Setelah membalas pesan terakhir Jessica, Deon menghampiri lemari besar di ujung kamar. Pintu dibuka menampilkan tempat gantungan baju di sebelah kiri dengan deretan laci besar di sebelah kanan. Deon membuka laci tengah dan menaruh ponselnya di dalam agar bisa fokus belajar.
"Ah, tinggal bab terakhir," kata Deon, menutup pintu lemari. "Sepertinya bakal seru seperti bab sebelumnya."
Malam ini terasa agak dingin. Deon yakin karena hujan tadi walau sudah reda semenjak sore, untung saja kamar terasa hangat tanpa perlu menggunakan pemanas. Memang tak perlu pemanas juga. Indonesia berada di iklim tropis berdua musim saja, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Beberapa tahun ini saja keadaan cuaca semakin kurang menentu akibat pemanasan global.
Untuk meningkatkan fokus, Deon menekan hidup radionya yang dicolok flasdisk dan musik klasik segera berkumandang mengisi ruangan. Alunan piano nan merdu memberi kesan masa lalu diikuti irama nada-nada yang menenangkan jiwa Deon hingga dirinya perlahan rileks saat menduduki bangku meja. Matanya mulai membaca halaman penuh kata-kata penjelasan tentang anatomi tumbuhan dan tangan kanannya berulang kali membolak-balik halaman. Sesekali dia bergumam menyanyikan lirik lagu yang dikenalnya.
Tiba-tiba terdengar suara benda teratuk. Awalnya tidak kedengaran, tertutupi alunan tuts piano, sampai rentetan bunyi teratuk setiap lima detik menyisipi nada-nada piano yang sama sekali tidak wajar. Deon melihat ke jendela yang menghadap jalanan di luar sana. Benar saja. Ada seseorang melempari sesuatu ke jendelanya. Kekesalan mengisi hati Deon karena hari yang tenang malah diganggu oleh orang lain sehingga dia langsung menghampiri dan membuka jendela lebar-lebar.
"Hei! Siap…."
Sebelum Deon sempat mengumpat, benda lain melayang terbang mengenai kacamata kanan Deon lalu jatuh menggelinding di atas karpet. Otomatis Deon tertegun. Matanya melirik benda itu. Sebuah bola kecil berkulit keras serta berkerut.
"Kacang kenari?"
"Deon!"
Suara itu tidak asing. Terdengar lembut, bersahabat, dan terkesan mentel. Deon melihat ke luar jendela. Seorang perempuan berjaket biru tengah melambai ke arahnya dalam naungan sinar kuning lampu jalan yang terang benderang di sisi samping rumahnya.
"Kilia!" Hati Deon berdetak sedikit. "Sedang apa kau di sini?"
Gadis itu menyampingkan kepala sambil mencorongkan telinga dengan tangan kiri seolah-olah mencoba dengar teriakan Deon. "Apa katamu?"
"Sedang apa kau di sini?!"
Kilia tetap saja berposisi seperti tadi lalu menggeleng kepala. Deon juga ikut geleng kepala. Gadis itu pura-pura tidak mendengarnya padahal Deon bisa mendengar perkataan Kilia yang bahkan lebih kecil suaranya dan sekarang melambai menyuruhnya turun. Gerangan apa yang anak itu lakukan di sini malam-malam meski jam baru menunjuk pukul setengah sembilan. Entah kenapa, kenangan serta rasa sakit sebelumnya kembali mencuat muncul walau tidak sesakit sebelumnya.
"Nak, kenapa kau jerit-jerit?" tanya Bunda, sedang mengelap meja saat Deon sudah turun tangga.
"Ada teman datang berkunjung."
"Malam-malam begini?"
"Kurasa cuma sebentar," kata Deon, agak kurang yakin. "Coba aku bicara dengannya dulu."
"Hati-hati, Nak."
"Aman. Hanya di depan rumah kok."
