Di ruang ganti, suasana tim Ifa telah berubah total. Ada bara yang tak terlihat menyelubungi seluruh pemain Kastil Hastina. Hal itu meledak, ketika Ifa akhirnya tak tahan lagi akan kelemahan dirinya sendiri dan timnya yang tampil menggemaskan.
"Sudah cukup! Bukankah kita tim yang solid sebelum liburan ini? Ke mana larinya semua latihan dan kerjasama kita? Ke mana larinya kemampuan kita??"
Wajah Ifa bercucuran air mata. Kata-katanya lebih diucapkan pada dirinya sendiri, "Ke mana larinya jiwa kita dan semangat kita?! Kenapa kita diam saja dan terima hasil begini? Pakai alasan ini pertandingan dadakan lah, belum siap lah, jarang latihan lah! Ini emang maksudnya Pak Lintar buat nyadarin kita! Selama ini kita sudah sombong! Nggak ada kata gak siap dalam pertarungan sebenarnya! Kita harus tunjukkan ke mereka bahwa kita yang lebih kuat!"
Suasana ruang berganti hening. Dennis menatap Ifa dengan pandangan super gelap, "Sebaiknya kau pegang tuh kata-kata!"
Ifa berkata dengan nada frustrasi, "Pasti!"
Wajah mereka berdua sudah dekat sekali, aura di antara keduanya seakan siap meledak—dalam pertarungan jarak dekat atau pertumpahan darah. Namun, mendadak mereka bertos dengan keras dan nyaring sekali, lalu berpelukan erat.
Semua tim spontan saling berjabat tangan dan berpelukan dengan hangat pula. Mereka berkumpul di tengah, wajah mereka tersenyum dalam semangat yang berapi-api.
"Selamat datang kembali, Fa…. Elu ke mana aja selama ini?" Hadi menyindir halus.
Ifa meminta maaf, tapi Gani men-stop-nya. "Minta maafnya setelah kita menang aja. Kita ketinggalan 12 angka nih, biar Dennis ama gue yang tanggung jawab. Kan kita absen di pertandingan kemaren!"
Rudi nyeletuk, "Tumben kamu nyadar kalau dah nyusahin tim."
"Eh! Coba lu rasain ya kalo usus buntu! Mau lu?"
Segera Pak Lintar menginterupsi di titik ini, karena berantem dan usus buntu tidak sesuai dengan semangat perang tim yang sedang membara ini!
Ketika pertandingan babak kedua dilangsungkan, saat itulah duel antara Ifa dan Kris berulang. Lebih seru, lebih saling mengetahui kelebihan dan kekurangan lawan, lebih taktis dan berani! Akibatnya mereka berdua sama-sama mendapatkan empat kali foul!
Di dua menit terakhir, Kris malah mendapatkan foul-nya yang kelima dan ia terpaksa keluar dari lapangan. Ketika Kris dijaga pun Kastil Hastina sudah bermain bagai kesetanan, apalagi setelah sang Bintang sudah tiada. Maka praktis pembantaian pun terjadi. Pertandingan itu berakhir dengan kemenangan Kastil Hastina: 101-92!
Seluruh GOR bergemuruh menyaksikan kemenangan SMU tuan rumah yang digdaya ini. Kris dan timnya menyalami tim Kastil Hastina.
Kemudian Kris sebagai perwakilan mereka berkata, "Nah, sekarang tolong antarkan kami lihat-lihat sekolah ini."
"Hah???!!" Teriak tim basket Ifa.
Para penonton masih ramai bersorak-sorai! Mengelu-elukan nama Kris dan Kastil Hastina bergantian. Tak menyadari apa yang sedang dikatakan Kris di tengah lapangan.
Shooter jitu SMU Rabu Monogatari, Toni, mengerutkan dahi, "Tadi kita di-briefing Kepsek Kastil Hastina sendiri. Beliau bilang sesudah pertandingan ini kita punya waktu bebas sampai jam tiga sore. Makan siang juga bareng sebagai tanda persahabatan. Nah, sekarang mohon antarkan kami lihat-lihat…."
Pak Lintar sendiri mengangkat bahu dan berkata, "Yah, kalau kepala sekolah sudah bilang begitu ya sudah. Sana bawa mereka jalan. Masih ada waktu kan sebelum makan siang?"
Kris sendiri menatap wajah Ifa yang bersimbah keringat dan berkata, "Nah, temenin gua jalan-jalan, ya?"
