"Sial!" gumam Edward geram sambil memantul-mantulkan bola basket ke atas tanah. "Di mana kau, Dima?!"
Ketika bergerak, dua orang lawan yang berhadapan dengan dirinya ikut bergerak. Seorang bertubuh kecil kurus dan satu lagi berbadan sedang dengan tangan panjang. Mereka mengambil inisiatif menjaga Edward yang terkenal gesit dan keras. Situasi lapangan juga tidak terlalu mendukung. Dima dijaga seorang laki-laki gemuk besar dan teman kompak lain juga dijaga lawan lain. Sedang dua teman lain jaraknya masih jauh, walaupun bisa dioper, Edward tahu mereka tidak bisa diandalkan. Seringkali meleset menangkap bola darinya sehingga dia terpaksa berputar-putar.
Diam-diam tangan Dima membentuk isyarat ke samping. Agak jauh, tapi Edward mengangguk ngerti. Langsung saja dia melesat ke kiri sebelum berhenti mendadak dan melesat ke kanan, menipu kedua lawannya yang bergerak cepat ke arah kiri, memberi celah bagi Edward untuk melarikan diri. Seorang lawan meninggalkan pos untuk menghadang Edward. Edward tidak punya waktu meladeni dan melempar bola basket genggamannya keras-keras ke ujung. Sedetik menghantam tanah lalu memantul membentuk parabola ke tempat di mana telapak tangan Dima menunggu.
Tertangkap! Saat lawan yang menjaga Dima tersadar, semuanya sudah terlambat. Dima telah mengambil langkah mundur keluar dari area garis dua ke area garis tiga dan melompat setinggi-tingginya sambil melempar bola basket. Lemparan bola basket itu menyita seluruh perhatian penonton. Melayang dalam pola melengkung dalam kecepatan lambat dan waktu sedetik serasa sejam. Keringat dingin mengucuri wajah teman-teman sekelas Dima kala mendekatnya bola ke ring basket. Berharap bola itu masuk. Dan ternyata bola itu meleset, terkena pinggiran ring basket dan memantul. Para penonton, terutama perempuan baik dari kelas Dima atau pun lawan, mengumandangkan suara kekecewaan.
"Serahkan padaku!" seru Edward, sudah sedari tadi berlari ke bawah ring dan melompat tinggi memukul bola tadi sehingga memantul terhadap papan pantul lalu masuk ke dalam ring.
Spontan para penonton bersorak-sorai. Perempuan-perempuan melompat-lompat juga melakukan yell-yell memuji Edward atas keberhasilannya. Masalahnya bukan dari kelas Dima saja, tapi juga perempuan dari kelas lawan. Tentu para lelaki kelas lawan terutama pemain-pemain basket lawan menjadi tidak senang. Menatap tajam penuh dendam bercampur amarah. Sementara itu Edward tengah berlari-lari sambil melepas baju olahraganya dengan suara garang semangat.
"Kutebak kau sudah tahu aku akan meleset," Dima tersenyum sambil tos tangan Edward.
"Pasti," sahut Edward lantang. "Dan kenapa kau masih mau melemparkannya?"
"Karena aku tahu kau pasti akan mengurusnya."
"Dasar kau, Dima." Edward memukul bahu Dima keras-keras, tapi Dima hanya tersenyum kecil.
"Aku pun akan melakukan hal yang sama. Kita saling sokong satu sama lain."
Suara peluit ditiup panjang. Pak guru kembali memimpin para pemain basket berkumpul ke tengah lapangan untuk memulai babak selanjutnya. Sedang di kursi penonton, Stephanie sedang tersenyum lebar dan cekikian sangking senangnya karena tim Edward mencetak skor.
"Astaga! Edward keren sekali!" seru Stephanie tidak tahan. "Bagaimana menurutmu, Jessica? Keren, bukan?"
"Boleh," Jessica menyetujui. "Tapi terkesan blak-blakan."
"Maksudmu?"
Jessica mengangkat bahu. "Terlalu terang-terangan dan tak tahu aturan."
"Oh, apa karena dia membuka baju itu?" Stephanie bertanya lebih lanjut. "Padahal tubuh berotot itu tampak maskulin dan membuat jantungku berdebar-debar. Astaga, aku ingin melihat otot-otot itu lagi."
"Ya ampun, Stephanie." Jessica melotot jijik. "Kau terlalu sering membaca majalah model pria. Tidak semua laki-laki seperti itu bisa dengan mudah didapatkan."
Stepahnie tersenyum menyeringai. "Apa kau yakin?"
