Terakhir kalinya lima raja Tanah Jawa berkumpul adalah tiga tahun lalu, tak lama setelah Mahapralaya. Mereka membuat kesepakatan, lalu hidup tenang di wilayahnya masing-masing.
Sekarang, kelima raja itu telah tiba di Lwaram, menjawab panggilan Aji Wurawi. Masing-masing membawa rombongan yang sangat besar, lengkap dengan pejabat, pelayan, serta prajurit kerajaan. Panji-panji yang mereka bawa berkibar tiada henti. Pasalnya mereka tidak mempercayai Aji Wurawi sepenuhnya. Mereka takut intrik Mahapralaya terulang kembali.
Penduduk Lwaram begitu gempita menyambut kedatangan tamu-tamu tersebut. Mereka memenuhi jalan saat para raja melintas, tak ingin ketinggalan momen yang mungkin hanya terjadi sekali seumur hidupnya. Mereka terkesan melihat deretan akik di tubuh Wisnuprabawa, terkagum menyaksikan bulu-bulu maskulin di dada bidang Wijayarama, juga terpana memandangi kecantikan Dyah Tulodong yang terkenal di seantero Tanah Jawa. Panuda tak begitu menarik, tapi tetap saja ia adalah seorang raja.
Raja-raja itu diantar menuju paviliun megah yang terletak di tengah kolam pemandian raja, yang berada di dekat Bengawan Beton—sungai terpanjang di Tanah Jawa. Hanya ada satu jalan setapak menuju paviliun tersebut, yang di samping kiri kanannya terdapat barisan patung arca dewa-dewi. Sementara di atap paviliun, bertengger arca dengan berwujud mengerikan—Batara Kala. Sebuah cita rasa desain yang aneh, sebab arca itu seperti tempelan yang seharusnya tak ada di sana.
Hanya raja yang diperbolehkan memasuki paviliun, sehingga ribuan pejabat dan prajurit berbaris menunggu di sekitaran kolam. Sebuah perkumpulan yang menyebabkan atmosfir udara menjadi berat, sebab orang-orang paling sakti di seluruh Tanah Jawa itu memancarkan aura kanuragannya yang begitu deras.
Aji Wurawi sudah menanti di paviliun, "Silakan, silakan masuk."
Kelima raja pun duduk melingkar di tempat yang disediakan, menatap satu sama lain.
"Silakan dicicipi sajian yang kami persembahkan," lanjut Ari Wurawi.
"Tidak usah basa-basi," komentar Wisnuprabawa singkat. "Langsung saja."
"Haha, baiklah. Pertama-tama saya ucapkan terima kasih saudara-saudari sudah berkenan hadir," Aji Wurawi memberi salam. Ia adalah pemuda gagah yang tatapannya setajam elang. Jenis tatapan dari pria yang sekali bertekad maka tak akan berhenti sebelum tujuannya tercapai. Ia memiliki sepasang jambang panjang dan struktur rahang yang kuat. Tubuhnya sangat atletis, baik dada dan otot perutnya terlihat keras seperti kawat. Terdapat ukiran getih anget di bawah kelopak mata kanannya. Memang tampak kecil, tapi akan membuat bergidik siapapun yang pernah melihat ajian itu digunakan.
"Saya rasa saudara-saudari sudah tahu maksud dari pertemuan ini," lanjutnya. "Tersiar kabar dari timur bahwa Sri Raja Airlangga sudah bangkit. Ia membangun kota Watan Mas untuk membangun kembali Kemaharajaan Medang, guna melanjutkan kekuasaan wangsa Isyana. Kalau memang begitu adanya, berarti tak lama lagi ia akan memulai ekspedisi militer. Ia akan menaklukkan kita satu-persatu, sampai Medang utuh seperti dulu. Jika kita tak mempersiapkan diri—"
"Halah halah halah, apa yang kau takutkan dari anak bau kencur semacam itu?" sela Wisnuprabawa raja Wuratan. Ia adalah pria tua berbadan gempal yang memiliki obsesi terhadap batuan akik. Setiap buku jarinya dihiasi cincin akik. Beberapa kalung akik menggantung di lehernya. Ia juga mengenakan sepasang anting-anting merah delima. Ada desas-desus bahwa di setiap akik itu bersemayam jin yang pernah ia taklukan.
"Tidak ada salahnya bersiap-siap," jawab Aji Wurawi. "Kabarnya Airlangga mengalahkan raksasa—"
"Jajajajaja! Jangan bilang kau percaya dengan kabar aneh itu?" Wisnuprabawa menepuk-nepuk pahanya. "Lucu! Lucu sekali! Asal kau tahu, yang anak itu kalahkan adalah Hasin, perampok teri yang cuma berani mengganggu desa-desa yang tak terlindungi. Mana pernah dia dekat-dekat wilayah Wuratan?"
"Tetap saja… siapa yang tahu kalau ternyata Airlangga punya kekuatan tersembunyi," kata Aji Wurawi.
