"DING-DONG-DING-DONG!"
Dentang bel berkumandang memenuhi seluruh sekolah. Para murid yang terkejut mendengarnya semakin panik dan buru-buru menarikan pulpen mereka di atas kertas putih berisi soal-soal ujian. Untuk soal esai, mereka menulis karangan sebebas-bebasnya daripada kosong melompong, sedang soal pilihan berganda, mereka melingkar sembarangan seperti orang gila. Bodoh amat mana yang benar atau salah, pokoknya harus terisi semuanya.
"Akhirnya!" seru Edward sambil merentangkan tangan ke atas. "Ujian sudah usai. Tinggal liburan."
"Jalan-jalan ke mana, Ward?"
"Belum tahu." Edward memutar badan ke belakang menghadap Deon yang tengah memasukkan bolpoin ke kotak pensil. "Ayah sih bilang liburan ke tempat terdekat saja."
"Pilihannya apa kali ini?"
"Singapore, Malaysia, Australia, atau Hongkong."
"Dua negara terakhir termasuk jauh, bukan?"
"Yup, tapi ayahku yang tentukan, walau sebenarnya aku mau ke India. Kau sendiri?"
"Di rumah saja, paling belajar."
"Alah, belajar lagi!" Edward mendecak garang. "Apa tak ada aktivitas selain itu? Mungkin main game atau bersenang-senang gitu."
"Lebih baik daripada adikku yang akan terus nonton drakor."
"Itu juga hiburan."
"Tapi..."
"Anak-anak!" seru Pak Brontas di depan kelas. "Ujian telah usai, tapi ada hal yang perlu bapak ingatkan tentang ajaran baru tahun depan. Pertimbangkan kalian masuk klub apa, minimal satu dan maksimal dua. Itu saja."
Seorang laki-laki berkacamata mengangkat tangan. Perawakannya ceking memberi kesan kurang gizi, belum lagi rambut pendek model batok membuat orang-orang mengiranya anak idiot, tapi pembawaan bicara serta tatapan tegas telah mengantarkannya menjadi seorang ketua kelas. Sebenarnya dia sendiri yang mengajukan diri tanpa seorangpun memilihnya.
"Ya, Andreas?"
"Boleh tiga klub?"
Pak Brontas mengigit bibir. "Kenapa kau mau tiga klub?"
"Bahan belajar untuk jadi ketua osis nanti."
Seketika kelas ricuh. Mau masuk satu klub saja sudah pusing tujuh keliling, anak satu ini mau masuk tiga klub sebagai bahan belajar untuk jadi ketua osis. Sungguh mulia sekali. Murid-murid berteriak mengejek, terutama Edward, minoritas sedikit seperti Deon cuma duduk diam. Sementara Andreas diam tak bergeming. Dia merasa tak ada yang salah dengan pertanyaannya.
Sekali hantaman rotan ke atas meja langsung memaksa semua murid terdiam manis di tempat duduk. Mereka melipat tangan dan menegakkan badan. Tak ada yang berani macam-macam dengan sang wali kelas.
"Ditolak! Dua klub saja karena bapak tahu kau pasti jadi ketua klub."
"Kenapa?" tanya Andreas agak kecewa. "Padahal saya bisa belajar banyak."
"Dua alasan. Satu, kau nanti tak bisa fokus, alasan kedua, biarkan yang lain belajar jadi ketua."
"Saya yakin saya sanggup."
"Bapak suka ketegasanmu, tapi keputusan bapak sudah final."
Andreas terpaku menatap Pak Brontas. Dia tahu apapun yang dikatakan tak akan mengubah keputusan Pak Brontas, jadi dia kembali duduk setelah mengucapkan terima kasih. Sebentar tadi dia melirik Deon dan memutar bola mata. Entah apa maksudnya, Deon tidak mengerti. Lalu Pak Brontas membubarkan kelas.
"Yok, kita ke kafe."
"Sorry, Ward, tapi adikku belum selesai ujian."
"Hah?" Dahi Edward berkerut. Pandangannya menyeberangi lapangan basket ke ujung kelas yang tampak sepi. "Bukannya sama dengan kita?"
