Senin adalah permulaan semua keberhasilan unikmu minggu ini.
—Fortune Cookies, 20 Agustus 2004
Derry Susanto sedang berdiri di depan cermin setinggi dirinya. Sesuai hukum alam yang dijabarkan dalam pelajaran Fisika Optik, cermin itu memantulkan bayangan sempurna sosoknya secara proporsional. Ia sedang asyik mencoba-coba jaket hitam model baru di atas seragam SMU-nya—atasan kemeja putih, celana panjang abu-abu, dan sepatu Nike hitam murni model terbaru.
Ia lumayan tinggi, bertubuh ideal. Wajah ovalnya begitu tampan dengan hidung mancung turunan sang Papa, mata besar berwarna cokelat pemberian sang Mama, plus sedikit janggut nakal yang mulai bersemi di dagunya, hasil kerja metabolisme tubuhnya yang mulai meremaja pula.
Ketampanannya itu dilengkapi dengan senyum yang selalu ia tebarkan ke mana-mana—termasuk ke meja, kursi, bantal guling, bahkan ke kucing garong pencuri ikan di dapur.
"Kayanya OK juga," pikirnya dengan santai sambil memutar-mutar tubuhnya. Sedikit pun kesan itu tak berubah, ia tetap tampak cemerlang menurut pandangannya sendiri.
Kemudian, sambil mengacungkan jarinya ke arah bayangan di cermin, ia berkata dalam hati, "Hei, Derry! Hari ini kamu pertama kalinya boleh naik motor ke sekolah! Berterima kasihlah! Jangan malas lagi seperti minggu lalu!"
Lalu, ia menepuk kedua pipinya beberapa kali dengan keras, dan tersenyum lagi ke cermin, sebelum mengambil tas ranselnya yang butut. Terang saja butut, lantaran dipakai dari SMP dan sudah dijahit ulang untuk diperlebar dan diperkuat di sana-sini, sampai-sampai disebut sebagai ransel "modif". Dengan ransel di pundaknya, Derry berlari menuruni tangga.
Suasana pagi hari pukul enam sedang membumbung di lantai bawah yang luas, di mana keluarga Susanto sedang sarapan. Para pembantu berseliweran sibuk antara dapur dan meja makan, sementara sang Papa, Rizal Susanto yang melegenda di Indonesia dan Dunia—56 tahun—sedang makan sambil mengucapkan sesuatu di telepon genggamnya yang tak pernah tidur. Mamanya, masih terbalut kimono tidur dan menghirup secangkir teh.
Derry bergabung, memainkan peranannya sebagai anak cowok yang tengah menikmati masa remajanya. Dengan penuh penghayatan, ia menghabiskan tumpukan roti bakar isi bersama adiknya, Wennie Çelès (baca: Selas) Susanto—15 tahun—yang sekarang sedang beranjak puber.
"Cieee! Naik motor sekarang! Wennie boleh ikut sampai sekolah?" Pelajar SMU putri Schopenheimer ini bertanya dengan antusias, sambil mendoyongkan tubuhnya ke arah sang kakak.
Derry menengadah dan melihat Ibunya mendelik berbisa ke arahnya, tepat di belakang sang adik.
"Gak bisa Wen…. Kakak nanti digosipin udah punya cewek. Kamu tahu kan kakakmu ini…, ehem.. punya reputasi yang harus dijaga."
Sang Mama, Ailana Susanto—53 tahun—agak kecele juga dan terpancing, "Reputasi apa yang harus dijaga? Memangnya kamu sudah punya pacar? Anak siapa itu?! Sini hadapi Mama dulu!"
"Gak ada Ma. Tenang aja. Kalaupun ada kaga bakal dibawa ke rumah juga kok…." Derry cepat-cepat menyahut.
Pandangan Mamanya, yang juga pemimpin Yayasan Rizman Wederlana, makin membara juga. Derry hanya bisa memenangkan diplomasi dengan senyumnya.
Wennie berkata dengan kesal, "Gak asyik! Bilang aja kalo gak mau nganterin!"
"Kamu mau Pak James kehilangan satu dari tiga pelanggan terakhirnya?" Derry berbisik menenangkan, sebelum berkata lagi untuk menenangkan pihak kedua, "Tenang, Ma! Tenang! Lelang Derry belum dibuka sebelum Mama ketuk palu!"
Papa hanya mendengus tertawa, "Takkan Papa jual kamu, sebelum properti pihak sono nyampe minimal sepuluh triliun."
Itu artinya prospek pasangan hidup Derry di Indonesia sudah dibabat sampai tinggal kurang dari seratus keluarga, belum termasuk keluarga pejabat yang sangat dibenci bisnisnya oleh Papa Derry, sang Pengusaha Tangan Baja—yang reputasinya hampir sama heroiknya dengan Chinmi si Tangan Baja, tentu saja di dunia bisnis bukan kungfu.
"Hati-hati naik motor, Der…. Jangan mentang-mentang di Indonesia kalau tabrakan, motor yang selalu menang maka kamu bisa macam-macam! Kamu tak perlu memeras oranglah pake motor butut begitu!" Papa memperingatkan dengan senyum sejuta dolarnya. Derry cuma bisa ngakak dengan hormat, sementara Mama mencecar Papanya mengenai pembicaraan tentang kecelakaan di suasana yang masih pagi itu.
