Chereads / Cinta Semi / Chapter 9 - Chapter 9: Kroket

Chapter 9 - Chapter 9: Kroket

"DEON!"

Deon tersentak dari lamunannya. Secara tak sengaja tangannya kelabakan melempar just kotak dari tangan kiri ke tangan kanan lalu kembali ke tangan kiri berulang kali sampai pada satu titik tangan kirinya menangkap erat kotak jus itu. Pas terlega menyelamatkan kotak jus rasa nenas kesukaannya, sedotan di pinggir mulut Deon yang malah jatuh. Terkulai di antara rerumputan. Hal ini menambah kekewaan pada Deon yang kelihatan hampa sedari tadi, seperti orang putus asa.

Deon menatap Edward di sampingnya. "Kenapa kau membentakku, Edward?"

"Kenapa?" Edward menghentikan tawanya dari melihat kelakukan Deon tadi. "Sebab kau tidak mendengarku bercerita."

"Aku mendengarkan loh." Deon mengerutkan dahi. "Kau kan bilang kalau anak buah gengmu sudah menemukan markas operasi geng lawan."

"Awal cerita, barusan?"

"Hm…."

Deon susah menemukan kata-kata yang tepat. Kurang lebih memang dia tidak mendengar cerita Edward karena kejadian dua minggu lalu masih mengganggunya. Pikirnya keadaan akan jauh lebih baik seiring berjalannya waktu, tapi otaknya masih sedikit kacau. Hampir sama saja.

"Hari ini kau aneh sekali." Edward menepuk pelan pundak Deon. "Biasanya selalu ke perpustakaan dan baru ke sini kalau kuajak. Hari ini malah kau yang mengajakku lalu melamun sendiri. Apa yang terjadi selama liburan sekolah?"

"Baik-baik saja."

"Kalau baik-baik saja, kenapa kau mengajakku kemari?"

"Itu…" Deon berusaha menciptakan alasan logis, "…aku ingin tahu, kenapa perempuan suka bad boy?"

"Bad boy?"

"Ya. Laki-laki yang sok keren, sok kuat, dan merasa hebat padahal tak untungnya bersama dia."

Secara refleks, Edward langsung menunjuk dirinya dengan alis terangkat tinggi. Matanya penuh tanda tanya.

"T-Tunggu, maksudku bukan kamu, Ward!" seru Deon, berusaha menghindari kesalahpahaman. "Aku ada nonton serial drama korea adikku. Rata-rata perempuan jatuh hati kepada laki-laki yang sifatnya kurang ajar, saat sadar, semuanya sudah terlambat."

Edward menjentikkan jari sambil tersenyum. "Alah, itu kan hanya drama yang dibuat-buat saja! Walau sebenarnya para perempuan memang suka laki-laki demikian. Bahkan…"

"Bahkan?"

"Sebenarnya aku juga bad boy."

Setelah melontarkan kata itu, Edward langsung tergelak keras-keras. Deon mengeryitkan dahi dan tidak menemukan apa yang lucu dari perkataan sahabat karibnya.

"Kalau begitu, kenapa para perempuan menyukai mereka?"

"Dalam dunia pacaran, sebenarnya ada istilah Playing Game."

Dahi Deon berkerut lagi. "Playing Game?"

"Istilahnya Pacaran Main-Main, jadi kita coba-coba pacaran sambil menikmati semuanya."

"Maksudmu pergaulan bebas? Bukannya perempuan yang rugi?"

"Ngak juga sih, karena sama-sama mau." Edward meremas jus kotak dan melemparnya ke balik semak-semak. "Zaman dulu sih pasti sudah malu banget, kalau zaman moderen gini sudah biasa. Ngak ada yang larang juga." 

"Orang tua? Guru?"

"Kau lihat diriku, bukan?" Edward merentangkan tangan mengingatkan Deon sekali lagi kalau dia itu bad boy. "Papa saja ngak sanggup melarangku, tapi aku tahu batas kok, ngak sampai yang keterlaluan gitu banget. Aku juga ngak mau kena penyakit."

"Dengan Stephanie?"

"My friend," Edward berkata lembut sambil merangkul Deon, "Aku sudah bersama belasan perempuan loh. Yang penting tahu batas saja."

"Hm… Jadi alasan para perempuan mau dengan bad boy karena itu?"

"Ngak juga," jawab Edward sambil melihat ponselnya. "Banyak cuma mau ikutan keren, balap, naik mobil, makan gratis, dan lain-lain. Seperti perempuan-perempuan dalam gengku, kau sudah tahu mereka bagaimana."

