Chereads / Airlangga Sang Maharaja / Chapter 5 - Bab 5

Chapter 5 - Bab 5

Airlangga dan Tunggadewa saling memasang kuda-kuda. Mereka berduel di halaman depan balai desa, ditonton oleh puluhan penduduk. Hal yang membuat sang raja gugup setengah mati. Tangannya dingin sekali.

Jurus apa yang harus kugunakan untuk memulai?

Bagaimana kalau aku kalah?

Sementara Airlangga masih berpikir, Tunggadewa menerjang. Langkah-langkahnya sangat ringan nyaris seperti terbang. Dalam sekejap mata ia sudah berada di hadapan Airlangga, lalu melesatkan tinju. Airlangga yang kaget refleks menangkisnya lalu mundur beberapa langkah. Ia segera kagum sendiri mendapati dirinya baru saja berhasil menahan serangan lawan!

Tunggadewa menerjang lagi, melesatkan tinju berikutnya. Airlangga menangkisnya sekali lagi, menggunakan teknik yang diajarkan Narotama. Sang raja semakin percaya diri. Ia siap menerima serangan berikutnya.

Lalu Tunggadewa melecutkan tendangan. Airlangga terbelalak. Ia yang mengira akan ditinju lagi sama sekali tak mengantisipasi datangnya tendangan. Pingganya pun terhantam keras.

"Aaahk!" jeritnya tertahan. Ia menahan sakit sambil mundur tergopoh-gopoh untuk mencari jarak aman.

Tapi Tunggadewa tak memberi ampun. Ia mengejar Airlangga, lalu melecutkan tendangan lagi. Airlangga cepat-cepat menyilangkan kedua tangan, tapi serangan Tunggadewa sangat kuat sampai Airlangga terjengkang.

"Kang Mas mu itu menggunakan kanuragan," komentar Narotama dari posisi pentonton. "Kanuragannya masih dasar, tapi cukup untuk menghajar orang yang tidak tahu apa-apa soal kanuragan."

Sri Dewi menggigit bibir bawahnya. Gadis itu merasa was-was.

Jika silat adalah ilmu fisik, kanuragan ialah ilmu tenaga dalam. Keduanya merupakan dua unsur yang saling menguatkan satu sama lain. Biasanya pendekar-pendekar hebat menguasai ilmu kanuragan tingkat tinggi.

Airlangga mulai terdesak. Ia memasang kuda-kuda. Namun, tiap kali Tunggadewa menggertak, tubuhnya langsung refleks mundur sejauh-jauhnya. Tunggadewa jadi senang. Ia terus menakut-nakuti Airlangga dengan serangan-serangan tipuan.

"Ayolah, kalau jauh-jauh terus bagaimana caranya kau melawanku?"

Airlangga semakin panik. Ia mulai merasakan puluhan pasang mata yang menghakimi dirinya. Bahwa ia adalah pecundang yang tak berani bertarung secara jantan.

Tunggadewa terus-terusan menggertak. Pada satu titik, Airlangga tidak bereaksi lagi terhadap gertakannya. Dan Tunggadewa memanfaatkan momen itu untuk menyerang betulan. Airlangga terlambat menghindar. Hantaman telapak tangan Tunggadewa mendarat di hidung Airlangga, membuat sang raja berkunang-kunang.

"Aku belum selesai." Tunggadewa menyiapkan serangan berikutnya.

Airlangga pun panik. Ia segera menyalakan Asto Broto. Ia mengalirkan energi ke getih angetnya, lalu gerakan Tunggadewa tampak melambat. Airlangga lekas mengumpulkan fokus untuk melancarkan serangan balik. Ia harus memanfaatkan kesempatan ini untuk menumbangkan Tunggadewa. Namun, pandangannya masih agak berkunang. Dengan susah payah ia memaksakan diri untuk memukul.

Tapi serangannya dangkal. Begitu pengaruh Asto Broto berakhir, Tunggadewa hanya terhempas sedikit ke belakang. Wajahnya kaget. Namun, ia masih bisa berdiri tegap, sementara tubuh Airlangga kepayahan setelah menahan beban getih anget yang ia gunakan.

"Sri Raja tidak berpikir jernih, sehingga menggunakan ajian Asto Broto di waktu yang salah," komentar Narotama. "Waktunya habis untuk memusatkan fokus, dan serangannya pun tak bertenaga. Harusnya ia memasang kuda-kuda yang kuat dulu baru menyalakan Asto Broto."

"Mpu, apa Sri Raja masih bisa menang?" tanya Sri Dewi meski ia sendiri tahu jawabannya. Narotama tak menjawab.

