Note: Nama karakter utama diganti dari 'Dima' jadi 'Deon' karena sebab tertentu
Terdengar suara klakson berulang kali. Deon buru-buru membuka pintu dan menuruni tangga begitu cekatan sampai sang adik nongol dari balik ujung tangga. Langsung saja Deon merentangkan tangan memegang dinding sebagai satu-satunya jalan melakukan rem mendadak. Wajahnya cemberut.
"Siapa sih itu, Bang?"
"Itu Edward." Deon kembali menapaki anak-anak tangga. "Aku pun ngak nyangka dia pakai mobil."
"Tolong suruh dia telpon aja, Bang. Aku jadinya bangun pagi banget."
Segera Deon mengangkat tangan kiri melihat benda yang dikaitkan ke pergelangan tangannya. Kedua jarum arloji menunjuk jam setengah sebelas. Mengingatkan Deon kalau Edward memang terlambat menjemputnya tiga puluh menit dari janji awal sehingga dia balik ke loteng untuk membaca sebentar. Tidak lupa juga menyadarkan Deon kalau jam sekarang sudah termasuk siang, bukan pagi lagi.
Deon mencubit bibir Nadia yang masih bermata merem. "Kau tidur jam berapa nonton drakor semalam?"
"Ampe jam 3 pagi loh."
"Tapi kenapa aku dengar teriakan tokoh perempuanmu jam 4 pagi, Nadia?"
Nadia menjawab bernada panjang bercampur malas. "Maaf, Bang. Soalnya sudah seru banget."
Suara klason lain terdengar. Kali ini lebih panjang sembari mengiringi lanjutan nada malas Nadia. Entah kenapa kedua orang tuanya santai saja. Bunda tengah menuangi kopi untuk Ayah yang sedang membuka kertas koran lebar-lebar menggunakan kedua tangan.
"Bunda, Ayah, aku pergi dulu."
Bunda tersenyum sayu "Hati-hati yah, Nak."
"Hmph," dengus Ayah, melirik dari balik korannya. "Ingat, jangan pulang terlalu malam."
"Ok."
Pas membuka pintu, Deon tak habis pikir apa yang menungguinya sedari tadi. Sebuah mobil empat pintu bermoncong hampir runcing sedang berderu-deru mulus di depan rumahnya. Kilat hitam mobil diselingi cat putih tipis-tipis memberi kesan mewah, belum lagi lekuk mobil aduhai yang hanya sering orang dapati pada mobil-mobil balap, tidak salah lagi, itu mobil sport. Walau bukan pertama sekali, Deon selalu terkagum akan mobil tersebut.
Seulas senyum mengukir wajah Deon. Jika Edward memakai salah satu mobil kesayangan ayahnya ini, tentu dia punya tujuan tertentu. Ujung-ujungnya ajang pamer, balapan, atau keduanya. Jendela kiri perlahan terjulur turun ketika Deon menghampiri mobil.
"Hei, anak tampang!"
"Pagi, Edward," sapa Deon ringan. "Kupikir kita naik sepeda motor."
"Aku berubah pikiran. Hujan juga bakal turun kok nanti."
Otomatis Deon menengadahkan kepala ke atas. Langit amat biru dan matahari bersinar sentosa, walau terlihat sejumlah besar awan menggantung di sana sini, tapi semuanya putih.
"Sudahlah, santai aja. Ayo naik."
Deon mengangkat bahu dan membuka pintu. Tiba-tiba seorang perempuan muncul sembari tangan kanannya merangkul peluk Edward dari belakang. Gadis kurus agak sipit itu menyunggingkan senyum lebar.
"Hai, Deon."
"Stephanie?" Alis mata Deon terangkat tinggi lalu menatap Edward. "Kau bilang kita berdua saja?"
"Itu…" Edward menggaruk dagu. "…kurasa sesekali kita perlu ajak yang lain. Biar saling kenal saja."
Guratan-guratan menghiasi dahi Deon. Pasti sahabat baiknya merencanakan sesuatu sehingga mengajak Stephanie dan mungkin yang lain. Dia kurang mengerti apa rencana Edward, tapi menghadapi spontanitas seperti ini Deon hanya bisa gelenge-geleng kepala.
"Tidak masalah sih." Deon masuk melelaui pintu kiri depan sebelum mengencangkan sabuk pengaman. "Apa boleh memakai mobil ini?"
"Aman. Aku sudah minta izin ayah."
"Melalui Pak Gito?"
"Tentu." Edward mengklason dua kali sebagai tanda pamit pada keluarga Deon dan melajukan mobil perlahan-lahan. "Selama bukan mobil favoritnya, dia bakal mengizinkan."
"Setahuku ini favoritnya."
"Mobil merek Cedes ini kalah pamor dari mobil merek Gatti yang lebih keren, cepat, dan terutama terkenal."
"Yang mana?"
"Sangkin takut dilihat orang, ayahku menyimpannya di garasi bawah tanah. Nantilah, akan kuperlihatkan pas kau datang ke rumah."
Deon tertawa kecil. "Kupikir aku sudah tahu seisi rumahmu."
"Hahaha, tentu saja tidak. Stephanie saja baru tahu tentang mobil ini, makanya aku menyuruhnya berdandan cantik."