Deon berjalan agak santai menyeberangi ruang tamu. Alasannya dia tidak ingin menganggu adiknya yang sedang nonton serial drama Korea, alasan kedua adalah dia tidak ingin Nadia ikut nimbrung percakapannya dengan Kilia. Sesimpel itu. Begitu pun, Nadia tidak memperhatikan abangnya karena fokus menonton. Diam-diam Deon memperhatikan sang adik sedang mengusap air mata menggunapan tisu akibat adegan drama sekarang yang sedang puncak-puncaknya perpisahan. Sekali lagi Deon mengingatkan dirinya agar mengabaikan mereka. Ada hal yang lebih penting.
"Kilia," kata Deon, selepas menutup pintu serta berjalan menghampiri lampu jalan agak kanan di depan rumah. "Ada gerangan apa malam-malam?"
Kilia hanya tersenyum. Dia berlari-lari kecil ke arah Deon sebelum melompat memeluknya tiba-tiba yang tentu saja membuat hati Deon berdegup kencang beberapa kali. Harumnya enak lagi. Deon sudah tahu bau ini, namanya feromon, bau khas yang dikeluarkan oleh tubuh perempuan bahkan laki-laki untuk memikat lawan jenis. Astaga! Saat-saat seperti ini Deon malah terpikir tentang pelajaran Biologi.
"Kau ganteng sekali pakai kaos putih ini, Deon," puji Kilia, mendongak ke atas menatap Deon. "Boleh aku memelukmu lebih lama?"
Deon menghela napas. "Aku tidak tahu harus berkata apa, tapi aku ingin tahu kenapa kau ada di sini."
"Kalau sekarang, aku cuma ingin dipeluk."
Kali ini dahi Deon berkerut, tapi Kilia tidak berkata lebih lanjut kecuali mengangkat alis.
"S-Seperti ini?" tanya Deon, merasa agak kikuk kala kedua tangannya yang panjang merayap ke depan lalu menyilang memeluk Kilia dari belakang.
"Ya. Tolong agak lama."
Selama beberapa saat, mereka berdua berada di posisi seperti itu. Deon menghadap jalan sementara Kilia menyandarkan wajahnya ke perut Deon sambil mengendusnya beberapa kali serta berkomentar kalau badan Deon terasa kekar, lebar, dan hangat sebelum bersandar tanpa suara. Tangan Kilia juga mengambil sapu tangan dari balik kantong jaketnya untuk diletakkan pada wajahnya yang menempel ke perut Deon. Baru saja Deon akan menegur Kilia, seorang laki-laki paruh bayah bersepeda melewati depan rumahnya sambil bersiul panjang.
"Pak, tolong jangan sebar gosip yang tak perlu."
"Aman, Deon," balas bapak itu sambil mengedipkan mata. "Nikmati masa mudamu selagi bisa."
"Astaga," gumam Deon. Dia melihat ke bawah kepada Kilia. "Kilia, apakah su…"
Secara sadar, Deon merasa pelukan Kilia perlahan menguat. Dari yang sekedar mengelus meningkat drastis menjadi pelukan seorang pengulat perempuan yang terasa agak seperti dipijat belaka. Badannya juga sedikit gemetar. Ada sesuatu yang salah.
"Kilia…"
Benar saja. Terdengar kemudian suara isak tangis yang ditahan-tahan diikuti genangan air merembesi kaos Deon sekitaran area atas perut. Kilia sedang ada masalah. Baru sekarang dia kelihatan rapuh walau tadi Kilia berusaha untuk tersenyum serta bercanda ria dengannya, padahal ada suatu kegundahan besar sedang menghinggapi gadis mungil ini sehingga Deon merasa bersalah sempat ingin menolaknya. Mungkin inilah maksud orang-orang kalau laki-laki itu lemah pada air mata wanita. Rasanya Deon ingin melindunginya dan malah semakin erat memeluknya karena dia ingin Kilia merasa aman serta menjadikannya sandaran sementara yang bisa diandalkan saat ini.