"Memang sih. Rata-rata keluarga mereka juga kurang beres."

"Sebenarnya kesepian atau bosan juga sih."

Kalimat terakhir diucapkan oleh Edward dengan nada pelan dan kecil. Kurang lebih Deon menangkap alasan itu lebih untuk diri Edward sendiri oleh sebab dirinya tinggal sendirian di rumah bersama para pembantu sedang ayah, abang-abang, maupun kakaknya jarang ada di rumah. Kalaupun ada, mereka sering tidak mengusbrik Edward, kecuali kakaknya. Makanya Edward sering bersama anggota geng kalau tidak bersamanya.

"Yuk."

Deon mendongak melihat Edward beranjak. "Ke mana?"

"Stephanie menyuruh kita ke kantin, katanya Jessica bawa bekal untuk kita."

Sekejab Deon teringat kalau Jessica pernah bilang mau membuatkan pizza atau kroket untuknya. Mungkin keduanya. Terlintas teringat Kilia bersama pacar bad boy yang terus menganggu pikirannya juga. Jika dipikir-pikir kenapa mesti tersiksa demi Kilia sedang ada Jessica yang hadir sekarang untuknya. Tunggu dulu. Aneh sekali dia harus memikirkan hal-hal terkait cinta ini sedang ada yang lebih penting dari itu, yaitu belajar menjadi dokter.

"Itu dia!" seru Deon senang.

"Hei, hei," panggil Edward, memandang Deon dengan mulut menganga. "Apa yang terjadi padamu, Deon? Kau hari ini aneh sekali."

"Uh, Oh." Deon sedikit kikuk. "Sebenarnya akhir-akhir ini ada yang menganggu pikiranku, tapi barusan aku menemukan solusinya."

Edward langsung tersenyum pukau. "Kau senang Jessica membuat bekal untukmu, bukan?"

"Hm… tentu saja." Deon mengangguk pelan agar Edward tidak lebih lanjut curiga mengenai kondisinya. "Aku senang Jessica baik sekali padaku."

"Bagus." Edward menepuk pundak Deon layaknya seorang ayah menepuk pundak anaknya dengan bangga. "Sebenarnya Jessica suka padamu, Deon. Kau laki-laki yang beruntung."

Perkataan Edward membuat Deon terpaku diam. Dia tidak tahu bagaimana harus bereaksi.

***

"Apakah sudah kau siapkan semuanya?"

"Tentu saja."

"Benarkah?" Stephanie mengernyitkan dahi. "Mari kita absen dulu barang-barang yang diperlukan."

"Kau tidak percaya padaku?"

"Tentu tidak, Jessica sayangku," kata Stephanie sambil membelai rambut Jessica. Amat lembut. Pasti pakai shampo mahal, khusus untuk hari ini. "Dirimu yang ceroboh membuatku ingin memastikan kau sudah mempersiapkan segalanya sesuai rencana. Cuma sekedar mengecek."

Jessica hanya memutar bola mata. "Baiklah, Stef."

Bagai seorang guru, Stephanie mulai mendikte barang-barang yang disebutkan oleh Jessica sebelumnya akan dia bawa hari ini. Dari piring, gelas, garpu, sendok, sambal, sambal tomat, bahkan sapu tangan.

"Kayaknya ada yang kurang."

"Benarkah?"

Jessica merasa semuanya sempurna. Empat piring sudah tertata rapi di setiap sisi meja persegi lengkap dengan sendok dan garpu, gelas juga sudah terisi jus jeruk yang dibelikan oleh mamanya, dan makanan tinggal dibuka pas mereka datang, jadi harusnya lengkap sudah.

"Apa saja yang kau bawa? Kroket?"

"Kroket dan pizza."

Sekali lagi Stephanie mengecek peralatan makan yang ditulis pada notes di dalam ponsel, "Aku tahu!"

"Apa itu?"

"Kau lupa bawa pisau. Bagaimana cara kita memotong pizzanya?!"

Jessica spontan panik. "Astaga! Padahal sudah terencana semu…."

"Ngampang, tinggal kita koyak saja, bukan?"

Jessica maupun Stephanie memutar badan ke kiri menghadap lorong ujung yang dipenuhi tanaman hias serta berbagai peralatan sekolah. Edward memberi hormat sambil dibuntuti oleh Deon yang mengangkat sebelah tangan menyapa mereka dengan seulas senyum. Melihat laki-laki idamannya, entah kenapa pipinya perlahan terasa panas sehingga cepat-cepat Jessica mengalihkan pandangan ke samping agar wajahnya tidak kelihatan oleh Deon.

