Half-life of a rumor is seven days. [Paruh waktu pergunjingan adalah tujuh hari.]
But, half-life of a truth is seven years' burden. [Paruh waktu kebenaran adalah beban tujuh tahun.]
—Fortune Cookies, 13 April 2004
21 Agustus 2004
Kastil Hastina adalah SMU terbesar, terbaik, dan termegah di kota Pakar Kencana, kota termodern di Indonesia. Sekolah ini terletak di jantung metropolis yang makmurnya menyaingi ibukota Indonesia. Letaknya yang hanya seratus meter dari stasiun MRT interchange terpenting di kota ini—Stasiun Gubernur—menjamin murid-muridnya dari seluruh penjuru kota mendapatkan kemudahan bersekolah di sini. Setiap hari, lonceng besar dalam menara jam raksasa sekolah berdentang tiap tiga puluh menit, menandakan seruan belajar bagi para siswa, sekaligus menjadi penanda waktu bagi gedung-gedung di sekitarnya.
Meskipun namanya Kastil, sekolah ini tidak mencerminkan sama sekali adanya unsur-unsur bangunan benteng zaman medieval seperti menara dengan atap runcing—selokan raksasa, pintu gerbang, ruang tahta, barak-barak tentara, jembatan gantung, atau tembok tinggi dan kuat yang mengelilinginya, apalagi dengan seorang putri yang terkurung dipuncaknya. Kastil Hastina hanyalah sebuah sekolah.
Sekolah ini terdiri dari tujuh bangunan utama. Setiap bangunan utama memiliki sembilan tingkat, dengan kapasitas per lantai dua belas ruang kelas. Tiga bangunan utama untuk kelas satu, dua untuk kelas dua, dan dua sisanya untuk kelas tiga plus satu untuk kelas akselerasi. Bangunan-bangunan ini ditata dalam blok-blok yang mengitari lapangan sepak bola, trek atletik, gymnasium, lapangan basket, dan voli, serta taman hutan berstandar internasional yang ada di tengah-tengah lapangan. Gedung depan yang menghadap ke jalan raya berfungsi sebagai annex utama, sekaligus ruang loker sepatu, plus tangga menuju menara jam yang menjadi ciri khas dan referensi disiplin buat yang suka telat di sekolah bercat putih dan emas ini.
Adapun nama Hastina—diperkirakan oleh klub Kutu Buku—berasal dari nama sebuah negeri dalam epos kuno sangat terkenal yang melibatkan seorang pemanah bernama Rama dan pacarnya yang dilarikan di luar kehendaknya—Sinta.
Motor Derry telah dikunci dan terparkir aman di pelataran Stasiun Gubernur. Ia berjalan santai dan membaur bersama teman-temannya yang baru turun dari MRT. Jam tangan Derry tepat menunjukkan pukul 07.30 ketika ia meletakkan sepatunya di dalam lemari, menggantinya dengan sepatu sekolah yang putih polos.
Bel berdering nyaring, bertepatan dengan suara dua-nya yaitu gema lonceng besar sekolah. Segera saja murid-murid kelas satu berlarian masuk ke dalam kelas masing-masing. Peraturan di sekolah ini memang cukup ketat, tapi Derry malah bersantai-santai saja. Hari itu genap dua bulan di tahun ajaran yang baru, dan tetap saja kebiasaan telat bagi sebagian murid kelas satu masih tetap tak tersembuhkan. Kelas Derry terletak di bangunan yang paling dekat dengan annex, jadi tidak usah lari-lari menyeberangi taman dan lapangan bola kaki untuk mencapai bangunan utara yang memuat seluruh murid kelas satu.
Derry berjalan santai menyusuri koridor yang penuh dengan kesibukan murid-murid yang berebutan masuk ke dalam kelas, karena guru-guru mulai berdatangan. Ia kemudian masuk ke dalam kelasnya: 2A.