"Tenang, Kilia. Tenang," tutur Deon lembut sambil mengelus rambut Kilia. "Menangislah sebanyak mungkin yang kau mau. Jangan ditahan."
Kata-kata lembut Deon bagai tangan memutar keran air, tangis Kilia kian menjadi-jadi. Isak tangisnya terdengar lebih keras diikuti rembesan air mata yang tidak mampu diresap sapu tangannya hingga merembes membasahi baju Deon. Itu tidak apa-apa. Yang penting Kilia menyalurkan dulu segala frustasinya walaupun Deon rasa masih ditahan-tahan Kilia agar tangisannya tidak menarik perhatian orang. Tubuhnya juga gemetar hebat. Bila sudah seperti ini, pasti masalah yang dialami Kilia termasuk besar. Deon hanya bisa memeluknya tanpa berkata apa-apa dan tak ingin menghakimi karena dia tidak tahu apa yang sudah Kilia alami. Biarlah dikeluarkan semuanya oleh Kilia jadi dirinya akan merasa lega pas tangisannya usai.
***
"Maaf yah, Deon. Bajumu jadi basah," pinta Kilia, berjalan di samping Deon dengan kepala agak tertunduk. Dia menunjukkan sapu tangan warna biru muda yang kini basah. "Padahal aku datang mau menggembalikan sapu tanganmu."
"Aku rasa kau lebih membutuhkannya saat ini."
"Kau laki-laki yang baik, Deon." Kilia sedikit tersenyum. "Akan kukembalikan setelah kucuci nanti."
Sembari mengucapkan kata-kata tersebut, Kilia menyandarkan kepala ke kanan ke area perut kiri Deon sambil merangkulnya. Tak disangka-sangka Deon kalau Kilia akan semanja ini padanya. Adiknya sendiri pun tidak seperti ini. Untung saja tadi dia sudah menganti baju sebelum mengajak Kilia jalan-jalan sekitaran komplek demi menghirup udara segar.
"Dan aku baik-baik saja," seru Kilia, melepaskan diri dari Deon lalu melompat ke trotoar sempit yang menjadi batas jalan dengan wilayah rerumputan. Tangannya terentang lebar untuk menjaga keseimbangan. "Tolong rahasiakan ini dari siapapun."
"Tentu," Deon menyetujui, tidak mengira Kilia akan secepat itu kembali bersemangat. "Tapi aku tidak yakin kau hanya datang untuk mengembalikan sapu tanganku saja."
"Wah, kau tahu saja pikiranku."
"Perempuan selalu punya maksud tertentu kalau ada maunya," Deon terkekeh. "Setidaknya itu yang adikku lakukan."
Langsung saja Kilia tergelak hebat. Suara tawanya terdengar lembut dan riang.
"Memang, walau tidak semua perempuan begitu."
"Dirimu?"
"Aku?" Kilia berbalik menunjuk dirinya. "Aku tahu aku cantik dan diinginkan banyak lelaki sehingga mudah sekali kupengaruhi mereka."
Deon mengangkat alis. "Maksudmu?"
"Hahaha. Kamu memang ngak peka, Deon," Kilia kembali tergelak. "Aku suka dirimu yang seperti ini karena kau tetap menganggapku biasa saja, beda dengan yang lain."
"Tunggu…" Deon mengangkat sebelah tangan, "…aku tidak mengerti."
"Kau akan tahu maksudku setelah kau menjalaninya nanti," saran Kilia, berusaha menjaga percakapan agar tidak terlalu jauh. "Kudengar kau sering bilang ingin jadi dokter, dokter umum?"
"Pasti dokter spesialis, tapi belum tahu sih mau spesialis apa."
"Enak yah punya impian. Kalau aku tidak tahu mau jadi apa."
"Tinggal tentukan saja."