"Seperti saat kau mengkhianati Darmawangsa?" ucap Wisnuprabawa ceplas-ceplos. "Memang benar, Darmawangsa tidak menyangka raja muda sepertimu lah yang merencanakan Mahapralaya. Padahal selama ini akulah yang dia awasi."
Aji Wurawi langsung mendelik. Ia menatap Wisnuprabawa seperti seekor elang yang akan menyambar kura-kura gendut.
"Hei, jangan sedikit-sedikit omongan orang dibawa hati." Mendapat tatapan itu membuat Wisnuprabawa tidak nyaman. Sebab ia pernah mendengar rumor bahwa Aji Wurawi bisa berubah menjadi iblis.
Aji Wurawi tidak peduli. Saat ini ia sedang ingin berbicara serius. Terlebih lagi, ia masih ingat saat-saat terakhir Darmawangsa mewariskan getih anget Asto Broto pada Airlangga. Ajian itu bisa jadi senjata yang sangat berbahaya.
"Sudah, sudah, jangan bertengkar," lerai Wijayarama raja Wengker. Ia adalah pria berumur tiga puluhan yang dada, perut, dan lengannya ditumbuhi bulu lebat. Ia pikir bulu-bulu itu adalah simbol kejantanan yang sangat digilai wanita. Dan memang benar ia memiliki koleksi harem—yang entah tertarik pada kejantanan ataukah posisinya sebagai raja. "Kita di sini untuk mencari mufakat, betul?"
Wisnuprabawa mengangguk.
Panuda raja Lewa, pria tua kurus yang terlihat loyo, sejak tadi tidak banyak bicara. Tapi ia ikut mengangguk seolah barusan Wijayarama berbicara padanya.
"Tapi…" Dyah Tulodong ratu Lodaya angkat bicara. Ia adalah wanita muda, seorang anak tertua yang membunuh seluruh adik laki-lakinya untuk memastikan dirinya naik tahta. Ia juga mengeksekusi sepupu-sepupunya, sebelum mereka berpikir untuk menggulingkan dirinya. Ia memiliki paras yang menawan, rambut hitam panjang, juga tubuh yang membuat pria manapun meneteskan liur. Sudah tak terhitung berapa kali Wijayarama mencuri pandang ke arahnya.
Kini semua orang menatap wanita itu, menantikannya mengemukakan pendapat. Tapi ia mengetuk-ngetuk pipinya dulu beberapa saat sambil berlagak sedang berpikir.
"Bukankah Airlangga cuma dendam kepadamu, Aji Wurawi? Sejujurnya aku merasa kami tak ada sangkut pautnya di sini. Bahkan jika ia benar-benar menyatukan Jawa, yang perlu kulakukan cukup mengabdikan diri lagi kepada Medang. Bukan salahku, 'kan, kalau kau membantai seluruh wangsa Isyana?"
"Betul!" respon Wisnuprabawa gesit. "Walau aku juga sangsi anak bau kencur itu mampu."
Wijayarama tampak lega setelah menyadari kebenaran analisa Dyah Tulodong.
Aji Wurawi mendesah kecewa.
"Dasar orang-orang munafik," desisnya tajam. "Kalian senang tidak perlu mengotori tangan, tapi ikut menikmati hasil dari apa yang kulakukan. Wisnuprabawa, kalau kau adalah abdi yang setia, yang harusnya kau lakukan setelah Mahapralaya adalah menyelamatkan Airlangga, memenggal kepalaku, lalu mengangkat Airlangga sebagai Maharaja Medang. Tapi nyatanya kau malah sibuk mencaplok daerah-daerah sekitar Wuratan lalu mendeklarasikan diri sebagai raja tertinggi, yang tak tunduk pada siapapun. Kau kira Airlangga akan membiarkan kelakuanmu yang demikian? Kupikir itu juga termasuk pengkhianatan."
Wisnuprabawa tak bisa menyanggah. Ia cuma berdecak kesal.
"Begitu juga dengan kalian semua," lanjut Aji Wurawi. "Apa yang akan kalian katakan, kalau kelak Airlangga bertanya, 'Ke mana kau saat aku membutuhkanmu?'."
"Aku bersih," jawab Dyah Tulodong. "Aku belum naik tahta saat Mahapralaya terjadi. Keputusan yang dibuat ayahku tidak mewakili keputusanku sendiri."
"Tunggu," ucap Wijayarama. "Mengesampingkan posisi Dyah Tulodong, solusi apa yang ingin kau tawarkan, Aji Wurawi?"
"Mudah, 'kan," jawab Aji Wurawi. "Serang sebelum ia menyerang."
"Kalau begitu kenapa kau tidak langsung menyerangnya? Kenapa susah-payah mengumpulkan kami?" tanya Wisnuprabawa. "Aku yakin kau cukup kuat, ditambah dengan dukungan Sriwijaya."
"Dia takut meninggalkan sangkar," celetuk Dyah Tulodong.
"Hoo, licik sekali," timpal Wisnuprabawa. "Jadi kau mau meminta kami menghancurkan musuhmu, Aji Wurawi? Lalu apa ada jaminan kau tidak menyerang Wuratan saat kutinggal untuk menyerang Watan Mas?"