"Kenapa kalian lewat jalan belakang?"

"Lebih cepat," jawab Edward singkat. "Nanti bel keburu berdering loh. Mana makanannya?"

Spontan Stefanie menunjuk sebuah kotak bekal di tengah meja. Kotak itu memiliki rupa kotak bekal bento ala Jepang, berwarna merah terang, memiliki tiga tingkat, dan diikat pakai sebuah kain berpola bunga sakura sehingga bisa ditenteng dari atas layaknya plastik. Kelihatan sederhana, namun Edward terpukau.

"Wah, ini barang mahal."

Deon mengintip dari samping. "Mahal?"

"Ya. Kami punya satu set yang sama di rumah dan harus dipesan jauh-jauh hari dengan harga fantastis. Kualitasnya juga lumayan."

"Yang benar?" tanya Jessica, tidak tahu menahu tentang kotak bekal yang disiapkan oleh sang mama pagi-pagi.

"Betul. Makanya sering kali kotak bekal ini diberikan sebagai hadiah."

Sesaat mereka terdiam melihat kotak bekal itu. Bagai sebuah pusaka yang sangat sayang untuk dipakai sementara para murid lain mulai melihat ke arah mereka dengan antusias. Apalagi ketika sang primadona serta pangeran, Jessica dan Deon, berkumpul bersama. Sontak mereka bertanya-tanya apa yang sudah terjadi meski tidak sedikit hati mereka miris seperti disayat-sayat oleh pisau dan berbatin kenapa dunia tidak adil.

"Apa mata kalian lihat-lihat?!" seru Edward, berwajah garang kepada sekeliling orang. Dia mendecak lidah. "Urus urusan kalian masing-masing!"

Satu kalimat Edward membuat murid-murid secepat kilat mengalihkan pandangan untuk berfokus pada aktivitas masing-masing. Ada yang kembali makan, melihat ponsel, maupun sekedar minum. Beberapa masih tetap memandang mereka.

"Hei, kita mau lihat kotaknya saja atau makan?" tanya Stephanie, tidak sabar. "Aku sudah lapar loh."

Jessica membuka ikatan kotak bekalnya. "Tentu saja makan."

Ketika kotak tingkat pertama dibuka, bau semerbak menghiasi sekeliling area kantin yang dibangun di ruang terbuka layaknya sebuah kafe terbuka. Edward terutama menghirup napas dalam-dalam. Aromanya sungguh harum, tapi pinginya sih Deon yang begitu karena Jessica melihatnya biasa saja. Kotak berisi pizza itu diletakkannya di samping, memunculkan kotak lain berisi makanan kesukaan laki-laki idaman Jessica, yaitu kroket. Kali ini mata Deon melebar melihat gumpalan-gumpalan gemuk berbahan kentang yang digoreng fantastis hingga berwarna orange terang. Tak lupa beberapa cabe utuh menemani kroket-kroket itu di sudut kotak. Sungguh menggoda. Sedang kotak terakhir hanya berisi nasi, bukan nasi biasa, nasi jepang berbulir kecil yang tidak lengket, mudah dikunyah, dan pastinya mengandung banyak mineral menurut tuturan Edward.

"Kau tahu banyak yah, Ward?"

"Tentu saja. Makanan-makanan ini bukan makanan biasa, kecuali kroket, yang sering dikonsumsi oleh berpunya," jelas Edward. "Aku sih tidak pilih-pilih makan, yang penting enak dan kenyang."

"Wah, aku harus berterima kasih pada mama untuk hari ini."

"Tentu saja. Mamamu sungguh membantumu mempersiapkan segala sesuatunya," lanjut Stephanie lalu tergelak. "Walau kau lupa bawa pisau."

"Hush!" Jessica cemberut. "Aku lupa loh."

"Aman. Tinggal kita potong saja pakai sendok."

"Kupikir katamu tinggal koyak, Ward."

"Tanganku jorok, Deon. Makanya pakai sendok saja, lihat."

Dengan cekatan Edward melipat pizza berbentuk persegi itu dan menekan keras-keras bagian ujung yang terlipat hingga tercipta koyakan-koyakan kecil. Setelah itu lipatannya dibuka kembali. Sekarang tinggal dipotong pelan agak keras sampai bagian terlipat itu koyak sepenuhnya. Tak lama, Edward sudah mengantar potongan-potongan pizza itu ke piring masing-masing bersama sedikit nasi serta sambal.