Tunggadewa tidak mengerti kenapa untuk sesaat Airlangga bisa bergerak sangat cepat. Namun, sekarang Airlangga terlihat lunglai. Wajahnya pucat seolah energinya terkuras habis akibat ajian rahasia barusan. Tunggadewa segera memanfaatkan kelemahan itu untuk melancarkan serangan.

Airlangga putus asa. Begitu melihat Tunggadewa maju, ia merunduk sembari menyilangkan kedua tangannya di depan wajah, lalu memejamkan mata. Tubuhnya pun menjadi samsak atas serangan bertubi-tubi Tunggadewa.

"Ber… hen… ti.."

"Apa? Aku tidak dengar!" seru Tunggadewa. "Aku baru berhenti kalau kau menyerah!"

Tunggadewa mengambil ancang-ancang, lalu memberi Airlangga tendangan berputar. Sang Raja pun terkapar di tanah.

"Bahaya," Sri Dewi mulai gusar. "Mpu, kita harus menghentikan pertarungan ini sekarang!"

"Itu tergantung Sri Raja," jawab Narotama enteng. Lagipula ini adalah kesempatan bagus. Airlangga harus mencicipi bagaimana rasanya dihajar habis-habisan. Dengan begitu ia akan siap ketika menghadapi lawan yang benar-benar ingin membunuhnya.

Pendengaran Airlangga mulai sensitif. Ia merasa bisa mendengar bisik-bisik di antara penonton.

Dia lemah.

Dia palsu.

Dia cuma mengaku-ngaku.

Airlangga melempar tatapannya pada Narotama. Pria itu sedang menontonnya sambil bersedekap. Sementara Sri Dewi diam saja, seperti yang lain.

Lalu Tunggadewa mengambil ancang-ancang untuk serangan penghabisan. Ia pun menerjang.

Airlangga segera mengangkat tangannya ke depan, "Menyerah! Aku menyerah!"

"Menyerah?" Tunggadewa berhenti. "Berarti kau bukan bukan Sri Raja Airlangga?"

"Bukan! Bukan!"

Tunggadewa pun tersenyum penuh kemenangan. Ia berseru kepada penonton, "Kalian semua lihat, kan? Dia penipu! Pemilik getih anget wangsa Isyana tidak mungkin kalah dariku!"

Airlangga melihat wajah penduduk desa yang tampak kecewa. Tapi ia tak peduli lagi. Saat ini ia hanya ingin berlindung ke tempat aman, terputus dari dunia luar.

***

Narotama memapah Airlangga ke dalam kamar pondokan yang disiapkan Sri Dewi, lalu membantunya berbaring.

"Adudududuh."

"Tolong tahan sebentar, saya akan segera meracik obat untuk mengurangi memarnya," ucap Narotama.

Airlangga menutupi wajahnya sendiri dengan lengan. Baru saja ia turun dari gunung, dan ia sudah diperlakukan begini. Dipukuli, dituduh sebagai penipu, dipermalukan... Mungkin keputusannya turun gunung adalah kesalahan. Mungkin sebaiknya ia kembali bertapa.

"Sri Raja," terdengar suara Sri Dewi dari luar. "Maafkan saya, saya benar-benar menyesal."

Airlangga tak menjawab. Memang benar ia jadi begini karena gadis itu. Tapi sejak awal bisa saja ia menolak. Ia sendiri yang terpengaruh turun gunung setelah dielu-elukan para pendeta. Nafsu dunia membutakannya. Ia pikir bisa melakukan sesuatu, padahal ia bukan siapa-siapa.

"Sri Dewi, bukan salahmu."

"Maaf?"

Suaranya ganti lagi. Saat Airlangga melihat, Narotama yang berdiri di depannya.

"Mpu lihat Sri Dewi?" tanyanya.

"Iya, tadi di depan pintu tapi sekarang sudah pergi," jawab Narotama. "Bisa saya olesi obatnya sekarang?"

Airlangga mengangguk.

Narotama mulai bekerja. Tiga tahun menjaga sang raja membuatnya banyak belajar, salah satunya adalah ilmu pengobatan. Ia diajari salah satu pertapa bekas tabib mengenai berbagai tanaman dan efeknya terhadap penyakit.

"Mpu," gumam Airlangga sambil menahan perih.

"Saya mendengarkan."

"Kenapa dunia ini isinya orang-orang jahat?"

Narotama mengerutkan sebelah alisnya. "Apa saya orang jahat?"