"Kalau saja aku tahu kau naik mobil ini, pasti aku ke salon dulu," timpal Stephanie sambil mengibak rambutnya dan menyemarakkan sedikit bau lavender ke dalam mobil. "Pasti Jessica berpikiran hal yang sama."
"Jessica?"
"Ya. Kita akan ke rumahnya sekarang, Deon."
***
"Ada keperluan apa, Bang?" tanya satpam setelah memberi hormat.
"Kami mau menjemput teman kami. Namanya Jessica."
"Maksud abang Jessica Bertany?"
"Ya," Edward menyanggupi. "Apa dia sudah memberitahu kedatangan kami?"
"Betul. Silahkan masuk."
Palang pintu dibuka tinggi-tinggi melebihi tinggi mobil sport Edward. Mereka masuk komplek sambil dilirik beberapa orang yang sedang jalan santai, lebih ke dalam menelusuri komplek, orang-orang terutama kumpulan lelaki setengah paruh baya di taman-taman sekitaran komplek terpana menatap mobil Edward. Bahkan ada yang bersiul.
"Orang-orang kampungan!" komplain Edward, agak gusar. "Apa mereka belum pernah melihat mobil sport? Bodohnya sungguh terlalu."
Secara insting Deon melirik ke samping ke arah Edward. Tatapannya menangkap mata Stephanie yang juga balik meliriknya, dia yakin Stephanie berpikir hal yang sama dengan dirinya. Mobil Edward bukan sembarang mobil. Hanya orang paling kaya yang mampu memilikinya dan amat jarang ditemui.
"Ah, itu rumahnya!" seru Stephanie lantang, menunjuk ke depan. "Rumah paling tinggi dengan atap segitiga."
"Kenapa dibuat mirip menara jam?"
"Entahlah, Edward. Kata Jessica itu ruang belajar ayahnya." Stephanie mendesah. "Mendengar kata belajar saja sudah membuatku sakit kepala."
"Hahaha! Samalah!"
Deon terdiam. Memang Edward serta pacarnya ini terkenal liar alias keluyuran dan jarang belajar. Untung Jessica masih lumayan. Jessica termasuk gadis cerdas berperingkat tiga rangking teratas, jadi wajar kelakuan serta kecerdasan sang ayah menurun padanya.
Berselang Edward menepikan mobil di depan pintu berpagar kayu setinggi kurang lebih empat meter. Mereka hampir tidak bisa mengintip rumah petak mewah di baliknya dengan desain minimalis bercampur futuristik yang sungguh berbeda dari rumah-rumah lain. Rumah orang kaya. Itu yang terbesit di pikiran Deon.
"Jemput dia, Deon!" suruh Edward.
Stephanie ikut menimpali. "Betul. Jessica sudah menunggumu."
"Aku?" Deon menunjuk dirinya. "Sebentar, kita datang bertiga. Kenapa harus aku sendiri?"
"Seseorang harus menjaga mobil." Edward menepuk setir mobil, tangannya menunjuk Stephanie. "Sementara Stephanie harus di sini agar aku tidak kesepian."
Stephanie angguk-angguk kepala saja dan Deon hanya bisa menghela napas.
"Baiklah."
Setelah menekan pintu bel, Deon berdiri canggung memperhatikan sekeliling. Komplek perumahan Jessica terlihat agak elit. Mengingatkan sedikit akan komplek perumahan Edward, tapi kastanya lebih rendah di mana jalannya masih menggunakan batu paving block hexagonal, sedikit lampu jalan menghiasi trotoar, dan banyak rumah gempet satu sama lain. Hitungan jari rumah mewah di sudut komplek memiliki halaman tersendiri, contohnya rumah Jessica.
"Aku pergi dulu, Ma."
Menyusul suara lembut Jessica adalah suara kasar gesekan antara besi dan batu. Pintu rumah Jessica bergeser ke samping, memperlihatkan seorang gadis berambut ikal dalam balutan gaun merah jambu yang pas sekali memeluk lekuk tubuh rampingnya. Bagian dada atas sampai ke leher ditutupi kain hitam tembus pandang sehingga memberi kesan baju pesta walau desainnya sederhana. Berbeda drastis dari Stephanie yang berpakaian blouse merah dengan belahan dada ditutupi renda warna cokelat. Sungguh penampilan Jessica berubah total dengan berganti baju saja.
"Halo, Deon," sapa Jessica, tersenyum manis.
"Oh, halo, Jess," sapa Deon kikuk. Dia menunduk saat melihat seorang perempuan bayu parah di belakang Jessica. Persis mirip Jessica dengan wajah agak kerutan. "Selamat pagi, Bu."
"Pagi. Apa kau yang bernama Deon?"
"Iya, Bu."
Senyum Ibu tersebut merekah. "Tolong jaga anakku yah. Dia senang sekali mau keluar hari ini."
"Ibu," Jessica menatap ibunya dan sedikit cemberut. "Aku biasa saja."
"Yup, memang biasa saja." Ibu Jessica melambaikan tangan. "Selamat bersenang-senang."
"Dah."
Jessica membalas balik lambaian mamanya. Tanpa basa-basi, dia segera merangkul tangan Deon menuju mobil Edward kala ditatapi oleh Edward dan Stephanie dari balik jendela terbuka.
"Wow, tanda bagus tuh!" komentar Edward, bersiul kemudian. "Gimana, Step?"