Jessica tidak tahu harus menjawab apa selain tersenyum. "Kurasa kau bisa. Semua yang kau mau kau kejar-kejar."
"Tak ada kata tak bisa dalam kamusku, Jessica," Stephanie mendesah puas. "Ngomong-ngomong, bagaimana hubunganmu dengan Dima?"
"Hah?" Mulut Jessica melongo. "Kenapa bisa lari ke Dima?"
Sejenak Stephanie menangkap rona merah menghiasi kedua pipi Jessica. Jelas sekali dia menaruh hati pada laki-laki yang sering menjadi gosip seluruh gadis di sekolah itu. Tapi Jessica tidak akan berani. Oh, tentu saja dia tidak akan berani. Jika ketahuan Jessica menyukai Dima, kepopuleran Jessica bisa-bisa sirna. Laki-laki tidak akan mengoda atau memberi hadiah lagi, contoh salah satunya adalah laki-laki ceking di kantin tempo hari. Sudah jelek, kurus tulang belulang lagi. Berani-beraninya dia menyatakan cinta kepada Jessica, sungguh tak tahu diri. Namun sedikit percikan akan membantu Jessica terus terang. Sebagai teman baik, dia tentu harus membantu Jessica langkah demi langkah untuk mendapatkan Dima.
"Kau pikir aku tidak tahu?"
"Tahu apa?" tanya Jessica balik. "Tidak ada apa-apa antara Dima dengan aku."
"Dengar Jessica," Stephanie menatap mata mata Jessica lurus-lurus, "kau suka Dima kan?"
Langsung saja Jessica memalingkan muka ke samping. Tidak berani menatap Stephanie. Saat itu juga senyum Stephanie menyeringai lebar.
"Kau tidak berkata jujur, Jess." Stephanie menghembuskan napas puas. "Padahal kalau kau katakan pun, tidak ada yang akan mendengarnya selain diriku, bukan?"
Refleks Jessica memandang sekelilingnya. Dia dan Stephanie sedang duduk berdua di pinggiran batu menghadap lapangan dari samping, menjauhi kerumunan yang lebih memilih tempat-tempat teduh. Meski memiliki keinginan duduk di antara rerimbunan pohon, Stephanie menyarankan mereka duduk di tempat terbuka. Jadi semua orang, terutama para lelaki, bisa melihat mereka secara langsung. Akan meningkatkan kepopuleran serta mata-mata keranjang yang sejujurnya membuat Jessica merasa tidak nyaman.
"Aku tidak ingin membicarakannya."
"Oh, tentu saja kau harus," tukas Stephanis sok tegas. "Bagaimana kalau aku membantumu?"
Jessica menggeleng. "Aku tidak butuh bantuan, Stephanie. Pantau saja terus Edward mu."
Saat itu Edward tengah mencetak skor lagi dan para perempuan kembali bersorak-sorai.
"Justru melalui Edward lah aku akan membantumu."
"Bagaimana?" Jessica keceplosan. "Tidak, tidak. Aku sudah puas para lelaki memujaku, tak perlu Dima."
Stephanie mengeluh, "Apa gunanya mendapat semua laki-laki yang tidak kau suka, tapi tidak mendapatkan laki-laki yang benar-benar kau sukai?"
Pertanyaan itu menusuk hati Jessica teramat dalam. Sekalian membuka pikirannya bahwa apa yang dikatakan Stephanie itu benar. Tapi dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia terlalu malu, tidak, terlalu tidak tahu bagaimana menarik perhatian Dima. Sungguh aneh. Kenapa semua laki-laki bisa terpesona padanya, tapi Dima tidak? Apakah dia kurang cantik? Kurang gaul? Atau bagaimana? Dima tidak pernah sekalipun mencoba merayu atau menarik perhatiannya.
"Jika laki-laki tidak bertindak, saatnya kita sebagai perempuan harus bertindak."
"Maksudmu kita yang mengejar lelaki?" tanya Jessica tidak percaya.
Stephanie mengangguk. "Apa lagi yang kumaksud?"
"Terima kasih, Stephanie. Aku punya harga diri," cetus Jessica sombong. "Lebih baik aku tidak memiliki Dima."
"Jessica, Jessica." Stephanie menggeleng kepala sambil mengelus dahi. "Rasanya berbeda mengejar seseorang daripada dikejar. Kau belum pernah merasakannya."