"Wah, enak sekali," puji Edward langsung, memasukkan potongan kecil pizza lain ke dalam mulut. "Rasa pizzanya ngak kalah sama yang dijual pasaran."

"Terima kasih, Ward."

"Kalau pizza Jessica, aku pasti tambah-tambah," lanjut Stephanie lalu melihat ke Deon. "Enak ngak, Deon?"

Deon berhenti mengunyah sebentar. "Ya. Pizza paprika ini memang enak sekali."

Mendengar pujian Deon, Jessica diam terpaku. Matanya memandang Deon yang tengah menyendok nasi bersama pizza sampai rasanya sensasi panas tadi kembali merayapi sekujur wajahnya. Astaga. Wajahnya pasti memerah lagi. Di sampingnya, Stephanie cekikian karena dia tahu bahwa wajah Jessica merona merah. Jessica melotot ke arahnya agar diam.

"Baiklah. Mari kita coba kroketnya."

"Mungkin rasanya agak gimana gitu karena percobaan pertama, jadi tolong dimaklumi, Edward," pinta Jessica.

"Aman."

Tangan Edward mengambang di antara kroket-kroket yang kelihatan lezat selama beberapa saat sampai kroket paling tengah disambarnya bagai burung elang menyambar kelinci. Kroket itu adalah mangsa pertama. Sebiji cabai disematkan pada bagian tengah badan, mirip sebuah lilin besar pada kue ulang tahun, sebelum kroket itu dilahap sekali masuk ke dalam mulut Edward.

Semua orang, terutama Jessica, menatap Edward penuh perhatian. Mereka ingin tahu bagaimana rasa makanan itu dari ekspresinya yang berseri-seri lalu secara drastis berubah menjadi muka datar. Kunyahannya berhenti dan matanya melirik sekeliling.

"Kenapa kalian melihatku seperti ini?"

"Apakah enak?" tanya Stephanie, sedikit khawatir.

"Bolehlah," jawab Edward biasa. "Untuk percobaan pertama, aku rasa sudah enak."

Meski jawabannya begitu, Jessica merasa sesuatu kurang beres. Harus diakui bahwa dia belum mengetes kroket buatannya sendiri karena membuat pizza bersama kroket itu bukan urusan sebentar. Pizzanya pasti sudah enak, tapi kroket itu sudah dicobanya beberapa kali dan baru berhasil mendekati jam tengah malam semalam. Jadi pagi-pagi hari ini mamanya yang membantu menggoreng serta mengepak kroket tersebut sembari dia bersiap-siap bersekolah.

Stephanie dan Deon menyusul Edward. Masing-masing mencoba satu kroket bersama sebiji cabe dan mengunyah perlahan-lahan. Wajah Stephanie mendatar dan Deon terdiam sesaat sedang Edward meneguk air minumnya banyak-banyak.

"Asin sekali," lontar Stephanie dengan kedua bahu diangkat dan mata disipitkan.

Hati Jessica mendadak terasa hampa. Dia juga mengambil sebuah kroket untuk dicicipi dan meringis sama seperti Stephanie. Sepertinya dia malah menaruh garam alih-alih gula karena tempat garam serta gula di rumahnya sama, belum lagi keduanya memiliki warna putih. Astaga. Ini bencana.

"Hei, jangan bilang begitu," Edward menegur Stephanie yang sedang minum. "Jessica sudah membuatnya susah payah, aku rasa masih tetap enak walau sedikit asin."

Jessica senang Edward berusaha menjaga perasaannya, tapi bukan sedikit asin lagi, malah terlalu asin sehingga dia sendiri pun tidak bisa makan kroket itu apalagi yang lain. Anehnya, Deon tidak berkomentar apa-apa. Dia mengambil kroket lain dan kali ini mencocolnya pakai sambal.

"Menuruku lumayan enak," puji Deon sambil senyum. "Cobalah pakai sambal tomat, rasa asinnya bakal hilang."

"Yang benar?"

Edward mengambil kroket lain lalu mencocolnya dengan sambal tomat tanpa menggunakan cabai. Kali ini ekspresi Edward berseri-seri.

"Oi, benar katamu, Deon!" seru Edward girang. "Asinnya banyak hilang dan rasanya juga enak."

Jessica merasa kebingungan akan peristiwa yang berubah arah tiba-tiba. Pikirnya masakannya sudah gagal sampai Deon menyelamatkannya bagai seorang pangeran menolong seorang putri sekarat. Tentu saja itu hanya sekedar imajinasi. Dia mengambil sebuah kroket, membelahnya menjadi dua bagian di mana satu bagian diberikan kepada Stephanie yang memiliki rasa penasaran yang sama seperti Jessica mengenai saran Deon, dan mencocolinya pakai sambal tomat.

