"Kalau x pangkat tiga adalah suku banyak, bagaimana dengan angka biasa tanpa didampingi x?"
Telunjuk Dima menekan kacamata. "Angka biasa tetap didampingi x, tapi berpangkat nol. X pangkat nol nilainya satu."
"Jadi maksudmu angka tiga sendirian berarti tiga kali x pangkat nol atau kata lain tiga kali satu?" Kilia bertanya meminta penegasan.
"Betul sekali!" seru Dima, senang Kilia mengerti. "Jadi nilainya tetap tiga."
"Menarik sekali topik pelajaran suku banyak ini."
"Kau orang pertama yang gembira membahas matematika, teman-temanku yang lain pada malas semua."
Kilia berpaling menatap Dima. "Bukannya kelasmu kelas favorit?"
"Favorit pun," hela Dima sambil kembali duduk. "Banyak pembenci matematika."
"Hm..." Kilia merenung sebentar. "Fisika? Kudengar kelas XI A juara olimpiade Fisika."
Sebentar Dima berpikir. Memang sih mereka baru saja mengikuti olimpiade, tapi bukan prestasi yang bisa dibanggakan.
"Juara harapan kedua lebih tepatnya," kata Dima kurang semangat. "Perfoma temanku kurang. Sebenarnya saat itu dia lagi banyak pikiran."
"Lalu kenapa guru menyuruhnya ikut?"
"Karena masalahnya datang pas sehari sebelum olimpiade," terang Dima. "Tidak bisa dibatalkan lagi."
"Oh, begitu." Kepala Kilia mengangguk-angguk mengerti. "Buklankah ada satu mata pelajaran juara umum satu? Aku lupa mata pelajaran apa. Biologi? Kimia? Matematika?"
Dima enggan berkomentar, "Biologi."
"Siapa pesertanya?" tanya Kilia antusias. Kali ini matanya berbinar-binar menatap Dima.
Tentu saja Dima menolak menjawab pertanyaan itu. Sebuah pertanyaan menjebak. Gadis itu sudah tahu siapa yang memenangan juara olimpiade Biologi, tapi membuatnya seolah-olah tidak tahu dan ingin Dima yang menjawabnya sendiri.
"Kurasa kau bisa bertanya pada kepala sekolah," saran Dima.
Senyum Kilia tersungging sempurna. Terlihat nakal.
"Kenapa kau tidak mau berkata jujur, Dima?" tanya Kilia dengan nada dibuat sehalus mungkin.
"Aku tahu kau yang menjuarai olimpiade Biologi itu."
"Aku tidak suka mengumbar-ngumbar," Dima berkata pelan.
"Merendah sekali," Kilia bersorak riang. "Boleh aku tanya sesuatu?"
Alis Dima terangkat tinggi.
"Bukan hal-hal aneh," Kilia langsung menanggapi. "Aku janji."
"Ok," sahut Dima sambil lalu. "Apa yang mau kau tanyakan?"
"Kalau kelas favorit, bagaimana Edward bisa masuk ke kelasmu?"
Sulit untuk dijelaskan. Beberapa saat Dima termenung sambil bersedekap. Tidak mungkin mengatakan Edward pandai padahal selama ini dia selalu membantu sang sahabat mendapatkan nilai-nilai brilian. Walau sebenarnya Edward termasuk cerdas, cuma malas saja.
"Edward itu pintar, tapi sering membuat sensasi dan masalah," aku Dima tanpa melakukan filter sama sekali. "Tunggu, kau kenal Edward?"
"Siapa yang tidak kenal Edward si pembuat onar?" tanya Kilia balik. "Yah, aku tidak mengerti saja kenapa kau berteman dekat sekali dengannya."
"Itu..." Dima terdiam sesaat. "Rumit."
Senyum Kilia kembali tercipta. Raut matanya mengisyaratkan sesuatu.
"Ngomong-ngomong, sebaiknya kau menemui Edward hari ini," saran Kilia sambil menutup buku. "Sesuatu terjadi padanya."
Dima mencondongkan badan. "Apa yang terjadi? Dia terlibat masalah lagi?"
"Akan kuceritakan asal kau tutup mulut tidak memberitahunya bahwa aku yang memberitahumu. Ok?"
"Kenapa harus janji-janji belaka?" tanya Dima tidak mengerti.
Sebelah bahu Kilia terangkat. "Aku tidak ingin berurusan dengannya."