Dua puluh menit penuh kemeriahan sarapan pagi dan perut lima-per-enam kenyang, Derry berangkat setelah memeluk Papa dan Mamanya. Menyeberangi ruangan tamu yang mahaluas dan dipenuhi hiasan kristal plus dua lukisan Raden Saleh—satu dihuni pria bernama Gubernur Jenderal yang Derry kecil mau tambahkan tulisan VOC di keningnya, satu lagi bergambar pemandangan desa nan menakjubkan—sebelum membuka pintu yang ukurannya dua kali tingginya yang seratus tujuh puluh delapan senti.
Sebuah motor sport hitam berkilat, relik peninggalan kakaknya yang telah dicat dan diperbaiki total telah menunggu tepat di depan teras pualam. Lapangan dan taman hijau yang dibelah jalan dari batu-batu alam indah tapi terlalu besar untuk jadi model suiseki terhampar di muka, di horizon terlihat gerbang besar rumahnya.
Derry menaiki motornya, lalu berkendara menuju gerbang. Tak sampai lima menit dalam kecepatan yang lumayan, ia sampai di pos jaga di mana Pak James Maulana—59 tahun—supir keluarga, sedang bercakap-cakap dengan tukang kebun plus satpam di samping mobil Volvo hitam Papa Derry yang mengkilap, dan baru saja dibawa jalan-jalan mengitari rumah. Pak James ini tak pernah puas kalau tak menjalankan mobil itu, meski kebiasaannya juga tak pernah diprotes Papa Derry.
"Pergi dulu, Pak!"
"Kebutke aja, puas-puasin! Jalan masih sepi! Masih lama toh baru bel." Demikian sahut supir keluarga Susanto itu dengan penuh senyum.
Derry ketawa dan berlalu. Pak James lah yang mengajarinya juga kakaknya bagaimana cara mengendarai sepeda motor dan mobil. Supir keluarga Susanto ini memiliki semua jenis SIM, serta belasan tahun pengalaman sebagai supir bus Maya Sari Bhakti. Reputasinya waktu muda sebagai setan jalanan, membuat dia bekerja di rumah ini…. Tapi, itu cerita untuk lain episode.
Selepas gerbang besar itu memisah dengan otomatis, Derry melesat ke jalan raya! Udara pagi yang masih berembun menyambutnya di antara nuansa kebiruan langit yang baru mulai merekah. Jalan raya di Kota Pakar Kencana yang lebar dan sepi dengan kendaraan, bebas dari kemacetan membuat perjalanan Derry ke arah barat mulus sekali.
Mulai dari rumahnya di pinggiran timur kota, ia membelok melalui pertigaan Pasir Biru.
Lalu, setelah ngebut menembus pagi selama sepuluh menit, Derry membelok lagi di persimpangan Dendam Tak Sudah, di mana terdapat sebuah kolam danau buatan yang besar sekali, lengkap dengan sebuah pulau berisi air mancur di tengahnya, dengan nama yang sama. Gosipnya, dahulu kala, sebelum kolam ini diubah menjadi tempat rekreasi seperti sekarang, pemiliknya mengalami segala macam kesialan dan berbagai macam penipuan hingga bunuh diri di tempat ini. Sampai sekarang pun tak ada yang berani memancing di sini saat malam hari, karena digosipkan banyak terlihat 'penglihatan'.
Dari persimpangan Dendam, Derry memotong jalan yang berlika-liku di antara perumahan dan rumah-rumah susun. Tujuannya adalah bagian selatan kota, tempat kedai-kedai pagi berjejeran di pinggir-pinggir jalan. Tak lama kemudian, ia tiba di dekat stasiun MRT—Mass Rapid Transportation—Sentausa, ia membelok lagi di sebuah tikungan dan sampai di Jalan Kue Cina. Jalan ini memang dinamakan seperti itu karena adanya sebuah café terkenal di Pakar Kencana, dan juga karena sebagian penghuninya adalah warga keturunan, yaitu Café Po Chi Lam yang terletak di antara kedai mie Laris dan toko kelontong Cai Mao.
Derry memarkir motornya tepat di depan kedai yang masih tutup, di bagian depannya terpajang sebuah tenda portabel berlogo Café Po Chi Lam. Tempat itu sudah penuh diisi orang-orang tua dan anak-anak yang berkumpul menikmati hidangan bubur dan cakwe. Ia melirik jam tangan Psaiko-nya, kombinasi jarumnya masih menunjukkan pukul 06.30. Masih banyak waktu, pikir Derry. Ia langsung duduk di sebuah meja yang berisi dua kursi bertulisankan Reserved-daily di tengahnya.
Baru saja ia duduk, langkah-langkah ringan terdengar di sampingnya. Mendadak nampan berisi kue-kue, teh pahit wangi, dan dua buah koran pagi diletakkan di samping meja oleh seorang gadis yang tersenyum manis kepadanya.
"Pelayanan istimewa Tuan Derry dan selamat pagi!" sang pelayan langsung duduk di kursi di hadapan Derry.
Kuping Derry bersemu merah mendengar panggilan bercanda ini. Ia menggeram jengkel.
"A-NI-MA!!! Kalau kamu panggil Tuan lagi…, aku gak akan datang!"