"Tak semudah itu, kondisi keluargaku yang…"
Kilia tiba-tiba mendiam setelah hendak membahas tentang keluarganya. Deon menunggu lebih lama, tapi Kilia tidak melanjutkan topik pembicaraan sehingga selama beberapa saat mereka hanya jalan berdua menikmati malam berbintang diselingi angin sepoi-sepoi sejuk membelai mereka. Ada kejanggalan mengenai keluarga Kilia.
"Apa yang menganggumu?" tanya Deon, mendorong Kilia biar mulai curhat.
"Sebenarnya," Kilia menghela napas, "aku tidak ingin mengganggumu malam ini, namun aku tidak tahu harus ke mana lagi."
Deon menelan ludah, memberanikan diri bertanya, "Pacarmu?"
"Kami sudah putus. Tapi itu hanya masalah kecil, ada yang lebih besar daripada itu."
Secercah harapan terbit dalam hati Deon. Kilia sudah kembali sendiri dan bisa saja dia menjadi pacarnya. Astaga! Kenapa dia bisa berpikiran seperti ini? Belajar lebih penting dibanding mencari pacar sekarang. Deon mencoba menghela napas untuk kembali ke topik pembicaraan.
"Apakah ada kaitannya dengan keluargamu yah?"
"Yup. Hanya saja aku tidak ingin membahasnya," Kilia menegaskan. "Memiliki keluarga harmonis seperti keluargamu hanyalah impian belaka untukku, makanya aku sering keluyuran ke mana-mana daripada di rumah."
"Maaf. Aku tidak tahu permasalahannya akan sebesar itu."
"Aku justru berterima kasih. Berkat dirimu aku sudah lebih baikkan." Kilia berlari ke depan lalu berbalik menghadap Deon dengan senyum lebar. "Terima kasih, Deon."
Deon menatap lurus ke mata Kilia. "Sama-sama. Aku senang kau sudah kembali ceria."
Kilia berjalan ke arah Deon kala merentangkan kedua tangan lebar-lebar, hendak memeluknya, tapi Deon secepat kilat menangkap kedua pundak Kilia. Meremasnya lembut.
"Apa kau suka memeluk orang?"
"Ngak juga. Ini hanya perlakuan khususku untukmu."
Deon melepaskan sebelah tangan untuk menggaruk dahinya. "Meski begitu, aku kurang menyukainya."
"Kau tidak suka dipeluk?"
"Tidak, tidak." Deon menggeleng kepala. "Walau adikku juga melakukannya, aku hampir tidak pernah memeluk orang lain. Apalagi kita belum punya hubungan apa-apa."
Kilia tersenyum nakal. "Kau menolakku, begitu?"
"Tidak. Aku senang sih, hanya…" Deon mencoba mencari kata-kata yang tepat. "…rasanya aneh saja. Terbesit kenapa kau mau saja memeluk maupun manja padaku."
"Hihihi. Rupanya begitu."
Selama beberapa saat, Kilia tertawa terbahak-bahak. Laki-laki di hadapannya ini sungguh ngak peka apalagi tidak mau mengambil kesempatan di dalam kesempitan yang sangat amat jarang diberikannya pada siapapun, bahkan kepada pacarnya sekalipun.
"Ini namanya menggoda, Deon," jelas Kilia, melepaskan tangan Deon yang tadi memeras pundak kanannya. "Kalau laki-laki lain, pasti langsung memelukku tanpa basa-basi."
"Aku tidak mengerti."
"Caraku masih terbilang halus, kalau langsung itu seperti perempuan yang memakai pakaian seksi."
"Memakai celana pendek untuk menampilkan pahanya?"
"Yup. Semacam itu, walau ada yang lebih langsung."
"Kenapa perempuan melakukannya?"
Kilia mengigit bibir. "Agar menarik perhatian laki-laki."
"Untuk?"
"Hahaha, kau polos sekali," tutur Kilia, meninju pelan ulu hati Deon. "Tak apa, ada waktunya nanti kau mengerti. Lagian, apapun yang kulakukan sepertinya tidak berefek banyak padamu."