Apakah Edward separah itu? Mungkin sahabatnya itu tidak memperlakukan orang lain sebaik dirinya, mungkin saja. Bisa jadi.
"Baiklah. Aku janji," Dima menyetujui. "Sekarang beritahu apa yang terjadi denganya?"
"Dia kena razia klub malam."
***
"Terlibat masalah apa lagi kau Edward?!" gumam Dima agak geram. "Sudah kesekian kalinya kuperingatkan."
Satu belokan ke kiri, Dima sampai ke gerbang komplek yang amat mewah. Gerbang itu tinggi, berlapis cat warna keemasan, dan seekor kuda tinggi sedang meringkik di puncaknya. Satu kalimat terpampang pada gerbang itu, "Komplek Citra Asri".
Salah seorang satpam menghadang. "Datang mengunjungi Edward, Dima?"
"Iya. Apa dia ada, Pak?"
Satpam menoleh ke belakang, memandang sebuah rumah besar di ujung komplek. "Ada. Sayangnya Tuan Besar melarang keras anaknya keluar, kami juga disuruh menangkapnya bila dia mencoba kabur."
Yang dimaksud Tuan Besar adalah ayah Edward. Seluruh penghuni komplek memanggilnya begitu. Konon Dima mendengar dari ayahnya kalau ayah Edward yang mengagas pembangunan komplek perumahan serta mengurusnya sampai sekarang. Melihat pekerjaan ayah Edward sebagai kontraktor pemerintah, tentu dia mampu melakukan itu. Namun dari tiga anaknya, Edward lah yang tidak beres. Seorang berandal dan selalu kena masalah.
"Wajah Tuan Besar sangat galak," bisik satpam ngeri. "Kalau kubiarkan Edward lolos, dipecat bukan lagi mimpi."
"Ayah Edward tidak sekejam itu, Pak," Dima menenangkan. "Paling palak saja sama Edward."
"Semoga saja," harap satpam. "Kemarikan kartu identitasmu, Dima."
Satpam menempelkan kartu siswa Dima ke layar sensor. Setelah komputer mengucapkan terima kasih secara otomatis, kartu tersebut dikembalikan ke pemiliknya.
"Tolong bujuk tuan muda agar tidak membuat masalah lagi," pinta satpam lain, "kalau tidak mau gerbang ini dibuat layaknya gerbang penjara seperti di film-film barat."
Senyum Dima merekah tidak karuan. "Bapak ada-ada saja."
Isi komplek tidak kalah mewah dengan gerbang depan. Jalanan dialasi batu marmer hitam yang mengilap disinari sinar matahari, pepohonan rindah menghiasi sisi jalan, belum lagi beberapa spot tempat duduk berkanopi dan taman bermain anak-anak. Kondisinya bersih dan rapi.
Beberapa petugas berbaju biru putih terlihat berkeliaran mencabut rerumputan, memotong dedaunan pohon, dan melakukan aktivitas-aktivitas lain. Primadona komplek itu sungguh menarik perhatian, sebuah air mancur berdiameter besar di tengah-tengah komplek. Mendorong air-air ke atas dalam pola searah jarum jam dalam gerakan berirama yang spektakuler.
Berselang Dima sudah sampai di depan gerbang rumah Edward. Setelah menekan tombol bel, Dima diam menunggu dengan sabar. Seseorang bertubuh jangkung berjalan keluar dari balik rumah dengan langkah lebar penuh kepastian. Laki-laki itu berperangai kurus, tinggi, dan berambut tipis putih. Ekspresinya tenang dan santai. Berpakaian batik biru bercorak gelombang-gelombang ombak yang tidak cocok dengan cuaca terik.
"Oh, Tuan Dima. Ada yang bisa saya bantu?" tanya laki-laki itu, membuka sedikit gerbang.
"Apakah Edward ada, Pak Gito?"
"Tuan muda ada. Apa anda ingin bertemu dengannya?"
Dima tersenyum. "Ya."
"Tapi Tuan Besar melarang siapapun bertemu putranya saat ini."
Kata-kata Pak Gito membuat wajah Dima melemas kecewa, begitu juga wajah Pak Gito. Sedih bercampur tidak tega.
"Sebentar," celetuk Pak Gito. "Coba kutelepon Nyonya Besar. Pasti dia bisa melunakkan hati Tuan Besar."