"Ingat, mata pelajaran kita sudah ada pembagian jurusan, sedang anak-anak SMP kan masih belajar semuanya," jelas Deon ringan. "Sekitar dua jam lagi."
"Aduh, masih lama itu."
"Makanya, lain kali saja."
"Yah udahlah. Aku kumpul sama anak-anak geng ku aja."
Deon menelunjuk ulu hati Edward. "Jangan buat masalah lagi, Ward. Nanti kau ngak bisa jalan-jalan ke luar negeri."
"Hanya minum-minum biasa." Edward kemudian tersentak. "Eh, tadi kenapa Andreas melirikmu?"
"Kau ada lihat yah tadi?"
"Pastilah. Padahal kita tidak pernah bermasalah dengannya."
"Sebenarnya aku juga kurang tahu."
Edward memukul pundak Deon. "Jangan-jangan dia menganggapmu rival."
"Rival?"
"Semenjak kau terkenal, dia makin gencar berorganisasi serta melakukan berbagai macam cara menarik perhatian. Tentu saja kamu masih lebih diperhatikan."
"Sebentar." Deon melipat tangan. "Kenapa kau bisa tahu banyak?"
"Semacam hobi memperhatikan sekeliling. Karena itu aku bisa dapat posisi tinggi dalam geng, soalnya kita harus tahu tentang musuh kita, eh teman-teman kita."
"Bahkan Stephanie dan Jessica?"
"Tentu, tapi sekedar kulit luar saja."
Senyum Edward memberi tanda kalau dia tahu apa yang dilakukannya serta terlibat lebih dalam dari apa yang diungkapkannya. Kalau saja digunakan dalam belajar, tentu Edward bisa dapat juara maupun mengalahkannya. Dia rasa setiap orang memang punya prioritas berbeda.
"Baiklah, Ward. Selamat liburan loh."
"Kau ini, seperti kita ngak ketemu aja." Edward membalas uluran jabatan tangan Deon. "Nanti kuhubungi kalau ada apa-apa."
"Aman."
Setelah Edward meninggalkannya, Deon naik ke lantai empat sekolah. Sengaja dia melewati jalan yang lebih panjang agar tidak melalui kelas Stephanie dan Jessica soalnya dia tidak mau diganggu untuk sementara. Waktu dua jam itu amat berharga. Setidaknya dia bisa belajar sebentar di perpustakaan.
Seperti dugaan, lantai empat kosong melompong. Berjalan sendirian menelusuri koridor setelah sempat berjalan berlalu lalang diperhatikan maupun dipanggil beberapa murid perempuan memberi Deon perasaan tentram. Pikirannya tenang. Angin sepoi-sepoi lantai atas membelainya perlahan sambil dihibur oleh langit biru di sebelah kanan, memang suasana hari ini jarang-jarang ada.
Langkah Deon berhenti di depan sebuah pintu dua kaca. Dia menoleh ke dalam dan mendapati ruang perpustakaan kosong. Lampu mati, tapi masih lumayan terang berkat cahaya terik matahari. Mungkin Bu Lastri maupun Bu Felicia sedang cuti. Wajar. Selama ujian para murid hampir tidak pernah ke perpustakaan.
Deon membawa turun tas yang dirangkulnya kala berjongkok. Tangannya membuka resleting dan merogoh ke dalam kantung-kantung kecil yang dia sudah kenal persis sejak memakai tas tersebut setahun lalu. Tak lama, dia membawa keluar sebuah kunci besar berwarna emas. Sebuah kunci yang didapatkan dengan susah payah.
"Bagus," lontar Deon saat kunci tadi dimasukkan ke lubang kunci pintu dan diputar sampai terdengar sebuah klik. "Mungkin kubaca tentang anatomi hewan dulu."
Satu hal Deon sadari pas memasuki ruang perpustakaan adalah bau apek khas baju baru. Amat menyengat. Deon membuka jendela belakang yang menghadap ke langit biru, seketika angin langsung berderu kencang melakukan tukar udara dengan udara perpustakaan. Sampai bau apek itu hilang sepenuhnya, Deon sudah duduk diam dan tenggelam dalam bacaannya tentang anatomi hewan dilanjutkan tentang tumbuh-tumbuhan.