"Maksudmu selama ini kau menggodaku?"
"Tidak juga," jawab Kilia pelan. "Kau amat beda dengan laki-laki lain. Mereka bakal kelepak-kelepak senang saat aku melakukan hal sederhana seperti tersenyum lalu menawarkan apapun untuk membantuku."
"Aku yang bodoh atau mereka yang naif?"
"Hahaha, itu tergantung persepsi masing-masing," tawa Kilia. "Itulah sebabnya Jessica bisa jatuh hati padamu."
Tunggu sebentar. Berarti selama ini Kilia tahu apa yang terjadi di sekolah tentang dirinya dengan primadona sekolah serta teman-temannya yang lain. Memang bukan rahasia umum sih. Tetap saja akan ada gosip beredar di sekolah.
"Aku sih biasa saja."
"Memang. Itulah kelebihan yang tidak kau sadari. Perempuan suka laki-laki yang tidak ngampangan."
Kali ini Deon berkerut. Dia kurang paham apa maksud Kilia dan pembahasan topik pacaran-pacaran ini mirip pembahasan pacaran dengan Edward. Sama capek dan sama susahnya. Lebih mudah belajar.
Saat itulah terdengar suara ketokan panjang berirama dari kejauhan. Suara ketokan besi memukul kayu bambu. Siapapun pasti mengenal pembuat suara itu yang kini sedang berbelok dari ujung jalan sana. Langsung saja Deon memanggil lantang abang penjual sate keliling itu.
"Bang, ke sini!"
Abang penjual sate itu hanya melambaikan tangan menyahut panggilan Deon.
"Ayo kita ke taman itu," ajak Deon, menunjuk area taman menjorok ke dalam dari jalan utama. "Kita bisa makan sate sambil duduk."
Kilia mengangguk senang. "Asyik."
Taman yang disebut Deon merupakan salah satu taman dari sekian taman komplek. Meski tak sebesar taman utama di depan, taman ini berada di area belakang komplek dan menempel ke dinding. Dua lampu taman di ujung kiri-kanan menerangi satu meja bundar dikelilingi tiga buah kursi di belakang sebuah bangku panjang yang menyambut Deon dan Kilia pas mereka menghampiri taman itu.
"Sebentar," kata Deon, menarik tangan Kilia sebelum dia sempat menduduki kursi batu itu. "Mari kulap dulu."
"Oh iya, aku lupa tadi hujan."
Deon mengambil sepasang sapu tangan dari kantong celananya dan mengelap bangku panjang itu dari ujung ke ujung. Sebagian besar airnya sudah merembes jatuh, jadi tinggal sisa-sisa kenangan air kecil memenuhi permukaan bangku di banyak titik.
"Kenapa kau bawa sepasang sapu tangan?"
"Jaga-jaga kalau kau menangis lagi," jawab Deon singkat. "Baiklah. Sudah kering."
"Memang kau laki-laki favoritku." Kilia langsung duduk di tengah bangku dan memukul tempat di sampingnya. "Khusus hari ini kau boleh duduk di sampingku."
"Aku ragu kau yang mau duduk di sampingku."
"Padahal banyak laki-laki yang meminta duduk di sampingku loh."
Deon mengangkat bahu. "Benarkah? Aku rasa duduk di mana saja ngak masalah."
Perkataan Deon membuat Kilia menatapnya lekat-lekat. Matanya melebar. Bukan tatapan menggoda, lebih mirip tatapan seorang anak kecil yang dipenuhi tanda tanya. Deon tidak lanjut meladeni Kilia karena abang sate sudah datang menghampiri mereka.
"Halo, Bang. Sehat?"
"Tentu saja sehat," balas abang sate bertopi koplo itu santai. "Mau berapa porsi?"
"Dua porsi besar. Satu porsi padang dan satu lagi…"
"Aku campuran padang kacang yah," potong Kilia sambil mengacungkan satu jari.
