Airlangga, sang putra Raja Udayana dari Bedahulu, sejak kecil menderita gangguan kecemasan sosial. Ketika harus menampakkan diri di depan para bangsawan, abdi dalem, bahkan rakyat, jantungnya akan berdebar keras tidak karuan. Napasnya menjadi sesak, perutnya mual, dan tengkuknya terasa dingin. Pikirannya kacau, lidahnya kelu, hingga nyaris mustahil kalimat yang keluar dari mulutnya.
Ia tidak sanggup berdiri tegap ketika ratusan pasang mata menatapnya dengan menghakimi. Ia khawatir mengecewakan mereka. Ia tak mau orang-orang itu kecewa, lalu berpikir buruk tentangnya. Bahwa ia tak punya kemampuan apa-apa, selain kenyataan bahwa ia adalah putra sulung penerus Wangsa Marwadewa.
Saat berumur enam belas, sang ayah mengirimnya ke Kerajaan Medang untuk dinikahkan dengan Sri Laksmi, putri Raja Darmawangsa. Udayana berpikir mengirim putranya ke tempat jauh akan memperbaiki sifatnya. Tapi ternyata sendirian di tempat asing malah membuat kecemasan Airlangga bertambah parah. Apalagi Sri Laksmi sangatlah cantik, bak bidadari yang turun dari surga. Dan hal itu menyebabkan Airlangga sangat takut. Ia menangis setiap malam, menangisi kelemahan dirinya sendiri.
Namun, ada satu orang di lingkungan istana yang sangat bersahabat. Ia adalah Aji Wurawi, pangeran dari Lwaram—salah satu bawahan Medang. Usianya hanya terpaut beberapa tahun dari Airlangga. Ia selalu menyempatkan diri mengobrol dengan Airlangga di saat pemuda itu kesepian, tapi memahami batas-batas privasi agar Airlangga tetap merasa nyaman. Sebagai sesama pangeran, ia sangat cakap serta berwibawa, hingga Airlangga sempat berpikir untuk menjadikannya sebagai figur untuk digugu dan ditiru.
Namun, pada hari pernikahan Airlangga dan Sri Laksmi, sebuah tragedi terjadi, yang seterusnya dikenang sebagai peristiwa Mahapralaya. Aji Wurawi melakukan kudeta dengan dukungan tentara Sriwijaya. Ia membantai Darmawangsa beserta seluruh keturunan wangsa Isyana. Kemudian ia membakar ibu kota, untuk menghapuskan Medang dari sejarah.
Tak ada yang bisa Airlangga lakukan. Ia cuma gemetar di samping Darmawangsa yang bersimbah darah. Di saat-saat terakhirnya, Darmawangsa menyerahkan getih anget Wangsa Isyana pada pemuda itu, tapi ia tak tahu bagaimana cara menggunakannya. Sementara Aji Wurawi menatapnya melalui sepasang bola mata yang menyala laksana iblis. Sosok baik hati yang diingat Airlangga itu tak lebih dari topeng Aji Wurawi…
***
Airlangga terbangun dengan tubuh dibanjiri keringat dingin. Sudah tiga tahun berlalu sejak Mahapralaya, tapi mimpi buruk masih sering mendatanginya. Untunglah sekarang ia berada di tempat yang aman, jauh dari jangkauan Aji Wurawi.
Pemuda itu bangkit, lalu menyibakkan rambut panjangnya yang awut-awutan. Ia menggaruk dagunya yang ditumbuhi janggut liar, lalu merasakan perut buncitnya bergemuruh.
Lapar, gumamnya dalam hati.
Ia berjalan ke pintu pondokan, lalu membukanya. Udara pagi yang segar langsung menerpa masuk. Sebuah baki berisi buah-buahan tergeletak di dekat kaki pintu.
Terima kasih, gumamnya lagi lalu melahap buah-buahan tersebut.
Tiga tahun lalu, ia diselamatkan oleh Mpu Narotama di saat-saat terakhir. Semula Narotama adalah abdi yang ditugaskan mengawal Airlangga selama di Medang, tapi siapa sangka pria itu masih merawatnya hingga sekarang. Berdua mereka melarikan diri, bersembunyi dari gunung ke gunung, sampai akhirnya tiba di Gunung Penanggungan tempatnya berada sekarang.
Di sini tidak ada desa, kota, maupun kerajaan. Cuma para pertapa yang sedang berusaha meninggalkan urusan duniawi, sehingga Airlangga merasa aman. Ia sendiri sudah memutuskan untuk meninggalkan keduniawian. Dunia tak memberi apapun padanya selain rasa takut dan pengkhianatan.
"Selamat pagi Sri Raja, maaf hanya begini saja makanan yang berhasil saya sediakan untuk sarapan."
Airlangga terkejut sampai tersedak. Ia batuk-batuk, lalu orang yang bicara barusan dengan sigap memberikannya air dari gentong.
"Maaf Sri Raja, saya tidak bermaksud mengagetkan," ucapnya penuh sesal.