Dahi Jessica berkerut tatkala menatap Stephanie. Merasa aneh dan tak masuk akal saja apa yang dikatakan sahabatnya itu. Mengejar? Amit-amit deh. Tetapi Jessica tidak sempat membalas karena sebuah keributan mendadak terjadi. Edward tengah menarik kerah baju seorang pemain lawan dengan wajah sanggar. Memaki-maki dan melotot tidak senang.
"Apa maksudmu dorong-dorong?!" Edward menarik tinggi-tinggi kerah baju pemain laki-laki bertangan panjang. "Main apapun ada peraturannya!"
Laki-laki itu membalas tidak senang. Cuma diam dengan wajah tegar. Para pemain lain datang bergerombol untuk meleraikan, tetapi keadaan masih saja ricuh sampai guru olahraga datang. Di belakang layar, tampak Dima sedang dibantu bangun oleh seorang teman. Kondisinya biasa saja sampai Jessica terkesiap melihat luka lecet menggores lengan kanannya. Berbintik-bintik merah bercampur darah segar yang mengalir dari lengan atas. Pasti Dima didorong jatuh sekalian tergesek aspal yang tidak mampu dibayangkan oleh Jessica. Amat menggerikan.
"Sudah diam!" seru pak guru olahraga. "Dima, kau tidak apa-apa?"
Dima mengacungkan jempol menggunakan jemari tangan kanan yang terluka. "Aman, Pak."
"Kau tenang sekali," kata pak guru olahraga ringan.
"Cuma luka lecet biasa. Tak ada yang perlu dikhawatirkan," balas Dima. "Sebaiknya aku ke UKS membersihkan lukaku sebelum infeksi."
"Kau perlu kawan?"
"Tidak apa-apa. Aku bisa sendiri, Pak."
Dima pun berlalu. Orang-orang terpana melihat bagaimana Dima menghadapi masalah. Begitu tenang dan santai. Lalu keributan berlanjut, Edward kembali cekcok dan pak guru mulai menengahi menggunakan otoritasnya. Diam-diam Jessica terkagum. Biasanya laki-laki seumurannya akan melebih-lebihkan rasa sakit itu atau merasa menjadi korban sehingga mengamuk tak karuan, tapi lihat Dima. Sikapnya biasa saja dan dewasa. Benar-benar berbeda.
"Kulihat kau melirik Dima sedari tadi," goda Stephani. "Baiklah. Aku akan memberikanmu nomor Dima nanti."
"Ah, tidak, Stephanie," tahan Jessica. Wajahnya cemberut. "Jangan mulai yang aneh-aneh. Aku tidak butuh nomor Dima."
Stephanie bersiul pendek. "Sudah kuputuskan. Aku akan memberimu nomor Dima, tunggu saja."
"Terserahmulah," Jessica akhirnya berkata. Karena tiada guna berdebat dengan Stephanie sekali membuat keputusan. Tetap akan dilakukannya.
***
"Bu Nora ada?"
"Masuk," sahut suara lembut dari dalam.
Perlahan Dima membuka pintu dan menunduk sopan sambil memasuki ruangan. Tiba-tiba saja terasa aura dingin yang menusuk tulang. Memang ruang UKS biasanya dingin, tapi tidak pernah sedingin ini. Apalagi ruang UKS tidak sebesar ruang kelas. Walau begitu, terlihat terang berderang. Keramik-keramik putih memantulkan cahaya lampu secara sempurna hingga hampir seluruh ruang UKS kelihatan. Kecuali bilik-bilik tertutup tirai di mana pasien-pasien beristirahat.
Seorang wanita berambut ekor kuda memutar kursi ke arah Dima, mengintip dari balik kacamata bulat tipis. "Wah, wah, wah, rupanya murid teladan," puji Bu Nora antusias. "Apa kau kemari untuk mengunjungi ibu yang sedang kesepian?"
"Ibu mulai lagi," kata Dima malas. "Aku ke sini karena terluka."
"Hahaha, kau terlalu serius makanya enak digoda," lontar wanita dewasa itu. "Apa yang terluka? Hatimu?"
"Ini."
Dima menunjuk lengan kanannya, bergaris-garis merah tidak beraturan. Darah segar mulai mengalir turun menuju telapak tangannya.
"Sepertinya luka lecet biasa." Bu Nora mencondongkan badan untuk melihat lebih jelas. "Mari kita bersihkan dulu."