"Ya, satu lagi satu porsi campuran padang kacang," lanjut Deon, melihat abang setengah paruh baya itu memperhatikan Kilia agak lama sebelum berbalik mempersiapkan sate. "Ada apa, Bang?"
"Jarang-jarang aku melihatmu dengan seorang perempuan, Deon. Biasanya kau cuma belajar atau sama adikmu saja," tutur abang sate. "Akhirnya kau sudah mulai dewasa."
"Dewasa?"
"Ya. Kau sudah bisa berhubungan dengan lawan jenis."
"Ah." Deon mengibaskan tangan. "Dia cuma kawan."
"Hahaha, dulu pun abang begitu ama istri abang. Bisa itu."
Deon mengerti langsung maksud abang sate langganannya ini. Abang ini sering cerita tentang pengalaman hidupnya, terutama tentang keluarganya. Bahkan awal pertemuan dengan sang istri sampai memiliki sepasang anak. Sungguh lika-liku kehidupan.
"Walau begitu, aku mau fokus belajar dulu."
Abang sate mulai membolak-balik sate yang sedang dipanggang."Mau jadi dokter kan?"
"Pasti."
"Sambil jalan saja."
"Maksud abang?"
"Fokus boleh, tapi tetap jalin hubungan. Soalnya memupuk hubungan itu ngak mudah dan ngak bisa sebentar juga."
Deon mengangkat sebelah alis ingin tahu. "Bagaimana kalau aku tidak fokus nanti?"
"Ingat prioritas tentunya." Abang sate membolak-balik satu per satu sate. "Bekerja boleh, istirahat juga harus. Seimbangkanlah."
Setelah itu percakapan terhenti. Abang sate mulai mempersiapkan dua porsi sate pesanan pelanggan sedang Deon masih tetap berdiri dengan kedua tangan terlipat sambil merenungkan kata-kata abang sate tadi. Perkataannya terdengar masuk akal. Jika memang kenyataannya begitu, Deon tidak tahu apakah itu berarti dia mesti membagi waktu antara belajar dan bersosialisasi. Antara belajar dan Kilia lalu…
"Jessica," gumam Deon, terkesiap.
"Sudah siap, Deon," kata abang sate tiba-tiba, tengah mengangkat dua piring kecil kertas mirip tempat pizza.
"Oh, terima kasih, Bang."
Buru-buru Deon merogoh kantong celana hanya untuk menemukan Kilia sudah di sampingnya sedang menyodorkan selembar kertas berwarna biru kepada abang sate. Dirinya tersenyum lebar.
"Ini."
"Tunggu, Kilia!" seru Deon, sudah mengambil dua lembar kertas berwarna hijau. "Biar aku yang bayar saja."
"Ngak papa, Bang," lanjut Kilia, mengabaikan Deon yang juga mengulurkan uang kepada abang sate. "Aku mau traktir dia karena sudah membantuku hari ini."
Abang sate tersenyum lalu. Tangannya terulur hendak mengambil uang Kilia sebelum beralih merenggut uang dari tangan Deon. Aksi barusan membuat Kilia bengong.
"Makasih, Neng. Sebagai sesama laki-laki, aku mengerti perasaan Deon, jadi aku harus mengambil uangnya."
"Maksudnya gimana, Bang?"
"Agar kau tahu kalau dia seorang lelaki."
Kilia mengangguk-angguk kepala. "Oh, aku mengerti."
"Kalau begitu, aku jalan dulu," kata abang sate, menyimpan uang tadi ke dalam kantongnya. "Jaga dia baik-baik, Deon."
"Aman. Terima kasih, Bang."
Abang sate mulai mengayuh sepeda. Mereka berdua berdiri sesaat memandang abang tersebut berlalu pergi sampai suara musik khas abang sate kembali berkumandang.
"Ini." Deon memberikan seporsi sate kacang kepada Kilia. "Ayo kita duduk."
"Abang itu unik yah."