"Aku tak bisa memberi jaminan apa-apa, tapi kau bisa memegang kata-kataku."
"Kata-kata orang yang melakukan kudeta di acara pernikahan putri Darmawangsa?"
Aji Wurawi mengeratkan geraham. Lama-lama ia tidak tahan dengan Wisnuprabawa.
"Sudahlah, tenang saja," ujar Wisnuprabawa akhirnya. "Aku juga tidak berniat mengabdi pada Airlangga. Kalau ia datang mengetuk pintu Wuratan, kupastikan anak itu tak bisa pulang hidup-hidup."
Aji Wurawi sedikit tenang mendengarnya. Karena skenario yang paling tidak ia inginkan adalah jika raja-raja di depannya menyerah pada Airlangga, lalu bersama-sama mengepung Lwaram. Untungnya selain Dyah Tulodong, yang lainnya memiliki dosa besar terhadap Airlangga. Kalau cuma Dyah Tulodong, ia masih bisa membereskannya sebelum wanita jalang itu mengancam kerajaannya.
"Jadi mau sampai kapan pertemuan ini mau dilanjutkan?" tanya Dyah Tulodong. "Aku mulai bosan."
Panuda mengangguk setuju.
***
Aji Wurawi kembali ke kediamannya sementara raja-raja yang lain mengurus kesibukan masing-masing. Pria itu memasuki aula istana, di mana Sri Laksmi sedang berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Aji Wurawi tak pernah bosan mengagumi gadis tersebut.
Sri Laksmi adalah wanita yang sangat mempresentasikan padmini, sebuah kelas tertinggi di antara empat tipe wanita Jawa. Ia memiliki mata seperti kijang dengan ujung-ujung kemerahan. Hidungnya kecil dan bentuknya bagus. Wajahnya seperti bulan purnama keemasan. Lehernya halus dan luwes. Suaranya manis mengalun. Bila berjalan seperti angsa. Wataknya pemalu tapi menyenangkan. Pemurah tapi setia. Dan tingkah lakunya sangat terhormat. Konon jika seseorang bisa menikahi wanita semacam ini, maka kewibawaannya menjadi tak tertandingi. Takdirnya adalah menjadi maharaja.
Sayangnya sampai sekarang Aji Wurawi masih belum bisa memiliki Laksmi. Bahkan setelah tiga tahun, gadis itu masih memikirkan Airlangga.
"Sri Laksmi," sapa Aji Wurawi.
Gadis itu menatapnya dengan pandangan yang bertanya-tanya. "Apa benar Sri Raja Airlangga masih hidup?"
Aji Wurawi agak terhina, sebab gadis itu menyebutkan nama Airlangga lengkap beserta gelarnya. Jika selama ini Sri Laksmi masih menganggap Airlangga sebagai raja, lalu Aji Wurawi ini apa?
Tapi pria itu mengesampingkan kekesalannya.
"Benar," ucapnya. "Setidaknya itu kabar yang tersiar."
Tampak kelegaan di wajah Sri Laksmi. Seolah rasa khawatir yang tertahan selama tiga tahun ini sirna begitu saja. Namun, ekspresinya segera berubah was-was. "Lalu apa yang akan terjadi selanjutnya, Aji?"
Aji Wurawi mengerutkan keningnya, lalu menjawab, "Tidak akan terjadi apa-apa. Saya tidak akan melakukan apapun. Kecuali jika…"
Sri Laksmi sudah mengetahui kelanjutan kalimat tersebut. Jika Airlangga datang untuk membalas dendam kepada Aji Wurawi. Maka pada saat itu perang tak bisa dihindari.
"Sebaiknya kita berdoa pada dewata agar hal itu tak sampai terjadi," lanjut Aji Wurawi.
"Iya…" jawab Sri Laksmi dengan kemelut di hatinya.
"Ngomong-ngomong, apa kamu sudah makan, Sri Laksmi? Ayo kita makan bersama-sama."
"Belum. Saya menunggumu, Aji Wurawi."
Sang raja Lwaram pun terkesan. Padahal dosa Aji Wurawi pada Sri Laksmi begitu besar. Namun, gadis itu tak pernah berhenti bersikap baik padanya. Satu hal yang kadang membuat batin Aji Wurawi tersiksa.
Tapi ini semua salah Darmawangsa juga. Padahal, bisa saja tragedi itu dihindari. Mahapralaya tak seharusnya terjadi.
Sayangnya nasi sudah menjadi bubur.
Aji Wurawi tidak bisa mengubah masa lalu. Yang bisa ia lakukan adalah mengubah hari ini untuk memperbaiki masa depan.
Ia bersumpah akan terus memberikan yang terbaik untuk Sri Laksmi. Kecuali satu. Airlangga. Ia tak akan pernah mengizinkan keduanya untuk bersatu.
***
Sementara di bagian timur tanah Jawa, jauh dari Lwaram tempat berkumpulnya lima raja, Airlangga sedang berjuang melakukan hal yang paling ditakutinya seumur hidup. Yakni berbicara di depan umum.