Tiba-tiba terdengar suara sesuatu dilabrak. Deon yang fokus otomatis menegakkan badan dan melihat sekeliling. Posisinya di ujung ruangan dihalau beberapa rak buku sehingga tidak memungkinan baginya untuk mengintip pintu depan. Suara labrakan lain terdengar, kali ini lebih keras. Meski telah mengunci kembali pintu perpustakaan agar orang lain tidak bisa masuk, Deon memutuskan mengeceknya kembali.
"Hm… tak ada orang," gumam Deon, dalam perjalanan menghampiri pintu yang masih tegak berdiri. "Apa aku salah dengar?"
Sulit dipungkiri, terlintas dalam pikira Deon kalau suara itu kemungkinan dibuat oleh penunggu sekolah. Dulu dia sempat tidak percaya sampai mengalaminya sendiri di kantin. Baru kali ini dia mengalami di perpustakaan. Deon berusaha tetap berpikir positif dan menarik napas dalam-dalam.
"Tenang, tenang."
Terdengar labrakan lagi. Begitu keras. Bukan dari pintu, sumbernya berasal dari utara di balik konter petugas perpustakaan. Sebuah bayangan tampak bergerak-gerak di balik sebuah jendela persegi besar sedang berusaha membuka jendela. Pola ombak kaca jendela membuat Deon tidak bisa melihat sang maling dengan jelas, tapi perawakan bayangan berpostur pendek dengan rambut memanjang turun ke samping menyakinkan Deon kalau maling itu seorang perempuan. Pelaku kejahatan itu mendorong jendela perlahan ke arah dalam perpustakaan sambil dipelototi Deon. Setengah jalan, setelah sedikit banyak kepala maling itu masuk diikuti tangan mungil mendorong bagian bawah jendela, sang maling entah bagaimana terpeleset di luar sehingga tangannya terlepas dan jendela itu menghantam kepalanya.
"Aduh, sakit," lontar perempuan itu pelan. Sebelah tangannya membelai bagian kepalanya yang kena hantaman jendela.
Suara itu terdengar tak asing. "Kilia!"
Gadis itu tersentak. Sekali lagi menghantam daun jendela, kali ini kena tangannya yang masih membelai kepala.
"Ini aku, Deon," kata Deon karena gadis itu kelabakan hendak kabur. "Apa yang sedang kau lakukan?"
"Deon?" Nada suara Kilia melembut. "Kenapa kau ada di sini?"
"Nanti kujelaskan. Ayo, masuk dulu ke perpustakaan lewat pintu depan."
"Jangan, angkat aku masuk dari jendela ini saja," pinta Kilia. "Orang-orang ngak akan tahu kalau aku minggat lewat sini."
"Tapi…"
"Tak apa."
Deon memutar masuk ke konter petugas perpustakaan ke tempat jendela Kilia hendak lalui. Buku-buku digeser terlebih dahulu biar ada sedikit ruang, baru Deon membuka jendela. Jantung Deon berdetak sedetik melihat Kilia terlihat elegan dalam balutan jaket biru muda berpenutup kepala dan terkesan manis dengan senyum santai.
Kilia mengulurkan kedua tangan. "Tolong pegang tanganku."
"Apa yang hendak kau lakukan?"
"Bisa kuurus."
Kulit kuning langsat Kilia terasa lembut dalam pegangan tangannya. Juga terasa kenyal. Deon bertanya-tanya kenapa beda sekali dengan kulit adiknya, belum lagi sekarang tercium sejenak wangi, beda harum, yang sama seperti saat bersama Jessica. Namun renungan Deon terpecah saat tangan Kilia bergoyang hebat ketika menaikkan kaki kanan ke ambang jendela diikuti kaki kiri sehingga posisinya sedang jongkok.
"Angkat aku turun Deon," minta Kilia dengan seulas senyum.
"Tapi…"
"Tak apa-apa. Pegang ketiakku saja."