"Dia memang selalu baik. Juga bijak."
"Mungkin. Aku baru saja mengenalnya."
"Aku sih aku sudah kenal lama."
Beberapa saat mereka berhenti berbicara. Masing-masing duduk bersebelahan, tentu saja ada sedikit jarak, sambil menikmati sate yang menurut Kilia adalah salah satu sate terenak yang pernah dicicipinya. Dia begitu menikmatinya sampai-sampai beralasan kalau makan itu harus dikunyah lama-lama. Deon cuma bisa geleng kepala.
"Maksudmu kau baru saja keluar dari kerja paruh waktumu menjadi seorang barista?"
"Ya. Terlalu banyak menarik perhatian, padahal aku suka pekerjaannya."
"Di mana?"
"Kusebutkan pun kau pasti ngak tahu di mana. Anggap saja di suatu tempat," lontar Kilia singkat, seakan tidak ingin membahasnya. "Kau sendiri gimana? Pernah kerja paruh waktu?"
"Hm… Aku pernah disuruh jaga peliharaan orang lebih tepatnya, walau menurutku itu bukan kerja paruh waktu sih."
"Anjing atau kucing?"
Pertanyaan ini terkesan menjebak. Kilia mendorong badannya ke depan sambil tersenyum sumringah kala menunjuk Deon. Sepertinya dia ingin membuat Deon memilih salah satu kubu.
"Aku lebih suka anjing daripada kucing."
"Yah," Kilia menyahut lemas. "Kucing kan lebih lucu."
"Tapi kurang aktif, kerjanya cuma makan, berbaring, atau minta digelitik terus."
Kilia menunjuk Deon lagi dengan tangan gemetar dibuat-dibuat disertai wajah cemberut ala anak kecil yang ngambek. "Kau jangan menghina kucing yah. Mereka makhluk imut."
"Anjing lebih setia."
"Itu…"
Satu kalimat Deon langsung membungkam Kilia. Dia melipat kedua tangan dan menengadah ke atas. Pikirannya termenung mencari cara untuk menangkis pernyataan Deon.
"Ini cuma hal kecil, tak perlu dipikirkan begitu serius, Kilia," kata Deon santai. "Lagi, adikku sendiri memelihara kucing padahal kami…"
"Kucing? Jenis apa?"
Mata Kilia langsung berbinar-binar. Sepertinya dia sangat terobsesi pada kucing sehingga Deon kurang tega memberitahu jenis kucing peliharaan adiknya itu cuma kucing liar saja.
"E-Ehm… kucing liar."
"Mereka juga imut kok," sahut Kilia girang. "Agak jorok saja."
"Biarlah. Pokoknya adikku yang selalu memandikan dan membersihkan mereka."
"Bolehkah aku bertemu kucing-kucing itu?"
"Kau yakin tidak kemalaman nanti?"
Spontan Kilia merogoh keluar sebuah ponsel dari balik kantong celananya. Dia menekan hidup layar ponsel dan memunculkan jam digital yang menunjuk pukul 10 malam lewat.
"Aman. Aku biasa pulang jam 12 malam."
Deon terkesiap. "Apa?"
"Ya. Hampir setiap hari."
Gerangan ke mana anak gadis ini malam-malam pikir Deon. Edward saja kalah. Sungguh berbahaya bagi Kilia yang selain cantik juga terlihat polos. Mungkin cuma kelihatan polos saja. Kala Deon sedang berpikir, titik-titik air menjatuhi dirinya ditemani angin malam dingin yang sedari tadi sudah berhembus.
"Hujan."
"Masih gerimis." Deon sontak berdiri mengambil dua piring sate kosong mereka dan memasukkannya ke sebuah tong sampah terdekat. "Yok, Kilia."
"Ke mana?"
Deon mengangkat alis. "Tentu saja ke rumahku. Nanti makin hujan loh."
"Owh, benar juga."
