sembarang pemuda. Sayangnya, cinta anaknya sampai sekarang masih bertepuk sebelah tangan.
"Papa…, daripada bengong, mendingan ikut bantu kek" Anima tersenyum tahu, meski punggungnya tidak berbalik sedikit pun.
"Ah…, apa? Oh, maaf."
"Pasti sedang mikirin mahyong lagi, kan? Papa memang harus sering-sering main, biar kaga cepat pikun. Tapi, mainnya masih ntar sore. Oh ya, kapan-kapan ajak Anima main lagi, ya?" Anima berucap sambil lalu.
Pak Liu memang hobi bermain mahyong. Lawannya adalah orang-orang tua, tetangga, dan penghuni kondominium di beberapa stasiun MRT terdekat. Biasanya mereka main setiap sore. Pak Liu langsung merinding. Anaknya ini sangat jago main mahyong! Larangan itu turun suatu hari saat ia menemukan anaknya memiliki uang lebih banyak dari yang seharusnya ia berikan. Ketika ia menuduh demikian, Anima hanya ketawa dan langsung jujur.
Satu masih memandangi masakan, satu lagi memandangi punggung anaknya. Lalu, mereka berkata bersamaan seperti sudah janjian, "Kamu tidak boleh main mahyong sampai kamu kawin!"
Mereka berdua ketawa.
Bagi Anima, tak masalah jika tidak bisa main mahyong. Toh, ia bisa main kartu uno, bridge, Magic the Gathering, serta kartu tarot.
Tepat pukul enam pagi, Derry sudah duduk kursi reserved-nya. Seperti biasanya, diam-diam Anima memandang dalam-dalam ke mata Derry, sambil menuang teh. Derry hari ini tampak sehat—hal yang selalu dicek lebih dulu oleh Anima menggunakan pembacaan iris mata—tapi dari sorot matanya, Derry dipenuhi ketegangan dan antisipasi. Sesuatu akan terjadi hari ini, dan Derry sedang menahan perasaannya mati-matian. Ada apa ya? pikir Anima. Tapi ia memilih bersikap biasa-biasa saja.
Sementara Derry sendiri sedang mengkhawatirkan sahabatnya. Kondisi batin Ifa terus menurun sejak insiden hari Senin. Sehari setelahnya, Derry dengan polos menanyakan pada Ifa, "Nah hari ini batas terakhir kamu nembak doi. Kapan?"
Jawaban yang didapatnya sangat lesu. "Nggak perlu. Gue udah ngomong sama Indy kemaren…."
"Udah?! Hebat!! Apa jawabnya?"
Ifa tidak mau menjawab. Tapi setelah dikorek lebih lanjut, ia baru mengakui bahwa kemarin ia tidak nembak sama sekali. Ia kabur tepat setelah perang dimulai, lalu lari sementara angkatan perangnya cerai berai dirusak musuh—bahasa ilmu perangnya untuk situasi Ifa. Singkat kata, ia menghancurkan total kesempatannya sendiri.
Sedangkan Indy semakin tidak peduli dengan Ifa. Bahkan kabar pernyataan Ifa telah tersiar hari Rabu—Derry memperkirakan Indy sengaja menghajar balik rumor dengan pernyataan Ifa sendiri—sehingga jelas penghuni kelas 2A hanya bisa diam saja melihat penderitaan Ifa dan kecuekan Indy.
Derry telah mencoba menggunakan segala macam persuasinya. Memotivasi Ifa agar tidak cepat menyerah. Namun, Ifa sendiri seperti tidak mendengarnya. Ifa masih mencintai Indy, tetapi keburu menyerah. Pahitnya, Derry tahu persis mengapa Ifa kali ini langsung KO, tidak bangkit lagi dengan semangat ala Ksatria seperti biasanya.
Namun, Derry belum menyerah dan takkan menyerah!!!
"Hayoooo!!!!!!! Lagi mikirin apa!!" Anima menggertak sambil—tidak sengaja—menuang teh panas ke tangan Derry!
Derry langsung gelagapan mengaduh-aduh. Mereka pun langsung pura-pura berantem hebat pagi itu, diakhiri dengan suara tawa dan canda.
Ucapan terakhir Anima pada Derry saat waktunya tiba adalah, "Masa depan adalah tidak pasti, masa lalu telah hilang. Kamu jangan tegang begitu…, yang penting kamu percaya dengan niat plus usaha yang telah kamu kerjakan."
"Iya, Buddha Agung." Derry membungkuk dan merangkapkan kedua tangannya dengan takzim, lalu cepat lari ke motornya karena Anima mengejarnya dengan sambitan keranjang dim sum.