"Ada kemajuan, betul kan, Jess?"
"Tolong jangan bilang sembarangan, Step," balas Jessica. "Ini biasa saja."
Deon sendiri merasa tidak wajar. Selain adiknya, tak ada yang pernah merangkulnya selain adik perempuannya. Bahkan Kilia juga tidak. Dia diam saja. Kalau tidak penting atau bisa ditoleransi, dia lebih sering memilih mendengar.
"Ok. Mau ke mana, nih?" tanya Jessica, duduk di belakang Deon.
"Makan dulu kita di Cemara lalu karaoke!"
"Let's go!" seru Stephanie.
Satu hal terlintas dalam pikiran Deon. Edward telah menjebaknya karena janji hari Minggu cuma jalan-jalan berdua mengunjungi mall dan toko buku. Dia terlanjur membuat daftar buku incarannya, semuanya tinggal lalu. Yah sudahlah, dia bakal pergi sendiri lain waktu serta menikmati momen sekarang saja.
***
"Gimana?" Edward terkekeh. "Enak, bukan?"
"Enak sekali," puji Stephanie spontan. "Aku ngak sangka mereka punya menu ini."
Stephanie menunjuk sepiring udang galah raksasa. Disajikan dalam adonan merah pekat cabai-cabaian bersama aneka rempah rempah harum. Sebuah masakan spesial. Menu-menu lain juga tersedia di atas meja dari kangkung belacan, steak sapi ala Texas, sayur asem, dan lain-lain.
"Dagingnya empuk, segar, dan terasa pedas banget," lanjut Stephanie lalu menatap Edward. Kelopak matanya berkedip beberapa kali. "Makasih loh, Sayang."
"Apapun untukmu, Babe."
Edward mengulurkan tangan merangkul Stephanie yang dibalas Stephanie dengan bersandar manja pada bahunya. Kemesraan mereka ditunjukkan langsung di hapadan Deon dan Jessica seakan-akan mereka tak ada. Baik Deon maupun Jessica cuma terdiam. Mereka merasa amat canggung.
"Bagaimana kroketnya, Deon? Mantap kan?"
Deon mengacungkan jempol. "Dua pertanyaan, kenapa rata-rata menu kita tidak tertera dalam daftar menu?"
Pertanyaan super simpel tersebut membuat Edward tertegun. Tak menduga bahwa bakal ditanya pertanyaan itu oleh siapapun, apalagi oleh Deon sendiri. Sungguh sebuah kejutan.
"Memang kau orangnya jeli sekali." Edward menepuk tangan berulang kali. "Betul, banyak makanan ini aku pesan secara khusus. Termasuk udang galah special itu."
Deon mengangkat sebuah kroket berwarna orange emas. "Juga kroket ini, rasanya fantastis."
"Apa kau pernah makan di restoran Rumah Kandi ini yah?"
"Ayahku membawa kami ke sini tiga bulan lalu. Seingatku kroketnya tidak seenak ini."
"Pantaslah! Kroket yang kau makan kan kroket biasa, yang ini kusuruh kokinya pakai bumbu dan bahan khusus," lontar Edward. "Menjamu teman spesial juga harus dengan makanan spesial. Betul, ngak?"
"Terima kasih, Edward."
"Sama-samalah."
Sementara mereka bercakap-cakap, Stephanie dan Jessica kembali membolak-balik halaman buku menu. Apa yang dikatakan Deon benar adanya. Selain dari menu yang mereka pesan, ada tambahan menu yang dipesan oleh Edward sendiri yang mereka pikir ada dalam menu, tapi tak ada. Bahkan juga minuman tambahan yaitu minuman sarang walet. Rasanya berliur, manis-manis jambu, dan hampir dipenuhi bulir-bulir warna abu-abu terang. Seingat Jessica, minuman tersebut harganya jutaan.
"Pertanyaan satunya apa?" tanya Stephanie, ingin tahu.
"Oh, kenapa Edward memesan ruang khusus untuk kita."
Mata mereka tertuju pada Edward. Sebelah alisnya terangkat tinggi dengan mata lebar dan bibir tersungging.
"Di ruang kaca tertutup begini, kita lebih bebas mengobrol tanpa gangguan dari tamu lain," jelas Edward. "Sang pemilik juga bersikeras menyodorkan ruangan ini walau sudah kutolak mentah-mentah."
"Dia memaksamu?"
"Ya. Karena restoran ini punya teman ayahku," Edward menjawab pertanyaan Jessica. "Biasalah. Relasi bisnis."
Penjelasaan singkat Edward entah kenapa membuat suasana menjadi agak tegang. Deon masih mengerti sebab Edward sudah beberapa kali menjelaskan hal ini padanya, tentu tidak bagi Stephanie maupun Jessica. Ranah yang diperbincangkan Edward sudah terlalu jauh untuk anak SMA yang tahunya hanya main-main, sok cantik-cakep, berfokus pada akademik, main game, dan lain-lain. Dunia Edward, bahkan untuk diri Deon sendiripun, sudah terlampau tinggi lingkupnya.
"Lah, kok jadi diam gini," lontar Edward, mengamati sekeliling. "Ayo cepat dimakan, nanti ngak panas lagi makanannya. Habis ini, kita ke seberang karaoke."