Airlangga berpikir sejenak. Ia masih ingat bagaimana Narotama diam saja menyaksikan ia dipukuli. Tapi akal sehatnya segera menjelaskan bahwa sesuai ketentuan duel, tidak boleh ada pihak ketiga yang mengganggu. Narotama tidak salah.

"Mpu adalah pengecualian."

"Sebenarnya orang jahat tidak sebanyak itu. Hanya saja kejahatan yang dilakukan orang lain pada kita cenderung lebih membekas daripada kebaikan yang diberi pada kita. Itu sebabnya sekali ada yang berbuat dzalim, kita cepat menarik kesimpulan bahwa semua orang itu jahat. Selama di Gunung Penanggungan, apa ada yang pernah menyakiti Sri Raja?"

Airlangga menggeleng.

"Mungkin Sri Raja perlu beristirahat sejenak, setidaknya sampai luka-luka ini sembuh. Baru kita pikirkan lagi langkah ke depan."

Narotama menyelesaikan tugasnya, lalu membiarkan sang raja terlelap.

***

Tubuh Airlangga ngilu semalaman. Namun, paginya ia sudah bisa bergerak bebas. Lukanya tidak sakit, kecuali kalau memarnya dipencet. Pengobatan Narotama sangat mujarab.

"Sri Raja, saya bawakan sarapan." Sang abdi dalem sudah menanti di depan pintu. "Selesai sarapan, bagaimana kalau kita jalan-jalan?"

Airlangga sedikit ragu. Ia paling tidak suka berada di antara rakyat yang menontonnya seperti sebuah pertunjukan.

"Tidak usah memikirkan kekalahan kemarin. Orang-orang itu cepat lupa, paling cuma jadi bahan gunjingan satu sampai dua hari."

"Sekarang baru lewat satu hari, Mpu."

Tapi akhirnya Narotama berhasil membujuk Airlangga.

Setelah bersiap, keduanya mulai jalan-jalan keliling desa. Para wanita sedang bersih-bersih menyapu halaman—ada pula yang membawa cucian ke sungai. Sementara laki-lakinya kebanyakan sudah berangkat ke sawah. Anak-anak bermain riang gembira.

Lalu seorang ibu menyadari keberadaan Airlangga. Sang raja agak menundukkan kepala karena malu.

"Beri salam!" bisik Narotama.

"Eh?"

"Cepat!"

Airlangga pun memberi salam seraya mengatupkan telapak tangan, "Selamat pagi."

"Selamat pagi," ibu itu membalas dengan senyuman.

Entah kenapa seketika suasana hati Airlangga membaik.

"Semudah itu," bisik Narotama lagi.

Tidak terasa mereka sampai ke sungai di mana ibu-ibu dan gadis remaja tengah mencuci.

"Kakanda, mau ke mana?" tiba-tiba salah seorang wanita yang cukup muda memanggil.

"Cuma jalan-jalan tak tentu arah," jawab Narotama. "Tapi sekarang saya sudah menemukan tujuan."

"Ke mana?"

"Ke sungai ini. Karena ternyata sedang ada banyak bidadari turun dari kahyangan."

"Aaah ternyata Kakanda itu buaya."

"Saya bukan buaya, saya hanya pengagum indahnya ciptaan dewata."

Narotama semakin menjadi-jadi. Sepertinya ia betah di sana. Airlangga tidak nyaman, lalu pergi tanpa suara. Seperti angin sepoi. Saat Narotama sadar, Airlangga sudah melanglang buana sampai ke area persawahan. Ia melihat orang-orang sedang panen. Mereka bekerja keras di bawah terik matahari, hingga keringat deras bercucuran.

"Hei anak muda!" Seseorang berteriak dari saung di kejauhan. Tampak dua orang petani beristirahat di sana.

"Saya?"

"Iya! Sini, minum dulu!"

Airlangga pun menghampiri mereka dengan enggan. Niatnya cuma berbasa-basi saja karena tak enak kalau pergi setelah ditawari minum.

"Saya Sukma," ucap petani yang tadi memanggil. "Ini kakak sepupu saya, Tahir," ia merujuk pria tua di sampingnya yang seluruh rambut, alis, dan kumisnya sudah memutih. "Duduk, duduk, jangan berdiri saja."

Sukma menuangkan air dari kendi lalu diserahkan pada Airlangga.

"Terima kasih," sang raja meneguknya dengan tegang.

"Situ dari mana?" Tiba-tiba Tahir bertanya, ekspresinya galak.

"Da—dari Gunung Penanggungan."

"Jadi situ siapa?" lanjut pria itu.

Ternyata tawaran minum ini adalah perangkap. Sejak awal mereka cuma ingin mengiterogasi Airlangga.