Pak Gito merogoh sebuah telepon genggam kecil dari balik kantung baju. Telepon zaman baholak. Yang katanya anjing pun bisa mati kalau dilempar pakai telepon genggam itu. Jari Pak Gito menekan sebuah tombol lalu menempelkan telepon genggam ke telinga kanan. Suara khas "Tut-tut-tut" berkumandang dalam jeda panjang.
"Nyonya Besar!" seru Pak Gito girang ketika orang di seberang sana menjawab. "Sahabat Edward datang berkunjung."
Mata Dima hanya menatap gelagat Pak Gito yang terus mengangguk-angguk. Sesekali menyahut membujuk ibu Edward agar mengizinkan Dima menemui Edward dengan berbagai alasan aneh. Salah satunya agar Edward tidak menjadi gila. Cukup astaganaga, tapi sepertinya efektif.
"Mereka mengizinkanmu bertemu Edward." Pak Gito mulai membuka gerbang lebih besar supaya sepeda motor Dima bisa masuk. "Nyonya Besar minta tolong agar Tuan Dima membujuk anaknya agar tidak berulah lagi."
Dima menggeleng kepala. "Ini bukan pertama sekali orang-orang menyuruhku membujuk Edward. Anak itu tidak sadar-sadar."
"Dan beruntung sekali dia punya teman baik seperti anda, Tuan Dima."
Pak Gito menyuruh Dima masuk terlebih dahulu. Nanti dia menyusul, jadi Dima berkendara dan parkir di depan pintu rumah Edward. Berapa kali pun datang, kesan Dima tidak berubah. Rumah Edward bergaya Eropa menampilkan kemewahan tiada tara. Berwarna putih bersih dan pilar-pilar tinggi menghiasi hampir setiap sisi bangunan rumah. Itu masih bagian luar, belum bagian dalam. Ketika Pak Gito membukakan pintu, sebuah ruang tamu atau lebih tepatnya sebuah aula menyambut Dima. Beragam barang impor berjejer rapi menghiasi ruangan dari vas bunga bercorak indah, lukisan-lukisan abstrak, jam dinding antik, dan benda-benda lainnya. Namun kursi, meja, dan televisi masih produk lokal. Dulu Edward pernah bilang barang-barang itu punya sejarah berharga.
"Siapa yang main piano?" tanya Dima antusias, mendengar nada-nada piano bertema musik pop menggemai seluruh ruangan saat memasuki ruang tamu.
"Tuan Muda. Sejak sedari pagi."
"Kupikir abangnya." Dima menebak salah karena semua abang Edward bisa bermain piano.
Pak Gito menggeleng kepala. "Dua abang Tuan Muda tidak akan pulang untuk lima tahun ke depan."
"Apa sibuk belajar di luar negeri?"
"Tidak,"Pak Gito menyahut pelan. "Mereka sudah bekerja dan betah tinggal di luar negeri. Makanya mereka mengabari Tuan dan Nyonya Besar."
Mulut Dima terkatup. Memang rata-rata orang Indonesia yang pernah tinggal di luar negeri enggan kembali. Alasannya banyak, seperti negara luar lebih moderen, kurang diakui di negara sendiri, atau gaya hidup luar lebih enak. Dima bertanya-tanya, jika dia ambil beasiswa di luar negeri, apakah dia mau kembali nanti.
"Sekarang Tuan Besar berharap pada Edward," lanjut Pak Gito dengan wajah lesu. "Tapi Tuan Muda tidak sudi. Malah berulah lagi sehingga Tuan Besar marah tak karuan."
"Nanti kucoba menasehati Edward, Pak Gito," usul Dima walau ragu dalam hati.
"Semoga saja dia mau dengar."
Bahkan Pak Gito pun tahu bahwa Edward bebal. Meski tidak berjudi atau makan obat-obatan, tetap saja sahabat karibnya sering bertengkar maupun membuat masalah sekitar lingkungan. Kalau bukan karena koneksi dan kekuasaan sang ayah, Edward mungkin saja sudah dijebloskan ke penjara anak-anak dari dulu. Kasus kali ini pun Dima yakin Edward dibantu ayahnya.
Suara piano kian terdengar jelas kala Dima menaiki susuran tangga demi tangga. Kamar Edward di lantai dua, tapi ruangan santai tempat Edward bermain piano berada di lantai tiga. Tiba-tiba saja musik piano Edward berganti genre. Menjadi genre klasik, kesukaan Dima.