"Boleh pesan kroketnya lagi, Ward?" tanya Deon, berusaha mengalihkan pembicaraan. "Yang lain belum coba karena terlanjur kumakan."
"Apa yang tidak untukmu."
Edward memencet sebuah tombol biru pada sebuah sisi kotak tisu. Tak lama, seorang pelayan laki-laki masuk ke dalam ruangan dan Edward memesan dua piring kroket lagi. Sebelum Deon sempat menegur, Edward kembali berbicara pada pelayan tersebut melalui bisikan ke telinga dan beranjak dari kursi.
"Sebentar yah, Kawan. Aku ada perlu sebentar."
"Ok."
Jessica menyikut Deon dari samping. "Kau suka kroket yah?"
"Yup. Makanan yang paling kusukai," Deon menjawab polos. "Kalau kau?"
"Dia suka minum susu, Deon!" lontar Stephanie cekikian. "Apalagi yakult, sebanyak apapun pasti habis."
"Hush!" cela Jessica dongkol. "Ya, aku suka produk susu, terutama yakult. Juga cokelat dan Spaghetti."
"Owh, pantes kau pesan Spageti Aglio Olio, kalau pasta?"
"Suka juga." Jessica mengangguk-angguk kepala berulang kali. "Makanya aku belajar memasak masakan Eropa, terutama Italia. Kau suka masakan Eropa?"
"Sejauh ini cuma sering makan pizza."
"Pizza yah. Rasa apa?"
"Biasa paprika ayam atau sapi, tapi sebenarnya rasa apapun boleh."
Mendengar jawaban Deon, Jessica duduk termanggu melihat ke arah Deon. Seperti sedang memikirkan sesuatu. Mau saja dia membuat pizza untuk laki-laki idamannya, tetapi Deon lebih suka kroket. Dan dia jarang makan kroket apalagi membuatnya.
"Ada apa, Jessica?"
"Tidak. Tidak ada apa-apa," jawab Jessica sambil tersenyum. "Apa yang membuatmu suka kroket?"
"Tekturnya kasar di luar, lembut di dalam. Pas mengunyah, kegurihan kulit bercampur isi yang empuk menciptakan sebuah sensasi yang sulit kuungkapkan ibarat saat kita makan nasi berlauk kulit ayam goreng. Kurang lebih seperti itu."
"Detail sekali," lontar Stephanie, tidak terkejut karena Deon memang begitu. "Percayalah, kroket buatan Jessica juga enak."
"Eh.." Mata Jessica terbelalak memandang Stephanie yang hanya mengedip ke arahnya. "…t-tapi…"
"Dia jago masak, jadi kita tunggu saja kroketnya segera. Betul kan, Jess?"
Senyum lebar dibarengi tatapan tajam Stephanie membuat Jessica kalang kabut. Teman baiknya itu mencoba mendekatkan dirinya dengan Deon walau sebenarnya dia tahu kalau dia tidak pernah buat kroket. Astaga. Jebakan apalagi yang dibuat oleh Stephanie.
"Aku jadi ingin mencobanya."
Satu kalimat Deon menghentikan geliat geliut Jessica. Dia menatap Deon dengan sedikit lemas karena dia bakal tak bisa lari lagi.
"Baiklah. Akan kucoba," jawab Jessica, agak kurang percaya diri. "Tapi kubuat dulu pizza untukmu, bagaimana?"
"Boleh."
"Tolong buat juga untukku yah, Jess?"
Jessica menunjukkan kepalan tangan kanan pada Stephanie dengan bibir cemberut. Stephanie hanya membalas tawa. Sahabatnya itu memang kurang ajar walau niatnya sebenarnya baik. Tak lama, Edward sudah kembali sambil bersiul senang.
"Ke mana, Ward?"
"Bertemu pemilik restoran. Dia baik sekali mentraktir dan memesankan sebuah ruang karaoke untuk kita."
"Wow!" seru Stephanie histeris. "Yang benar?"
"Yup. Makanya puas-puaskanlah hari ini!"
Pembicaraan selanjutnya berkisar hal-hal receh. Berkisar tentang sekolah, pertemanan, sedikit cinta, dan berita Edward tentang semakin besarnya rival gang sehingga mereka harus mulai lebih berhati-hati.
Dalam perjalanan ke karaoke di seberang jalan dari tempat mereka makan, Deon sadar banyak mata memperhatikan mereka. Semenjak keluar dari ruang kaca, turun tangga, keluar restauran, menyeberang jalan ke tempat karaoke, dan berbicara kepada resepsionis karaoke, para lelaki maupun perempuan segala usia terus meliriki mereka.
"Kau sadar bukan, Deon?" sahut Edward, merangkul Deon saat mereka diantar oleh petugas ke ruang karaoke. "Kalau banyak orang memperhatikan kita."
"Aku rasa wajar saja sih."
"Bukannya lebih banyak dari biasanya?"
"Ya, ada benar. Padahal kita tidak buat salah."
Telunjuk Edward menunjuk Deon, dirinya, dan Jessica serta Stephanie yang membuntuti mereka. Dia menjentikkan jari yang berarti sesuatu.
"Kita tampan dan mereka cantik. Itulah alasannya. Kita amat serasi."
"Sebentar…" Deon merenung, "…jadi ini alasanmu mengajak mereka. Kau mau menjodohkanku dengan…"
Edward menepuk pundak Deon. "Tentu saja! Apalagi kalau bukan itu!"