"Tidak apa-apa, tidak apa-apa," jawab Airlangga setengah tertawa. Tapi dalam hati ia sangat malu. "Saya kira tidak ada orang…"
Orang itu adalah Mpu Narotama, seorang pria yang berusia hampir empat puluhan. Namun, wajahnya masih tampan dengan kulit sawo matang dan kumis hitam mengkilat. Tubuhnya gagah, terbentuk berkat latihan silat yang dilakukan setiap hari. Ia duduk bersila di depan Airlangga.
"Boleh abdi Sri Raja yang rendah ini bertanya sesuatu?" ucapnya.
"Ya?"
"Kapan kiranya Sri Raja akan bangkit?"
Mendadak nafsu makan Airlangga menghilang. "Mpu, saya sudah bilang mau jadi pertapa. Karena itulah jangan panggil saya Sri Raja lagi. Saya bukan raja, baik Medang maupun Bedahulu."
"Tapi secara adat pernikahan Sri Raja dan Dewi Laksmi sudah sah. Sri Maharaja Darmawangsa telah mangkat, dan tidak ada anggota wangsa Isyana yang tersisa. Dan juga, Sri Raja mewarisi getih anget dari almarhum Sri Maharaja Darmawangsa. Saya kita Sri Raja sudah sepantasnya meneruskan garis penguasa Medang."
Narotama menggunakan jempolnya untuk menunjuk ukiran sansekerta yang melekat di lengan kanan Airlangga. Getih anget adalah ilmu kanuragan tingkat tinggi yang saking saktinya sehingga tak bisa lenyap meski pemiliknya wafat. Oleh sebab itu getih anget akan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
"Ini tidak sengaja," jawab Airlangga, "karena waktu itu cuma ada saya di dekat Maharaja."
"Itu takdir," balas Narotama seraya mengatupkan kedua telapak tangan. "Agar Sri Raja bisa membalaskan dendam Sri Maharaja."
Akhirnya Airlangga tidak tahan dengan kepala batunya Narotama. Ia membawa baki buah-buahannya ke dalam, lalu menutup pintu.
"Saya mau bertapa lagi!" ucapnya sebagai penutup.
Tapi sebenarnya ia tidak bertapa. Itu cuma alasan. Ia malah goleran di tikar sambil lanjut makan. Sejujurnya ia merasa agak bimbang mengenai gelar yang ia miliki. Meski ia tidak suka saat orang-orang berharap agar ia balas dendam pada Aji Wurawi, tapi ia juga menikmati perlakuan spesial yang diterimanya. Para pertapa biasanya makan seadanya, tapi sejak ia bergabung dengan mereka, pertapa-pertapa itu selalu menyisihkan makanan mereka untuk Airlangga. Oleh sebab itu ia menjadi satu-satunya pertapa berperut buncit—meski sebenarnya ia malu, makanya lebih sering mengasingkan diri di pondokan—yang juga dibuatkan spesial oleh Narotama dan para pertapa.
"Ah, sial!" Ia berkata kasar, satu hal yang tak pernah ia lakukan di hadapan orang-orang. "Masa bodoh!"
Ia lanjut makan.
Tiba-tiba pintu pondokannya diketuk.
"Apa lagi sih…" Pemuda itu bersungut-sungut, lalu bangkit berdiri. "Mpu? Mpu masih di sana?"
Tak ada jawaban, malah pintunya diketuk lagi.
Airlangga menggaruk-garuk keningnya sambil berdecak. Kadang-kadang Narotama melakukan hal yang terasa kurang penting.
"Ada apa sih, Mpu?!" Ia membuka pintu dengan kasar.
Namun, seketika tubuh Airlangga mematung seolah tersambar petir di pagi hari. Ia melihat dengan kedua bola matanya sendiri, seorang gadis berkulit kuning langsat berdiri di ambang pintu. Rambutnya pendek sebahu dengan poni menyamping. Sorot matanya jernih seperti anak kucing. Sepasang telinga agak runcing yang menyembul dari balik rambut membuatnya tampak manis.
Tubuhnya yang sedikit mungil diselubungi baju silat hitam dan celana pendek, dengan kain bercorak merah melilit pinggangnya.
Setelah tiga tahun, ini pertama kalinya Airlangga bertatapan dengan seorang perempuan sedekat ini.
"Maaf kalau saya lancang," ucap gadis tersebut, "apakah Anda adalah Sri Raja Airlangga?"
"A—i—y—ah—"
Sang raja tergagap.
Sungguh memalukan jika sang raja terlihat dalam penampilannya yang awut-awutan dan perut buncit.
"Para pertapa mengatakan bahwa satu-satunya pondokan di tempat ini dihuni oleh Sri Raja," lanjut sang gadis.
Terkutuklah pertapa-pertapa itu! umpat Airlangga dalam hati.
"Ya benar, saya Airlangga," jawabnya kemudian.