"Sepertinya kau tahu aku datang," kata Dima saat memasuki ruangan.
"Yo, Dima!" seru Edward dari balik piano yang berada di tengah ruangan. "Aku pasang banyak kamera seperti yang pernah kau sarankan."
"Aku tidak pernah menyarankan apapun," balas Dima keheranan.
"Kau ingat kamera mini yang kau beritahu aku di toko digital tempo hari?" Edward terkekeh sambil masih menekan tuts-tuts piano. "Kupasang di mana-mana. Terima kasih atas usulmu!"
Dima hanya bisa memutar bola mata. "Kenapa kau absen sekolah lagi?"
"Jangan pura-pura tidak tahu, Dima." Edward beranjak. "Berita cepat menyebar. Kau tidak akan segera datang setelah pulang sekolah begini kalau tidak tahu apa yang terjadi padaku."
Hela napas Dima terdengar panjang sembari menduduki kursi dan menghadap Edward.
"Apa yang terjadi?"
Edward tertawa keras-keras. "Tak usah serius begitu, kawan. Semuanya aman terkendali."
"Jika iya, kenapa kau bisa kena tangkap?" Nada suara Dima terdengar lebih ringan. "Kau pernah bilang klub malammu jarang kena razia."
"Itulah anehnya," Edward memutar badan dengan alis berkerut. "Polisi-polisi yang menangkap kami menyamar sebagai pengunjung-pengunjung awam. Biasanya penjaga klub bisa tahu kapan polisi akan menggerebek dan bilapun digerebek, pasti kami di dalam sudah diberitahu sebelum polisi sempat masuk."
"Mereka penegak hukum, Edward," kata Dima. "Mereka punya caranya sendiri."
Edward bersandar santai. "Aku rasa kami dikibus. Seseorang pasti mencari gara-gara."
"Sebaiknya kau berhenti ke klub malam," saran Dima, tidak mau tahu apakah sahabatnya dikibus atau tidak. "Lebih bagus kau ke mall-mall nongkrong atau duduk-duduk di tepi jalan."
"Mau ditaruh di mana wajahku, Dima. Gengku akan meremehkanku," sahut Edward keras.
"Lagipula, klub malamku tidak separah yang kau kira."
Seratus persen Dima tidak yakin pembelaan Edward. Dulu dia pernah diajak ke klub itu dan beda sama sekali. Cahaya kelap-kelip beragam warna ditembakkan lampu-lampu menyinari seluruh ruangan dalam pola acak-acakan. Membuat ruangan klub terasa kacau balau. Musik-musik begitu keras hingga berbicara pun harus teriak-teriak. Minuman kuning yang dipesan Edward juga tidak enak. Pahit bercampur asam. Cukup sekali saja Dima mengunjungi sebuah klub malam.
"Baiklah, baiklah," Dima mengakhiri pasrah. "Kapan kau balik masuk sekolah?"
"Besok. Ayakhu tidak bisa menahanku diam di rumah lama-lama."
"Beliau marah?" tanya Dima pura-pura tidak tahu.
Edward berseru,"Terserah. Aku tidak peduli sama sekali."
"Kau tidak sayang ayahmu?"
Senyum Edward merekah seketika. "Hahaha. Sekarang dia baru peduli padaku karena abang-abangku tidak mau meneruskan bisnisnya lagi. Aku ini hanya cadangan, tidak lebih."
Saat itu Pak Gito tiba. Membawa sepiring kue kering dan dua gelas jus di atas sebuah talam besar. Raut wajahnya kelihatan lemas, namun sebuah senyum masih terpampang lebar.
"Terima kasih, Pak Gito," ucap Dima sopan.
"Sama-sama, Tuan Dima."
"Pak Gito, tolong ambilkan oleh-oleh papa," suruh Edward. "Cokelat hitam itu."
"Tuan Besar berpesan kalau cokelat itu tidak boleh dimakan," larang Pak Sugito. "Oleh-oleh Tuan Besar untuk teman-temannya."
Edward hanya tertawa. "Ngak papa, nanti aku yang tanggung jawab."
"Tapi..."
"Kalau bapak tidak ambil, nanti kuambil juga," Edward berkata penuh kesantaian. "Ambil satu tidak apa-apa untuk dimakan bersama Dima."