"G-gue??"
"Yap. Lo dan gua. Berdua. Ayo! Tapi, tentu saja sesudah kita ganti baju."
Ifa hanya bisa tercengang!
Setelah pertandingan selesai, sekolah masih hiruk pikuk bagaikan sedang ada perayaan besar. Murid-murid bubar dari GOR dengan perasaan puas, kemudian memenuhi lorong-lorong sekolah. Seorang Kris palsu sedang dirubungi fans dan penggemarnya, bagaikan formasi semut-semut mengeroyok gula yang bisa bergerak.
Sementara Ifa dan Kris sedang berjalan berdua melalui pintu belakang GOR yang bersambungan dengan hutan sekolah. Kris tampak senang sekali, ia tak henti-hentinya mengagumi keindahan hutan dan taman sekolah yang rindang ini.
"Gile! Kalo di sekolah gua ada beginian..., tiap hari gua pasti udah ngabur ke sini abis pelajaran."
Ifa tertawa berderai, tapi ia lalu terdiam. Heran sendiri mengapa ia bisa ketawa dan santai begini. Bukankah ia sedang bersama selebritis paling terkenal, rival basket, dan juga orang yang dipuja gadis yang dicintainya?
Namun, Ifa mau tak mau mengakui juga bahwa telah terjalin ikatan di antara mereka! Saling menjaga ketat, bertanding sepenuh jiwa dan raga, bercucuran keringat dan darah di atas lapangan telah membuat Ifa sangat mengagumi Kris, begitu pula sebaliknya. Tidak mungkin seorang artis sinetron belaka bisa memiliki determinasi, bakat, kekuatan, dan kemampuan seperti Kris tanpa latihan terus-menerus. Kris pasti sangat mencintai basket.
"Ada apa?" Kris bertanya setelah melihat Ifa terdiam.
Ifa merasa serba salah dalam situasi ini. Di satu sisi orang ini adalah idola, saingan yang memiliki bakat dan kemampuan yang sangat dikaguminya, tapi di sisi lain Ifa belum mengenalnya dengan baik! Kenapa Kris bisa-bisanya mengajak ia jalan-jalan berdua begini?
Kris mendadak berkata kepada sebatang pohon, membuyarkan lamunan Ifa, "Sejak pertandingan itu gua selalu ngeliatin lo. Gua punya semua video permainan elo tahun lalu, termasuk pertandingan kemaren. Pas nonton gua ulang-ulang terus. Gua gak nyangka ada bakat sebegitu hebatnya di diri lo..., terus terang gua iri...."
Iri? Videonya?
Ifa terperanjat! Tidak sangka Kris yang begitu berbeda kelas dan dunia darinya bisa begitu memerhatikannya!
Ifa tak bisa tidak bertanya, "Ke-kenapa?"
Kris diam saja, hanya tersenyum.
"Sudah sifat gua dari dulu buat bersahabat dengan orang yang gua kagumin. Ifa, lo mau kan jadi temen gua?"
Karena melihat Ifa masih terdiam karena kaget dan tidak enak, Kris cepat-cepat menambahkan, "Apa karena gua seorang bintang remaja, dipuja di sana-sini, lo gak mau jadi temen gua? Gua hanya anak SMU biasa! Gua juga punya hobi! Gua juga seneng punya temen untuk bisa ngobrol soal basket atau hobi lain!"
Saat Kris mengatakan hal itu dengan penuh ekspresi barulah Ifa menyadari beberapa hal sekaligus. Pertama, Kris adalah remaja juga seperti dirinya. Kedua, Kris memiliki sifat ksatria, mengagumi orang-orang yang dianggapnya hebat. Dan ketiga, Kris memiliki sifat terbuka dan tulus.
Ifa kemudian tahu, tanpa sadar ia pun sebenarnya tertarik juga dengan megabintang yang ada di hadapannya ini. Ifa tersenyum malu karena kepicikannya barusan.
"Teman?" Ia mengulurkan tangannya.
Kris menjabatnya dengan erat, "Teman."
Lalu Ifa mencoba memulai percakapan, "Omong-omong apa hobi lu?"
Kris menjawab dengan senyum, "Mancing."
Wajah Ifa bersinar terang bagaikan bola lampu. Segera mereka mengobrol sambil berjalan-jalan, sampai mereka hampir lupa makan