Kalau semudah itu, tidak mungkin Deon sekarang berpikir keras. Daun jendela memang dibuka ke atas, masalahnya tidak bisa sepenuhnya di atas alias setengah jalan saja sehingga seorang penyelinap tidak serta merta bisa melompat ke dalam perpustakaan semudah itu.
"Aku punya ide yang lebih bagus," kata Deon, merapat ke dinding persis samping jendela. Tangannya merangkul Kilia dari bawah ketiak ke pundak sebelahnya. "Sekarang rentangkan kaki kirimu."
"Seperti ini?"
Kaki kiri Kilia direntangkan lurus ke depan sedang kaki kanan masih tertumpu pada ambang jendela. Tangan kiri Deon direntangkan di bawah kaki rentangan Kilia dan ditekuk ke bagian lutut.
"Sekarang kaki kananmu rentangkan juga sambil pegangan padaku."
"Yakin?"
"Ya, percaya saja padaku."
Kilia awalnya sempat ragu, tapi dilakukan juga. Deon merasakan pegangan Kilia sangat kuat mencengkeram bahunya diikuti tangan Kilia satunya juga merangkul leher Deon lalu tangan Deon menekuk lutut kaki kanan Kilia juga sehingga posisi mereka seperti Deon sedang mengangkat Kilia layaknya seorang pangeran merangkul seorang permaisuri dalam acara pengantin.
"Astaga, baru pertama kali aku dibawa seperti ini," seru Kilia terkekeh.
"Sama," Deon mengangkat Kilia menjauh dari jendela ke area yang lebih luas. "Tapi…"
"Jangan dulu." Kilia menahan Deon yang hendak menurunkannya. "Aku ingin lebih lama seperti ini."
Kilia memutar kepala ke samping menghadap Deon. Matanya menangkap mata Deon yang juga menatapnya balik selama beberapa waktu sehingga terasa sepertinya waktu telah berhenti. Mata Kilia begitu menawan, belum lagi lekuk bibir indahnya yang merah jambu, dan dari jarak begitu dekat Deon bisa mendengar napas Kilia sedikit menderu-deru. Rasanya Kilia kelihatan lebih cantik dari sebelum-sebelumnya. Mungkin karena dilihat dari dekat.
Kilia mendadak tersenyum sipu. "Kau jatuh cinta padaku, Deon?"
Kata-kata itu langsung membuyarkan renungan Deon. Untuk sementara dia terpaku diam dan mulai merasa tangannya mulai agak pegal. Walau Kilia tidak berat-berat amat, tapi lama-lama diangkat pun tetap berat juga.
"Kau suka aku kan, Deon?"
Kali ini Kilia menepuk pelan pipi Deon beberapa kali kala tertawa kecil.
"Aku tidak tahu, Kilia," kata Deon singkat. "Aku lebih ingin tahu kenapa kau mau ke perpustakaan, bahkan masuk sebagai maling."
"Hahaha, kau serius sekali."
"Soalnya aku lagi belajar." Deon menurunkan Kilia perlahan mulai dari kaki duluan. "Lalu tiba-tiba kau mencongkel jendela."
Kilia menepuk-nepuk jaketnya yang lusuh. "Betul, karena aku ada urusan sebentar. Lagi, kenapa masih belajar? Bukankah ujian sudah usai?"
"Memang. Yang kupelajari adalah materi semester baru nanti, selain itu aku sedang menunggui adikku."
"Adikmu?"
"Ya. Dia masih ujian."
"Senangnya punya abang." Kilia keluar dari konter petugas perpustakaan dan menuju tempat Deon belajar sambil diikuti oleh Deon sendiri. "Aku juga ingin."
"Kau punya saudara?"
"Sayang sekali, aku anak tunggal. Kau?"
Deon duduk di tempat duduknya dengan Kilia di samping. "Kami berdua saja."
"Bolehkah aku bertemu adikmu?"
Kepala Deon memutar ke samping. Didapatinya Kilia sedang memandangnya sambil meletakkan kepala di atas meja ditopang oleh kedua tangan layaknya murid yang tidur di barisan belakang.
"Tidak masalah sih, tapi mungkin masih lama."
"Tidak apa-apa. Aku ke sini cuma mau tidur."