Mau tidak mau Pak Gito pun berlalu dengan wajah masam. Seakan-akan menderita seketika hebatnya.
"Pak Sugito terlalu peduli dengan keluargaku," ujar Edward sambil menaikkan satu kaki ke kaki satunya. "Padahal bukan urusannya."
"Jarang-jarang ada orang seperti Pak Gito, Edward."
"Memang aku berterima kasih, tapi Pak Sugito tidak tahu apa yang kualami." Edward mulai sedikit emosional. "Kau sudah pernah dengar ceritaku, Dima. Ayahku tidak mempedulikanku sama sekali. Selalu tidak ada saat aku kecil sampai beranjak dewasa, kalau pun pulang hanya bertegur sapa layaknya orang asing dan hanya ramah pada abang-abangku. Kenapa aku harus peduli padanya jika dia saja tidak menganggapku ada?"
Pertanyaan terakhir membuat Dima bungkam. Kenyataan realita jauh lebih parah dari bayangannya.
"Ayo kita bicarakan hal lain," ajak Edward ceria. " Ada gadis yang chat kamu, Dim?"
Dima menuding Edward. "Aku tahu itu pasti ulahmu."
"Kau bilang terserah jadi kusikatlah," cela Edward. "Berarti ada yang chat kamu, kan? Gimana? Agresif ngak dia?"
Tangan Dima kembali bersedekap. Pandangannya sedikit tertunduk, sulit untuk mengungkapkan karena tidak sesuai ekspetasi Edward.
"Aku ragu," kata Dima sambil merogoh ponsel pintar dari saku celananya. Ponsel itu diserahkan Dima ke Edward. "Coba kau cek sendiri."
Seksama Edward membaca isi chat Dima dengan gadis misterius itu. Singkat dan padat. Decakkan lidah Edward terdengar beberapa kali seraya tangannya menggeser-geser layar.
Edward mengangkat sebelah bahu. "Kurasa pertama kalinya dia chat lawan jenis. Padahal dia sendiri banyak dikejar orang."
"Siapa gadis itu?" Alis Dima terangkat sedikit. "Setidaknya kau harus memberitahuku namanya."
"Tidak akan, Dima. Gadis itu yang harus memberitahumu atau kau yang bertanya sendiri."
"Kenapa harus rahasia melulu?" tanya Dima tidak mengerti.
"Karena aku hanya membantu kalian berdua. Setelah itu aku lepas tangan."
Hanya tatapan sinis yang diterima Edward ketika dia menatap Dima. Memberitahunya kalau Dima tidak mengharapkan semua ini terjadi, tapi tidak masalah bagi Edward demi membantu seorang teman. Lagipula sahabat karibnya itu terlalu mengisolasi diri. Biarkan sekarang sedikit bersosiali dengan lawan jenis. Walau di luar dugaan Edward bahwa gadis itu begitu pasif, tidak, menjengkelkan dari gaya chat nya.
"Yah sudahlah," Edward memutar menghadap piano. "Kau mau aku mainkan lagu apa untukmu."
"Kau tidak mau belajar? Aku bawa buku catatan loh," ujar Dima, mengambil keluar sebuah buku notes kecil dari dalam saku celana. "Sudah kuringkas untukmu."
"Nanti sajalah. Cepat, kau mau lagu apa?"
Kelihatannya Edward memang tidak mau belajar sama sekali. Buang-buang tenaga memaksanya.
"Lagu barat lama."
Jari Edward mulai menekan tuts-tuts piano. "Memang seleramu tidak berubah."
Tiba-tiba teringat sebuah ide bagus terlintas dalam benak Edward. Senyumnya merekah ketika berbalik menatap Dima.
"Hei, Dim. Bagaimana kalau kau kuajari main gitar?" tawar Edward serius.
Dahi Dima berkerut. "Gitar?"
"Ya. Coba-coba saja."
Tanpa menunggu persetujuan Dima, Edward beralih masuk ke kamar terdekat dan keluar membawa sebuah gitar dari kayu mahoni. Gitar itu biasanya dipakai oleh pemusik-pemusik terkenal, menurut Dima, pasti harganya sangat mahal. Tapi Edward tidak sungkan meminjamkan gitar itu dan menyuruhnya mulai memetik senar. Bukannya menasehati Edward, hari itu Dima malah diajari Edward cara bermain gitar. Dima tidak tahu harus senang atau bersedih.