Sekarang Deon mengerti kenapa ada sedikit sandiwara dalam kebersamaan mereka, yaitu Edward yang mengajak Stephanie dan Jessica, gelagat Stephanie yang terus menyodorkan Jessica ke arahnya, maupun bahasa cinta yang Edward tunjukkan kepada Stephanie di hapadannya dan Jessica. Semua itu seakan-akan memberi isyarat agar dia dan Jessica bisa dekat. Apa yang mau dikata, pikir Deon, memang dari dulu Edward selalu mendoronnya untuk pacaran atau setidaknya mencoba. Deon kurang paham kenapa Edward melakukan itu.
"Huh." Deon menghela napas. "Meski begitu, aku belum merasakan apa-apa pada Jessica, apa itu wajar?"
"Nanti lama-lama baru akan terasa," jelas Edward sambil meremas pundak Deon. "Kau hanya perlu membuka hati loh."
"Caranya?"
"Perhatian dan peduli padanya. Itu saja."
Entah kenapa langsung terlintas pribadi lain di pikiran Deon. Kilia. Aneh sekali. Dibuang pikiran itu jauh-jauh agar dia bisa fokus pada Edward serta yang dihadapinya, karena Edward tidak akan berhenti sampai Deon mencoba. Sungguh menyusahkan.
"Biar kucoba."
Petugas karaoke tiba-tiba menghentikan langkah kaki di ujung koridor. Dia menghadap sebuah pintu berpapan nama 'New York' sebagai kode ruangan dan membukanya perlahan. Semerbak wewangian merembes keluar. Seperti campuran wangi lavender dan jasmine menurut tuturan Stephanie.
Ketika lampu dinyalakan, mereka tersadar kalau ruang karaoke ini sungguh eksklusif dari segi desain interior. Tiga sofa berjejer pada kiri-kanan-belakang dinding dihadapan sebuah televisi besar di ujung ruangan menyambut mereka dalam pancaran gemerlap lampu hijau. Mirip tempat diskotik, hanya lebih terang. Tidak lupa desain pola-pola bergaris ala futuristik menghiasi seluruh ruangan menciptakan kesan minimalis dan elegan. Mereka bak di ruang karaoke bos-bos besar.
"Wah! Ruangan ini keren banget!" Stephanie sekali lagi menjerit histeris.
"Benar-benar di luar dugaanku," puji Edward, terkagum. "Harus kurekomendasikan pemilik restoran itu pada ayah."
"Apakah abang-abang dan kakak-kakak sekalian butuh tutorial cara memakai peralatan karaoke?"
"Mirip yang lain kan?"
"Ya."
"Kalau begitu tak usah," tolak Edward. "Aku sudah sering karaoke di sini. Tolong beri kami menu saja."
"Baik, tapi sebelum abang memesan menu, tadi pemilik restoran yang abang bilang sudah memesan menu special."
"Yang benar?"
"Ya. Nanti kuantar menu-menu itu beserta katalog menu."
"Baiklah. Terima kasih."
"Sama-sama, Bang."
Pas petugas karaoke meninggalkan ruangan, mereka seketika meliar. Edward langsung menghampiri komputer layar sentuh karaoke bersama Stephanie. Mereka berdebat dan bergantian memasukkan lagu, baik untuk diri mereka sendiri, universal, maupun untuk teman-teman mereka. Deon mengatur pencahayaan ruangan agar sedikit lebih remang dengan menekan berbagai tombol lampu di samping pintu. Beberapa kombinasi dilakukan sampai rasanya ruangan terasa seperti bioskop namun masih cukup terang. Sementara Jessica duduk tenang di sofa tengah memperhatikan mereka semua. Di sanalah Deon merasa Jessica kelihatan kesepian.
"Kau tidak taruh lagumu?" tanya Deon, duduk di samping Jessica.
"Nanti saja. Biarkan mereka nyanyi dulu sepuasnya," tutur Jessica agak kuat sembari Edward dan Stephanie mulai menyanyikan lagu mereka. "Kau gimana?"
"Biasanya setelah Edward nyanyi beberapa lagu dulu, baru aku taruh laguku."
Selama beberapa saat, mereka sama-sama diam. Jessica tidak tahu mau membicarakan apa, begitu juga Deon. Lagu dan nyanyian Edward maupun Stephanie yang terus mengiringi kesunyian mereka, juga sesekali bau harum yang Deon cium sedari tadi di dekat Jessica. Seperti wangi bunga bercampur sedikit sensasi menyenangkan dan merangsang ketenangan dalam diri Deon. Deon bertanya-tanya wangi apa itu.
Ketukan pintu terdengar. Deon membuka pintu dan menemukan beberapa petugas membawa beragam makanan ringan serta minuman. Paling mencolok adalah Menara Soda, berupa sebuah wadah tinggi mirip tong berisi minuman soda yang perlu dituang melalui keran. Yang paling Deon senang, ada sepiring kroket lagi. Kali ini Jessica mengambil satu dan mencicipinya.
"Enak juga yah," ungkap Jessica setelah habis mengunyah. "Kupikir semua gorengan itu sama."
"Pernah makan gorengan apa saja?"
"Cuma bakwan, tapi trauma jadi ngak pernah makan gorengan sejak itu."