"Terima kasih dewata," mendadak kedua mata gadis itu berkaca-kaca. Ia menyentuh dadanya dengan kedua tangannya. "Jadi benar Sri Raja masih hidup."
"Iya benar..." Airlangga menarik napas dalam-dalam, lalu mengingat petuah Mpu Naratoma soal bagaimana cara berbicara dengan perempuan. Pertama yang harus ia lakukan adalah meyakinkan diri bahwa rupa perempuan itu biasa saja, sehingga ia tidak akan gugup. Tapi tetap saja ia gugup!
"Ada apa ya?" ucap Airlangga datar.
Gadis itu segera duduk bersimpuh di hadapan Airlangga. "Saya Sri Dewi, putri Pandita Terep. Saya sedang dalam perjalanan mencari Sri Raja."
"Dari mana Adik tahu saya berada di sini?"
"Saya mendengar dari kabar yang beredar, bahwa Sri Raja sedang bertapa di gunung ini untuk mengumpulkan kesaktian."
Terkutuk kau Naratoma! decak Airlangga dalam hati. Siapa lagi kalau bukan orang itu yang menyebarkan desas-desus ke seantero negeri.
Airlangga berdeham.
"Sayangnya saya bukan lagi seorang raja. Sekarang saya adalah pertapa yang melepaskan diri dari keduniawian."
Sri Dewi mengerutkan kening seolah telinganya baru saja salah dengar. Ia sedikit mengangkat wajahnya untuk menatap sang raja.
"Tapi rakyat Medang membutuhkan Sri Raja!" katanya menggebu. "Sejak Mahapralaya, raja-raja bekas bawahan Sri Maharaja Darmawangsa memisahkan diri. Mereka mendirikan kerajaan masing-masing. Namun, mereka sewenang-wenang terhadap rakyat."
"Jadi begini," Airlangga setengah berlutut karena merasa tidak nyaman berada dalam posisi yang lebih tinggi dari lawan bicaranya. "Jika ada ketidakadilan, maka lawanlah!"
Sri Dewi terbelalak, lagi-lagi seperti baru saja salah dengar.
"Tapi kami cuma rakyat biasa…"
"Apa bedanya, kita ini sama-sama manusia!"
"Sri Raja berasal dari kasta satria."
"Kasta itu dibuat sesama manusia untuk menentukan derajat manusia lain, tapi pada awalnya semua manusia sama. Seorang begundal pun bisa jadi raja bila berhasil melakukan kudeta—" Airlangga berhenti sesaat karena kalimatnya barusan malah membangkitkan kenangan buruknya. "Pokoknya, saya yakin kamu bisa berjuang. Atau carilah orang yang lebih bisa."
"Tapi…" Sri Dewi menyadari ukiran sansekerta di lengan Airlangga. "Getih anget itu adalah bukti, bahwa Sri Raja bukanlah manusia biasa. Tidak ada manusia biasa yang memiliki itu."
"Sama saja," Airlangga mendengus. "Getih anget ini bukanlah karunia pemberian dewata. Awalnya getih anget ini dibuat oleh Mpu Sindok, yang pertama dari Wangsa Isyana. Kalau kamu berlatih kanuragan sampai tingkat yang sama dengan beliau, kamu pun bisa memilikinya."
"Tapi Sri Raja mendapatkan getih anget itu sebagai warisan. Jadi sudah seharusnya Sri Raja memikul tanggung jawab terhadap rakyat!"
"Bukan saya yang memintanya! Saya juga tidak mau! Saya ini pun cuma menantu!"
"Kalau begitu serahkan getih anget itu pada orang yang mau berjuang untuk rakyatnya!"
Airlangga tertegun. Tidak, hati kecilnya masih ingin menyimpan warisan tersebut untuk dirinya sendiri.
Dan di saat yang sama Sri Dewi menutup mulutnya sendiri menggunakan telapak tangan, sadar telah melakukan kesalahan besar. Apabila ia berbicara seperti barusan pada raja yang lain, mungkin nyawanya yang akan diminta sebagai hukuman.
"Ma—maafkan saya, Sri Raja. Saya lancang—"
"Tidak apa-apa, pulanglah." Airlangga bangkit, lalu bermaksud menutup pintu. Ia merasa sangat lelah. Ia ingin mengakhiri pembicaraan ini, lalu berlindung di dalam pondokannya yang aman.
Namun, Sri Dewi masih belum ikhlas. Ia juga cepat-cepat bangkit sebelum pintu ditutup.
"Sri Raja, saya mohon—" Ia mendorong kedua tangannya ke depan, hendak mencegah pintu tertutup. Tapi tenaganya terlalu kuat. Airlangga pun ikut terhempas jatuh. Sri Dewi sendiri hilang keseimbangan, lalu jatuh di atas sang raja. Hingga wajah mereka berdekatan.
Airlangga, yang sempat ditelan emosi, kini kegugupannya kembali. Berada dalam posisi sedekat itu, jantungnya memompa darah dua kali lebih cepat dari biasa. Akhirnya ia pingsan.