Enak, batin Jessica, mengecap rasa asin yang dibaluri rasa manis tomat sehingga seimbang. 

"Rasa asin manis! Kesukaanku!" seru Stephanie agak heboh. "Betul katamu Deon. Sungguh enak."

Rasanya Jessica ingin sekali memeluk Deon atas sarannya yang luar biasa. Dia telah menyelamatkan reputasi serta masakannya yang kurang lebih sebenarnya hampir gagal. Dia akan membuat kroket yang lebih baik selanjutnya serta memperhatikan baik-baik agar garam dan gula tidak pernah tertukar lagi.

"Ah, aku kenyang," tutur Edward sambil mengelus perutnya. "Makasih untuk makanannya."

"Makasih yah, Jess." Stephanie tersenyum menyeringai. "Sebagai saran, coba lihat resepmu itu balik, mana tahu garamnya kebanyakan."

"Pasti." Tentu saja Jessica tak mau mengakui bahwa dia memasukkan garam alih-alih gula. "Akan kumarahi pembuat resepnya."

Stephanie hanya tergelak. Gelak yang tidak biasa karena sepertinya Stephanie tahu kesalahannya yang sesungguhnya, soalnya Stephanie sudah lama sekali berteman dengan Jessica. Dia tahu bahwa dia sering ceroboh.

"Kroketnya enak, Jessica," komentar Deon dari seberang. Jarinya mengacungkan jempol tanda bagus. "Kalau boleh kubilang, lebih enak dari beberapa kroket yang pernah kumakan."

"Terima kasih, Deon," kata Jessica, merasa senang sekali sampai ke awan-awan. Tapi dia tetap ingat agar tidak membuat kesalahan yang sama. "Nanti akan kubuatkan lagi kroket yang lebih enak dari ini."

"Pasti tak akan kulewatkan," jawab Deon penuh yakin. "Bolehkah buat lebih banyak? Soalnya aku ingin adikku mencoba kroketmu juga."

"Oh iya. Dia juga suka kroket yah."

"Ya, Ward. Kami selalu rebutan kalau sepiring kroket." Deon menggeleng kepala. "Makanya kami selalu pesan dua piring kroket, tapi akhir-akhir ini dia mulai mengurangi makan kroket padahal kelihatan sekali dia ingin makan."

"Kemungkinan dia mau diet," tebak Stephanie. "Jessica juga begitu. Dulu sebanyak apapun yakult, pasti habis, sekarang saja pura-pura makan sedikit agar ngak gemuk."

"Hush!" bentak Jessica agak pelan. "Kita sebagai perempuan memang harus jaga badan."

"Untuk?"

"Yah, ngak suka kelihatan gemuk saja," jelas Jessica. "Alasan lain pun biar kelihatan tetap menarik."

"Kayaknya karena adikku nonton acara televisi hiburan Korea yang akhir-akhir ini populer perihal olahraga," kata Deon, mencoba mengingat. "Namanya…"

"The Sporties Legend!" sontak Jessica dan Stephanie bersamaan. 

"Betul," Deon menyetujui dengan nada agak lemas. "Entah kenapa kalian perempuan suka nonton acara hiburan maupun serial Korea."

"Soalnya menarik."

"Dan lucu."

Jessica dan Stephanie menjawab sahut menyahut. Mereka berdua kemudian membahas sedikit tentang acara televisi hiburan itu dengan rasa antusias yang mirip adiknya. Kemungkinan Kilia juga ada menontonnya. Kilia lagi. Ingatan sebelumnya kembali terulang yang membuat Deon agak berwajah sedikit sedih.

"Ada apa, Deon?"

"Oh, ngak ada apa-apa, Ward," Deon spontan menjawab. "Aku hanya tidak mengerti kenapa para perempuan suka hal berbaru Korea. Kita laki-laki sungguh berbeda dari mereka."

"Memang benar. Kita lebih suka olahraga langsung daripada nonton."

"Aku setuju."

Bel tanda masuk pelajaran berbunyi. Mereka bergotong royong membereskan segala peralatan makan serta mengucapkan terima kasih pada Jessica atas makanannya. Jessica sendiri senang bisa berbagi dan ingin berbuat lebih lagi, terutama untuk Deon. Dia senang Deon seperti laki-laki yang diidamkannya. Seorang yang gentleman, baik, dan pengertian. Sungguh seorang pangeran.