Deon penasaran. "Ceritanya bagaimana?"
"Sehabis pulang kerja ayahku membeli satu plastik bakwan untuk kami sekeluarga dan pembantu. Selain kebanyakan makan, sisa gorengan besoknya juga agak gimana gitu."
"Lembek?"
"Betul." Jessica mengangguk. "Kami goreng dan makan lagi. Keesokan harinya, aku demam parah. Sejak itu aku ngak berani makan gorengan."
Mata Deon melebar. "Tungguh, tadi kau barusan makan gorengan?"
"Tapi kan bukan bakwan?" balas Jessica dengan wajah nakal. "Aku juga ingin tes kroket tempat karaoke ini. Memang beda tempat, beda rasa."
"Karena orang yang buat berbeda."
"Moga yang kubuat nanti enak," gumam Jessica, agak kurang yakin.
Deon kurang bisa mendengarkan sangkin ributnya ruangan karaoke. "Apa katamu?"
"Tidak. Tidak apa-apa."
Stephanie tiba-tiba menyodorkan sebuah mikrofon kepada Jessica. Dia mengajaknya menyanyikan lagu yang sering sekali mereka dengar, jadi Jessica pun tidak menolak. Bergantian mereka bernyanyi, makan, dan bercakap riang. Dua jam berlalu. Dari lagu semangat ria, kini berubah menjadi lagu lembut yang bisa mereka nyanyikan pelan-pelan serta berganti-gantian. Tinggal satu jam lagi. Sekarang mereka lebih banyak bercakap ria sambil makan. Jessica sedang ke kamar mandi jadi Edward segera menyerang Deon.
"Hei, awal-awal tadi kalian bercakap mesra sekali. Gimana perkembangannya?"
"Cuma membicarakan tentang kroket," jawab Deon sambil lalu. "Sebatas itu."
"Yang benar?"
"Betul, Stephanie. Kami tidak membicarakan hal yang aneh kok."
"Rasanya kok kurang seru yah," komentar Stephanie. "Kalau aku sama Edward, sudah entah ke mana-mana sih."
"Ke mana-mana?"
"Merangkul, memeluk, bahkan sampai ciuman gitu. Kalian kaku sekali, terutama Jessica."
"Tunggu, kalian jangan-jangan…"
"Tidak, tidak, Deon." Edward menunjuk Deon tanpa ragu. "Kami masih ada batas. Kau kan tahu aku ini laki-laki berprinsip."
Meski ingin percaya, Deon akhir-akhir ini mulai meragukan kejujuran sahabat karibnya. Dia sudah berbohong dan telah menjebaknya, walau cuma hal sepele dan berakhir baik. Mungkin Deon akan percaya sedikit saja.
"Entahlah. Malah aku pikir kalian yang kelewat batas."
"Sebenarnya pacaran itu ada banyak tahap. Kau yang belum tahu saja soalnya belum pernah pacaran maupun mengejar perempuan yang kau sukai."
"Aku mau fokus menjadi dokter dulu."
Tangan Edward melambai-lambai. "Betul, tapi setidaknya kau perlu menikmati masa mudamu sedikit."
"Karena itu aku jarang menolak ajakanmu kalau tidak sedang ujian atau ada banyak tugas."
Deon tahu lebih baik tidak berdebat dengan Edward mengenai impian yang sering kali tidak selaras dengan pemikiran Edward. Apalagi di hadapan orang lain. Setidaknya sekarang-sekarang ini dia mampu mengimbangi antara belajar dan menikmati masa muda bergaul bersama teman-temannya.
Mereka kembali berkaraoke. Janggal saja, Deon merasa Jessica sudah terlampau lama ke kamar mandi. Kurang lebih hampir tiga puluh menit. Mungkin saja lagi buang hajat, tapi entah kenapa batin mengatakan ada hal tidak beres dan pula bagian bawahnya sesak. Diam-diam dia keluar ke kamar mandi.
Sepanjang koridor terlihat remang. Lampu-lampu kecil berjarak satu sama lain sepanjang koridor meremangi keramik-keramik yang dinodai banyak gesekan. Tempat karaoke ini antara sudah lama berdiri atau memang banyak pelanggan, Deon tidak tahu. Suasana amat teduh dan tenang. Sesekali terdengar suara orang berkaraoke saat Deon melintasi pintu-pintu berpapan nama. Rupanya tempat karaoke ini begitu ramai. Memutar ke lorong kiri, setelah melihat papan toilet menunjuk ke kiri, Deon sampai ke kamar mandi pria dan melakukan urusannya. Ketika dia keluar, dia mendapati ada jalan lurus ke depan. Dia teringat pas ke lorong kiri menuju toilet, ada juga jalan ke lorong kanan, mungkin jalan lurus ini menuju ke lorong kanan yang akan membawanya kembali ke ruangan karaoke. Tidak ada ruginya menjelajah sebentar.
"Oh, sebuah bar," gumam Deon kala menuruti tiga anak tangga ke sebuah area berkeramik putih. "Eh?"
Jika menempel ke dinding kiri adalah meja bar dengan segala perabotnya, area sebelah kanan terdiri dari tiga buah meja dengan sebuah kursi berbantal hitam memanjang dari ujung sana ke ujung sini. Yang membuat Deon terkejut akan apa yang dilihatnya adalah tiga orang lelaki sedang mengelilingi seorang perempuan. Perempuan itu Jessica. Wajahnya terlihat pucat dan mata melirik ke kiri kanan seakan ingin meminta tolong, tapi entah kenapa bar itu kosong, tinggal mereka saja.