Mata Deon terbuka lebar. "Tidur?"
"Yah. Malam ini aku ada kerja sampingan jadi lebih nyaman tidur di sini."
"Sebentar, bukannya lebih nyaman tidur di rumah?"
"Itu…" Kilia terlihat lesu seperti tidak ingin membahas "…akan kuceritakan lain waktu."
"Baiklah."
Suasana kembali tenang. Kilia masih memperhatikan Deon dengan senyum lebar yang Deon tidak mengerti apakah disengaja olehnya atau sekedar ingin menggodanya. Lambat laun Kilia menutup mata. Sejenak kemudian terdengar dengkuran bernada rendah serta panjang Kilia yang bila diingat-ingat mirip dengkuran kucing liar peliharaan adiknya. Deon hanya menggeleng-geleng kepala dan membaca bukunya lagi.
Suasana terasa adem. Angin sepoi-sepoi membelai dirinya bersama Kilia sembari cahaya orange matahari menyinari tempat duduk mereka di ujung perpustakaan. Sungguh damai sentosa. Anehnya, Deon merasa tidak kesepian karena ada Kilia di sampingnya. Wajahnya tampak mungil dan manis. Rasanya laki-laki manapun bisa jatuh hati pada Kilia dengan sekali lihat, tapi tentu saja Deon menolak keras dalam hati. Terbesit Jessica, namun sebenarnya, Deon menolak Kilia maupun Jessica. Dia hanya ingin tenang belajar menjadi seorang dokter. Itu saja.
"Rasanya agak dingin," gumam Deon setelah merasakan deru angin dari cuaca luar yang agak menghitam. "Sepertinya bakal hujan."
Seisi ruangan bakal bau apek kalau jendela ditutup. Membuka satu jendela juga tidak akan menciptakan sirkulasi udara yang cukup untuk mendinginkan ruangan sehingga Deon memutuskan tetap membuka jendela. Dia malah mengambil jaketnya dan menyelimuti Kilia agar gadis itu tetap merasa nyaman. Sedang dirinya, dia merasa aman-aman saja.
Tiba-tiba terdengar sebuah nada dering cuitan. Sebuah pesan notifikasi muncul pada layar ponsel di samping buku Deon, memberitahukan bahwa adiknya bakal sedikit lama. Deon membalas agar mencarinya di perpustakaan bila siap nanti.
"Mama… jangan tinggalkan aku…" ngingau Kilia perlahan. "Aku…rindu mama….tolong…"
Deon sedikit terkesiap mendengar ingauan Kilia. Mungkin sesuatu terjadi sehingga Kilia ditinggal mamanya atau hanya sementara waktu, tapi yang jelas air mata Kilia kini berlinang membasahi pipi. Sungguh diluar dugaan Deon. Secepat kilat Deon langsung mengambil sapu tangan dari dalam kantong dan menyeka air mata Kilia perlahan-lahan. Saat itulah, mata Kilia terbuka.
"Apa aku menangis lagi?" tanya Kilia, masih diam di tempat memperhatikan Deon yang terhenti mengusap air matanya. "Apa aku memanggil mamaku?"
"Ya."
"Sepertinya memang susah hilang kebiasaan itu." Kilia beranjak bangun. Saat itulah dia tersadar kalau ada tambahan jaket menyelimutinya, punya Deon. "Kau laki-laki yang baik, Deon."
Kilia mengambil sapu tangan dari tangan Deon dan mengusap sendiri air matanya. Dia tersenyum sayu.
"Akan kukembalikan setelah kucuci," kata Kilia lembut. "Sudah jam berapa?"
Deon memeriksa jam tangannya. "Jam tiga."
"Oh, aku masih ada waktu."
"Adikku juga masih…"
Kali ini terdengar suatu gedoran pintu. Perhatian Deon terahlikan dari wajah Kilia ke arah tempat pintu berada yang ditutupi rak-rak buku. Gerangan siapa yang melakukan itu membuat Deon curiga.
"Akan kucoba cek."
Kilia tertawa kecil. "Jangan-jangan hantu."
"Jangan bilang yang aneh-aneh, Kilia."