Kilia melangkah pelan ke samping Deon sambil menutup ritsleting dan memakai tudung jaket. Dia tampak bagai sebatang tanaman kurus keriput, namun wajahnya tetap cantik rupawan meski tanpa dihiasi oleh rambutnya. Hal ini membuat Deon sadar betapa para lelaki berbondong-bondong ingin mengejar serta menjadikannya milik mereka. Dia sendiri pun terkesima.
Deon memukul pipinya pelan. "Bukan saatnya untuk itu."
"Ada apa?"
"Oh. Tidak apa-apa."
Kilia tertawa kecil. Sepertinya gadis itu tahu kenapa dirinya memukul pipinya sendiri. Yah sudahlah. Deon tak mau ambil pusing dan beralih membuka serta mengangkat jaket besarnya tinggi-tinggi seperti seekor tupai merentangkan sayap untuk menaungi dirinya dan Kilia dari hujan. Kilia mendongak dengan mata lebar, tidak percaya apa yang dilakukan oleh Deon. Berulang kali pandangannya menoleh pada Deon lalu kepada dirinya sendiri. Dia tiba-tiba memutuskan membuka tudung kepala jaket dan tersenyum.
"Kau romantis sekali, Deon."
"Benarkah?"
"Tentu. Yuk, kita ke rumahmu."
Sepanjang perjalanan, Kilia terus bergumam riang di samping Deon. Mereka berjalan lumayan cepat seiring titik-titik hujan semakin menyerang dari segala arah. Lebih mirip hujan gerimis daripada hujan lebat. Deon juga mengakui dalam hati kalau cara ini dia dapatkan dari serial drama korea di mana para lelaki sering lakukan untuk melindungi perempuan yang mereka sayangi. Apakah itu berarti Deon menyayangi Kilia? Mungkin ya, mungkin tidak. Dia hanya tidak ingin Kilia basah saja. Sebatas itu.
Ketika sampai di rumah, mereka tidak buru-buru masuk, tapi berteduh dulu di bawah teras. Kilia yang hampir tidak kena hujan mengintip melalui pintu sedang Deon mengibas-ngibas jaketnya agar sedikit banyak air terhempas pergi. Mungkin jaketnya masih bisa dikeringkan tanpa harus dicuci lagi.
"Kak Kilia!"
Suara jeritan adiknya terdengar jelas. Nadia berlari pontang-panting menyusuri ruang tamu untuk membuka pintu. Bunda sendiri mengintip dari arah dapur. Sepertinya malam ini mereka bakal tidur larut malam.
"Ayo masuk, Kak!" ajak Nadia, menarik tangan Kilia. "Jangan malu-malu."
"Iya, terima kasih." Kilia segera menunduk pas melihat Bunda. "Halo, Bu. Nama saya Kilia, teman Deon."
"Halo, Kilia. Silahkan masuk."
"Terima kasih, Bu."
Kilia tidak sempat membantu Deon karena Nadia telah mengambil ahli Kilia secara sepihak, meninggalkan Deon sendirian di bawah teras sampai Bunda menghampirinya.
"Apakah bajumu basah kuyup, Nak?"
"Ngak terlalu, Bunda. Semuanya baik-baik saja."
"Siapa anak itu?"
"Teman sekolah. Dia anak dari jurusan IPS."
"Begitu." Bunda terlihat ragu. Dia memperhatikan Nadia sedang memamerkan koleksi kaset serial drama Koreanya pada Kilia sebelum berbalik kepada Deon. "Bunda pikir dia pacarmu."
Deon menghela napas. "Ceritanya panjang, Bunda. Nanti aku cerita."
"Ceritakan juga pada ayahmu yang besok pagi-pagi pulang, Nak," saran Bunda, melihat ke arah jalan yang kini sudah diguyur hujan lebat. "Sepertinya dia bakal menginap hari ini."
Mendengar bahwa ayah pagi-pagi pulang, Deon hanya bisa menelan ludah. Besok dia pasti disidang di kamar ayahnya.