Mata Jessica menangkap keberadaan Deon. "Deon!"
Laki-laki sekeliling Jessica menoleh. Tatapan mereka penuh keingintahuan sampai penampilan Deon yang berbadan tegap serta agak berotot dalam balutan kemeja biru muda membuat mereka tertegun. Mereka saling tatap-tatapan. Sekilas terlintas dalam pikiran Deon bahwa adegan ini pernah dilihatnya dalam drakor sang adik.
"Jessica, rupanya kau di sini," lontar Deon, pura-pura khawatir. "Aku sudah mencarimu ke mana-mana."
"Mereka tadi…"
"Tunggu dulu." Laki-laki di tengah maju ke depan. Perawakannya lebih pendek dari dua temannya di mana satu ceking dan satunya lagi gemuk, tapi dia paling tampan dengan rambut mohawk pirang. "Kami duluan merayu cewek ini. Kau siapanya dia?"
"Aku pacarnya," jawab Deon tegas.
Lelaki-lelaki itu sekali lagi terkesiap, bahkan Deon ikut terkesiap kenapa bisa melontarkan kata-kata itu. Astaganaga. Dia teringat secara spontan meniru adegan di drakor. Karena tidak ada balasan, Deon menghampiri hendak mengajak Jessica keluar dari pelik masalah ketika laki-laki tadi mendadak mendorong dada Deon menggunakan telapak tangga hingga Deon tersentak dan mundur beberapa langkah. Tangan kanannya mengelus dada.
"Tak ada bukti kau pacarnya!" bentak laki-laki itu tak senang. "Suka-suka hati saja kamu klaim yang bukan punyamu."
Jessica berteriak histeris. "Aku memang pacarnya!"
"Tak apa-apa, Jessica," kata Deon, berusaha menenangkan lalu menegakkan badan. "Kau dengar sendiri, bukan? Masih tidak percaya?"
"Tidak sama sekali."
"Mau bukti seperti apa yang kau mau baru kau percaya?"
Wajah laki-laki itu menegang. Pipinya perlahan-lahan memerah sembari menghampiri Deon dengan langkah lebar. Deon pikir dia akan ditonjok, walau ini bukan pertama kalinya dia berkelahi, setidaknya dia tidak mau memulai duluan. Laki-laki itu malah menarik kerah Deon tinggi-tinggi dan melototinya. Deon membalas melotot.
"Aku benci orang seperti dirimu," kata laki-laki itu, bernada pelan disertai kasar seperti ada dendam kesumat. "Kau mirip dia. Punya segalanya dari tinggi, tegap, dan berkarisma. Pasti kau anak orang kaya juga. Sayang sekali kita…"
"Bos, jangan kau buat keributan di sini," ungkap salah seorang anak buah laki-laki rambut pirang itu. Yang ceking. "Kita juga belum karaoke. Lepaskan saja mereka."
"Aku belum selesai di sini!"
"Memang betul, Bos," setuju anak buah laki-laki rambut pirang yang lain. Yang gemuk. "Tapi tabiatmu yang mudah marah sudah sering buat kita diusir. Jangan memulai perkelahian yang tak perlu."
"Hei! Apa yang kalian lakukan?!"
Seorang laki-laki tinggi berbaju rompi di atas kemeja putih muncul tiba-tiba dari arah kamar mandi. Wajahnya beringas. Pria berkumis itu menunjuk laki-laki pirang.
"Lepaskan dia, Ferdy! Kau kutinggal sebentar saja sudah cari gara-gara!"
"Cih!" seru Ferdy, melepaskan genggamannya. "Dia mengingatkanku pada ketua gengku. Hanya itu."
"Hajarlah ketua gengmu! Kenapa harus tamuku?!"
Hanya gelengan kepala respon Ferdy sebelum mengajak teman-temannya pergi. Meninggalkan Deon berdiri di tempat, sedang Jessica sedikit terisak di tempat duduk. Kencan yang mulanya bagus hampir berakhir rusuh. Diakibatkan oleh orang yang mereka tidak kenal pula.
"Maafkan temanku, Anak muda," pinta pria itu, seorang bartender dari rupanya. "Aku menyuruhnya berjaga sebentar, tapi… aduh, aku minta maaf."
"Tidak apa-apa, Bang. Aku baik-baik saja," terang Deon setenang mungkin. Dia menghampiri Jessica dan duduk di sampingnya. "Kau baik-baik saja, Jessica?"
Jessica mengangkat kepala menatap Deon. Pipi temben dengan mata berkaca-kaca membuat Jessica tampak manis menawan, walau ekspresinya terlihat sayu didera ketakutan. Tiba-tiba dia melempar badan ke arah Deon dan memeluknya sambil terisak pelan.
Aksi Jessica membuat Deon yang tak siap terkejut. Mungkin saja Jessica telah dikerubungi laki-laki brengsek tadi agak lama sampai ditemukan, jadi Deon membalas peluk sembari mengelus rambutnya perlahan. Rambut Jessica sungguh lembut. Rasa berpelukan ini berbeda rasanya dari rasa pas memeluk adiknya. Terasa lebih hangat, agak berisi mengingat badan Jessica sedikit montok yang Deon usahakan untuk abaikan, dan emosional. Terbesit Deon ingin melindunginya selalu.