Kilia tergelak. Hari ini entah kenapa dia banyak sekali tersenyum maupun tertawa, setidaknya lebih baik daripada menangis. Deon sempat tak bisa bereaksi sama sekali tadi.
"Nadia!" seru Deon, mendapati adiknya sedang menempel wajah ke kaca untuk melihat ke dalam. "Kau bisa saja mengetuk pelan, nanti kacanya pecah loh."
"Maaf, Bang," pinta Nadia. "Aku sempat takut abang sudah pulang."
"Katamu bakal telat?"
"Iya, kupikir agak lama, rupanya pengumumannya sebentar saja," jelas Nadia, masuk ke dalam perpustakaan setelah Deon membuka pintu. "Abang sudah mau pulang?"
Deon mengangkat sebelah alis. "Kayaknya ada sesuatu ini."
"Aku mau nonton drakor!"
"Di ru…" Deon sedikit terdiam mengingat kalau ada Kilia yang masih mau tidur, "…kalau…"
"Halo, Nadia."
Kilia berjalan pelan menghampiri Deon dan Nadia sambil melambai menggunakan sebelah tangan. Tangan satunya dijejalkan ke dalam kantong jaket.
"Siapa dia, Bang?"
"Aku teman abangmu, Nadia." Kilia tersenyum ramah. "Lebih tepatnya, aku pacar abangmu."
"Apa?!"
Secepat kilat Deon menangkap sang adik dan mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Kalau dibiarkan, seisi perpustakaan, tidak, seisi sekolah bisa mendengar teriakannya. Deon sudah kenal betul sikap sang adik. Hebohnya bukan main. Apalagi hal berbau cinta.
"Tolong jangan buat candaan aneh-aneh, Kilia," mohon Deon sambil menghela napas. "Adikku ini tidak seperti anak lainnya."
"Hihihi."
Sementara sang adik mengerutkan dahi. Tangannya meronta-ronta sebelum meraba tangan Deon dan berusaha melepaskan diri, tapi cengkeraman Deon amat kuat.
"Aku bukan pacarnya, Nadia. Dia temanku saja."
"Hah… Hah…" Nadia bernapas terengah-engah pas dilepaskan oleh Deon. "Ngak perlu menyanderaku juga, Bang. Sakit loh."
"Mana yang sakit?" Kilia menghampiri Nadia lalu berjongkok di depannya. Tangannya membelai pelan area pipi serta bibir Nadia. "Maafkan abangmu yah. Dia hanya ingin agar orang lain tidak tahu aku pacarnya."
Deon menggeleng kepala berulang kali. "Tolong jangan membuat salah paham yang tak perlu, Kilia. Aku bukan pacarmu. Titik."
"Hihihi, padahal banyak loh yang mau jadi pacarku."
"Terserah. Yang penting aku mau jadi dokter dulu."
"Abangmu serius sekali, Nadia," ucap Kilia, masih membelai Nadia. "Bagaimana menurutmu?"
"Orangnya cerewet dan protektif," ketus Nadia, melirik tajam ke arah Deon. "Walau sebenarnya orangnya baik, perhatian, dan mungkin memang agak serius saja."
"Lihat kan, Deon?" Kilia menaik-turunkan alis beberapa kali. "Bahkan adikmu juga bilang kau serius."
Nafas Deon terhela panjang. "Aku hanya ingin ketenangan sebenarnya."
"Hahaha, bawa santai saja."
"Ngomong-ngomong, kakak cantik sekali. Mirip karakter cewek di drakor yang kutonton."
"Benarkah?" Kilia tersenyum sipu. "Kakak juga ada nonton drakor. Apa judulnya?"
"The Love in the air."
"Wah! Itu serial yang bagus sekali. Katanya season 2 luncur bulan depan."
Mata Nadia berbinar-binar. "Yang benar?"
"Yup. Trailernya pun kakak sudah ada."
"Mana-Mana? T-Tunggu…." Nadia tiba-tiba tersadar sesuatu. "…dari mana kakak bisa tahu info itu? Bukannya pengumuman resmi pun belum ada."