Kelas 2A terletak di lantai dua gedung barat Kastil Hastina. Pintu kelasnya terbentang lebar, memperlihatkan sebagian dari dua puluh empat bangku di dalam kelas. Bangku-bangku itu terbagi dalam enam lajur yang melebar menghadap papan tulis dan layar proyektor.
Satu hal terpenting adalah: guru kelas Derry belum datang.
Derry masuk dengan tenang. Ia mendengar suara dengungan keributan kelas di pagi hari. Beberapa murid sedang sibuk menyalin PR, sekelompok cewek asyik ngobrol di dekat jendela. Ia menaruh tasnya di lajur tengah kelas, bangku tetapnya, dan sebelum ia sempat mengeluarkan buku matematika, ia sudah disapa dengan hangat dari samping kanan.
"Pagi bener kali ini?" Jelas betul terasa nada ironi dari pertanyaan ini.
"Motor, motor, keliling dulu." Derry menggumam, tapi kentara sekali rasa bangganya.
Sahabatnya menepuk bahu Derry dengan keras, "SIM nembak?"
"Ya, iya lah! Masa aku punya waktu ngurus…?" Derry menukas.
Yap, karena ia sudah berhasil mengeluarkan buku Mathematics for Indonesian dari tasnya, jadi pandangan Derry dapat difokuskan ke sahabatnya yang satu ini.
Orang yang duduk tepat di samping kanannya adalah pemuda dengan tinggi badan 186 cm, tubuh berotot hasil latihan beladiri dan sepak bola sejak kecil, serta wajah berbentuk oval. Ia tidak tampan dalam arti selevel boyband, tetapi wajahnya menampilkan roman seorang pria sejati. Tulang pipi menonjol, rambut dipotong cepak, dan dagu lancip mencerminkan mental dan pribadinya yang sederhana tapi teguh. Dialah, Argifa Dharmawangsa. Pemain andalan klub basket, sepak bola, dan pencak silat SMU Kastil Hastina. Namanya yang tak lazim membuat pemilik kaos bernomer punggung 23 itu hanya bertuliskan 'Ifa'. Nama panggilan akrabnya di rumah, kalangan tetangganya, warung, dan oleh semua sahabatnya.
Bola matanya yang besar dan coklat sedang memandang wajah Derry dengan penuh kesungguhan, saat ia mendadak bergenti topik, "Der… ka-kamu sudah dengar…?"
Ditengah-tengah pertanyaan Ifa, tiba-tiba saja Pak Jahar masuk dan suasana kelas pun langsung bertambah bising. Selama dua detik itu anak-anak mencoba dengan ajaib dan kacau menempati bangku masing-masing. Keheningan langsung terasa bagaikan hembusan angin saat guru Matematika super pintar tapi super-galak-dan-tak-dapat-diduga ini berdehem.
Ifa berdiri, sekilas tampak kecewa, karena pembicaraannya terpotong, dan langsung mengucapkan,
"Selamat pagi, Pak." Diikuti semua teman-temannya dengan kompak.
Pak Jahar tersenyum—suatu hal yang SUUUAANGATTTTTT langka—lalu berkata kepada Ifa yang masih berdiri, "Hari ini kamu ya, Ifa. Ada apa hari ini? Kok semua ngeliatin kamu?"
Memang benar! Semua mata diikuti senyum, cengiran, dan bisik-bisik mengacu ke manusia tertinggi di kelas ini. Hanya karena ada Pak Jahar lah maka tidak ada suitan ala serigala, tepuk tangan, atau seruan: "Cieeeeeeeeeeeeeee!!"
Derry segera menyadari apa yang ingin sahabatnya sampaikan! Ia tersenyum.
Ifa duduk dengan wajah merah padam, sementara Pak Jahar mulai menyalakan slide proyektornya. Segera dunia remaja berubah menjadi dunia angka riil dan imajiner serta fungsi-fungsinya. Suara keras Pak Jahar sebagai pintu gerbang yang menghubungkan antara pikiran tulalit murid-murid dengan pengertian dari simbol-simbol yang bergulir riang di slide, seakan senang memusingkan kepala murid-murid.