"Saya… saya pertapa."

"Kenapa situ ngaku sebagai Sri Raja? Saya tahu Sri Dewi tidak mungkin bohong. Kalau dia bawa situ, berarti dia percaya situ Sri Raja."

Maksudnya Airlangga yang sedang dituduh sebagai pembohong.

"Jadi… begini Paman, saya jelaskan," ucap Airlangga. "Dari awal saya juga sudah bilang saya ini pertapa. Sri Dewi yang memaksa-maksa saya turun gunung. Dia mengira saya Sri Raja sungguhan."

Kedua petani itu saling pandang satu sama lain.

"Sudah kuduga!" ujar Sukma lalu senderan santai. "Menurutku juga ini cuma salah paham. Sri Dewi terlalu panik karena ingin menyelamatkan desa. Dasar anak yang baik."

"Menyelamatkan desa dari apa, Paman?" tanya Airlangga.

"Raja Hasin, raja dari antah berantah," jawab Sukma.

Airlangga segera teringat nama yang kemarin disebutkan Sri Dewi.

"Sejak Mahapralaya, dia muncul meminta upeti dari desa-desa sekitar sini," lanjut Sukma.

"Harusnya Tunggadewa melindungi kita, tapi anak sableng itu malah jadi anteknya Raja Hasin!" timpal Tahir. "Andai saja yang jadi anak laki-laki tertua Pandita Terep itu Sri Dewi, ceritanya pasti akan berbeda."

"Kenapa Sri Dewi tidak bisa?" tanya Airlangga.

"Dia kan perempuan," jawab Sukma.

"Lalu?"

"Apanya yang lalu?"

Airlangga terdiam. Tiga tahun sebagai pertapa membuatnya tidak peduli akan hal-hal semacam kasta yang tak lebih dari label buatan manusia. Namun, bagi penduduk yang sejak lahir terikat oleh hukum tersebut, mereka tak bisa melawan bahkan sejak di pikiran. Tak peduli betapa kuatnya Sri Dewi saat berkelahi, ia tetap perempuan sehingga harus meminta Airlangga untuk turun tangan menggantikannya menolong rakyat.

"Ayo kerja lagi, Suk!" ujar Tahir.

Airlangga segera bangkit, "Kalau begitu saya mau pa—"

"Oh ya anak muda, bisa tolong bantu kami?" tanya Sukma. "Kami sedang kekurangan orang."

Airlangga ragu.

"Tadi kan kamu sudah kami tawari minum. Nanti akan kami bagi hasil panennya."

Rupanya Airlangga masih berada di dalam perangkap.

"Baik, Paman," jawabnya pasrah.

Untuk pertama kalinya sang raja bekerja di sawah. Karena ia tidak mengerti cara menggunakan alat untuk memotong padi, ia ditugasi memanggul padi-padi yang sudah dipanen, kemudian menggepraknya untuk merontokkan butiran gabahnya.

Narotama yang mencari-cari akhirnya menemukan Airlangga. Namun, pria itu memutuskan untuk mengamati lalu pergi lagi sambil cekikikan. Tidak setiap hari ia bisa melihat bangsawan sampai kepayahan seperti itu.

Sorenya Airlangga pulang membawa sekantung beras yang diberikan oleh petani. Ia menyerahkannya pada Narotama, lalu berbaring tengkurap.

"Saya mencari-cari Sri Raja seharian ini sampai khawatir," kata Naratoma basa-basi.

"Mpu," ucap Airlangga masih tengkurap.

"Ya, Sri Raja?"

"Kenapa manusia dilahirkan dengan posisi berbeda-beda?"

"Itu rahasia Ilahi."

"Kalau saya dilahirkan sebagai orang yang memiliki kuasa, tapi membiarkan kebatilan terjadi—walau bukan saya melakukan kebatilan, apa saya termasuk orang yang lalim?"

"…saya tidak tahu, Sri Raja."

Airlangga terlalu lelah untuk memarahi abdi dalemnya yang tidak tahu apa-apa itu. Ia memejamkan mata, lalu membiarkan dirinya terbawa ke alam mimpi. Tapi ia bahkan tidak bermimpi. Begitu sadar, hari sudah pagi.

Suara berisik terdengar dari luar sana.

Pemuda itu garuk-garuk kepala, kemudian mengintip keluar jendela. Kelihatannya sedang ada ramai-ramai.

Pintu terbuka, lalu Narotama masuk.

"Sri Raja, berita darurat!" serunya. "Utusan Raja Hasin datang! Mereka mau mengumpulkan upeti dari penduduk!"