"Tentu saja kakak ada ikut komunitas drakor. Please, jangan bilang siapapun. Ini hanya diantara kita."
"Tentu saja. Tolong kasih lihat trailernya."
Segera saja Kilia dan Nadia tenggelam bersama membahas drakor kesukaan mereka. Deon sudah tahu dari dulu jika mereka berdua bertemu maka pembahasan tentang drakor bisa berjam-jam atau seharian. Apa boleh buat. Setidaknya Nadia punya teman baru, juga Kilia karena dia kelihatan kesepian. Sembari Kilia mengajak Nadia duduk bersamanya membahas drakor, Deon kembali membaca buku. Kali ini dia memakai headset sehingga segala kebisingan terhalau seratus persen. Dia tenggelam dalam bacaannya sampai wajah Kilia nonggol mengintipnya dari bawah. Mirip tingkah laku anak kecil yang ingin menarik perhatiannya.
Deon melepas headset. "Ada apa, Kilia?"
"Aku sudah mau pulang," katanya singkat. "Kau gimana?"
"Sama. Yuk kuantar."
"Antar aku sampai depan aja. Pacarku nanti menjemputku."
Sebuah rasa sakit menusuk hati Deon. Bukan di jantung, di atas perut, tepat di tengah dada bagian ulu hati. Seperti disayat pisau puluhan kali sekaligus sehingga membuat Deon tidak bisa berpikir jernih. Kehangatan hati seketika berubah menjadi dingin, entah kenapa Deon bisa merasakan sakit ini padahal dia tidak memiliki perasaan atau harapan apapun pada Kilia.
"Deon?" Kilia melambaikan tangan di depan wajah Deon. "Ada apa?"
"Oh, tidak apa-apa," sahut Deon, tersadar dari renungannya. "Mana Nadia?"
Kilia menunjuk ke arah belakang. Nadia sedang merangkul tas dengan wajah berseri-seri menunggu mereka berdua. Dia tampak senang, tapi Deon merasa hampa. Astaga. Apa yang terjadi padanya?"
Dari menutup pintu perpustakaan, berjalan menelusuri koridor, dan menyeberangi lapangan basket menuju gerbang depan, Deon terdiam seribu bahasa. Perasaannya bergejolak dan pikirannya kacau balau. Dia tiba-tiba kehilangan mood, tapi dia berusaha berwajah tegar menemani Nadia yang bercengkaram mesar dengan Kilia. Sesekali Kilia menoleh tersenyum padanya, yang hanya dibalas senyum kecil oleh Deon. Kemungkinan besar itu hanya senyum palsu, pikir Deon.
"Makasih yah, Deon dan Nadia." Kilia membelai kepala Nadia sebelum melambai tangan pada Deon. "Aku pergi dulu."
Kilia berlari santai menghampiri sesosok laki-laki berbadan agak besar di pinggir trotoar. Laki-laki itu bersandar pada sebuah moge sambil melipat kedua tangan dengan kepala sedikit terangkat, menatap mereka dengan tatapan angkuh. Dua kancing atas baju SMA-nya sengaja dibuka lebar untuk memperlihatkan sedikit kekekarannya dan sebuah bandana pada dahi mempertegas kalau laki-laki tersebut adalah seorang preman sekolah.
"Apa benar dia pacar abang?" tanya Nadia, bernada rendah. Genggaman tangannya semakin erat. "Bang?"
Nadia menonggak ke samping. Wajah abangnya terlihat datar dengan tatapan kosong. Tidak salah lagi, ini tatapan laki-laki drakor yang ditinggal pasangan mereka atau setidaknya ditinggal pergi oleh harapan mereka sendiri. Dia pikir hanya di drama, tapi sekarang abangnya punya ekspresi seperti itu. Perasaan abangnya pasti sedang galau berat.
"Dia bukan pacarku, Nadia. Kami tidak pernah pacaran sama sekali," jawab Deon singkat. "Ayo kita pulang."
"Tapi…"
"Cukup, Nadia. Ayo kita pulang."
Hanya anggukan yang bisa Nadia lakukan. Abangnya pasti sedang merasa sakit hati. Rasanya pasti sakit sekali.