Akibat suara teriakan bartender tadi, beberapa petugas karaoke laki-laki maupun perempuan memasuki area bar setelah terdengar suara langkah ramai-ramai menaiki tangga dari bawah. Mereka dihadang serta dijelaskan duduk perkara kejadian oleh abang bartender tadi. Entah bagaimana, Edward hadir di sana.
"Apa yang terjadi, Bang Otto?"
"Edward?!" seru sang bartender layaknya bertemu teman lama. "Kenapa kau ada di sini?"
"Tadi aku mau cari temanku sampai mendengar suara teriakan abang."
"Teman?"
"Edward," panggil Deon, berusaha melepaskan pelukan tapi Jessica masih memeluknya kuat. "Kami di sini."
"Deon! Jess…" Suara Edward melemah saat melihat air mata Jessica berlinang. "…apa yang sudah terjadi?"
Bang Otto menghela napas, tidak menyangka kalau Deon maupun Jessica adalah teman Edward. "Biar kujelaskan."
Tanpa mengurangi satupun rincian, Bang Otto menjelaskan kejadian tadi pada Edward. Edward mendengar dengan tatapan lurus, dahi berkerut, dan posisi kedua tangan melipat. Tampak sangat serius. Di satu sisi, Deon berbisik lembut ke telinga Jessica kalau semuanya baik-baik saja sehingga Jessica baru melepaskan pelukan. Deon memberikannya sebuah sapu tangan.
"Anak sialan itu," dengus Edward. "Suatu hari akan kutabok."
"Memang anak brengsek. Kerjanya cari gara-gara di manapun dia pergi," lanjut Bang Otto bernada geram. "Aku mohon maaf karena telah melibatkan teman-temanmu."
"Yang penting mereka baik-baik saja."
"Kami aman," kata Deon, mengonfirmasi. "Mungkin Jessica agak sedikit trauma."
"Akan kubuat jus hangat."
Bang Otto segera memasuki konter bar melalui sebuah lorong kecil berpintu dua daun kecil. Mirip pintu masuk ikonik warung minum zaman 'Old West'. Kedua tangannya begitu cekatan mengambil berbagai minuman berwarna orange dan dicampur aduk sedemikian rupa sebelum menuangkan minuman racikan itu ke tiga buah gelas bir ukuran sedang. Disajikan masih hangat kepada Edward, Deon, dan Jessica. Sedang kerumunan petugas sudah dibubarkan oleh seorang manajer yang meminta Bang Otto untuk menghadapnya nanti.
"Enak sekali," puji Deon langsung setelah menyesap sedikit. "Apa ini jus jeruk?"
"Jus jeruk Amonya, salah satu racikan andalanku untuk yang kurang suka minuman alkohol." Bang Otto melempar pandang ke arah Jessica. "Mohon maaf atas insiden tadi, Nona Jessica. Aku tidak sangka mereka berani macam-macam padamu selaku tamu, padahal aku cuma menyuruh mereka menjaga konter sebentar."
"Maaf diterima, Bang Otto," balas Jessica sambil tersenyum. "Tolong beri aku jus jeruk ini lagi. Rasanya luar biasa."
"Tentu saja."
Edward bertanya, "Lagian kenapa abang bisa menyuruh mereka menjaga?"
"Mereka mampir untuk bertanya tentang asal-usul beberapa minuman yang kupesan. Karena agak mulas, jadi kuminta mereka menjaga konter sebentar."
"Minuman keras?"
"Bukan. Minuman alkohol yang akhir-akhir ini viral itu."
"Owh, aku tahu." Edward mengganguk singkat. "Ayahku juga beli. Katanya sih biasa saja."
"Tapi banyak orang yang suka, harganya juga terjangkau."
"Sekarang tinggal kuselidiki apa tindak tanduk mereka perihal minuman tersebut."
Alis Deon terangkat. "Tindak tanduk?"
"Aku rasa mereka tidak mungkin bertanya tentang minuman alkohol tanpa merencanakan sesuatu. Entah benar atau tidak, aku ingin tahu saja apa langkah mereka."
"Ini, Nona Jessica. Segelas dan sebotol Jeruk Amonya." Bang Otto menyodorkan mereka ke tangan Jessica. "Semuanya traktiranku dan mohon maaf atas kejadian tadi."
Bang Otto mengangkat tangan membentuk segitiga kepada Jessica, Edward, dan Deon secara bergiliran.
"Aku akan berhati-hati lain kali agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi."
Setelah itu, mereka bercakap-cakap sebentar dan kembali ke ruang karaoke. Jessica menyerahkan gelas jeruk tadi pada Stephanie yang bingung perihal apa yang telah terjadi. Oleh sebab di ruangan tertutup serta hampir kedap suara, maklum saja Stephanie maupun tamu-tamu lain tidak mendengar keributan tadi. Jessica menceritakan bagaimana awal mula kejadian sambil terus sekilas memandang Deon, kadang tersipu, kadang cepat-cepat dialihkan. Deon tidak mengerti gerangan apa yang Jessica lakukan walau harus diakui dia merasa hatinya hangat dibarengi sedikit detak jantung beruntun.