Ketika menghampiri Bu Nora, Dima memperhatikan bilik-bilik tidak tertutupi tirai. Kecuali yang tengah.Tertutupi dari kiri, kanan, dan depan, tapi tirai depan tidak tertutup rapat. Tercipta sebuah celah kecil yang mengundang mata Dima. Seorang gadis bertubuh mungil sedang tidur terlentang di atas ranjang. Berambut sebahu terurai, menutupi mata dengan lengan tangan, dan memakai jaket tipis berwarna biru tua. Biru Tua. Dima langsung kenal murid perempuan itu, Kilia. Gadis yang tidur di perpustakaan.
"Ah, ini dia," ucap Bu Nora senang setelah membongkar kotak P3K. "Betadine, alkohol, dan kain kapas. Mari ibu lihat lukamu."
Tapi Bu Nora mendapati Dima sedang menatap ke arah lain. Sedang menoleh ke arah bilik tengah.
Bu Nora tertawa kecil. "Ternyata kau punya hobi mengintip."
Langsung saja Dima menatap Bu Nora, "Ti-Tidak, Bu. A-Aku hanya penasaran."
"Penasaran?" Mata Bu Nora berbinar-binar. "Aduh, kau cepat sekali dewasa. Lebih cepat dari dugaan ibu."
"Tunggu sebentar," tahan Dima dengan alis berkerut. "Apa maksud, Ibu? Aku cuma penasaran dengan gadis itu"
Sesaat Ibu Nora melonggo. "Oh, ibu mengerti," lanjut Bu Nora sambil mengangguk. "Apa kau kenal gadis itu?"
"Tidak juga," Dima menjawab pelan. "Cuma tahu-tahu saja."
"Kalau begitu kau harus kenalan dengannya nanti. Kau pasti suka dia."
"Ada yang lebih penting untukku, Bu." Dima menyunggingkan senyum. "Aku ingin menjadi seorang dokter."
"Untuk melamar Ibu? Oh, tidak-tidak," sangkal Bu Nora centil. "Kau tahu ibu sudah melajang, tapi mungkin akan ibu pikirkan. Bersama berondong pun tidak buruk juga."
Dan Dima pun hanya bisa menghembuskan napas sepanjang-panjangnya.Capek mental dan hati. Menghadapi Bu Nora memang membutuhkan tenaga ekstra, selalu saja ingin menggoda dirinya ke arah negatif. Dilakukan setiap kali ada kesempatan. Yang aneh, Bu Nora hanya melakukan itu pada dirinya. Dengan orang-orang lain biasa saja atau sekedar lembut, tidak menunjukkan tanda-tanda kegenitan. Sungguh mengherankan.
"Sudahlah, Bu. Lenganku masih berdarah nih," tukas Dima datar, kembali menunjuk lengannya. "Apa tidak keburu infeksi?"
Tawa masih menghiasi wajah Bu Nora kala menarik lengan Dima dan memeriksanya. Luka-luka lecet di beberapa tempat. Tidak parah, tidak infeksi sama sekali. Setelah menuangkan sedikit alkohol ke kain kapas, Bu Nora mulai membersihkan luka dari darah mengalir Dima. Mula-mula dari lengan atas turun lengan bawah. Lalu dibiarkan mengering.
"Jadi, kau mau ambil dokter umum saja atau juga spesialis?"
"Dokter spesialis, tapi aku belum tahu mau spesialis apa," sahut Dima ragu. "Terlalu banyak topik yang menarik."
"Yang kau suka?" tanya Bu Nora, sedang mengambil betadine dari kotak P3K.
"Aku tidak tahu."
Kerut menghiasi kening Bu Nora. "Apa kau serius ingin menjadi dokter spesialis?"
"Tentu saja, Bu," bela Dima. "Tapi lebih baik aku masuk kedokteran dulu daripada pusing memilih spesialis."
"Oh, betul juga," Bu Nora membenarkan.
Tidak membutuhkan waktu lama mengolesi luka-luka Dima menggunakan betadine. Tetes demi tetes didaratkan ke atas luka-luka Dima. Menimbulkan sensasi dingin serta kejanggalan karena rasa dingin tersebut tidak merambat ke bagian kulit lain. Ujung botol betadine dicelupkan ke gumpalan tetes warna cokelat tua sebelum ditarik-tarik ke permukan kulit lain agar ikut terlapisi betadine. Selanjutnya dibiarkan kering lagi.
"Jadi, apa kau kenal gadis itu?" Tangan Bu Nora menunjuk bilik tengah.
Alis Dima terangkat. "Cuma tahu namanya Kilia."
"Sudah berteman dengannya?"
Kenapa Bu Nora menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini? Tidak seperti biasanya, apalagi Bu Nora kelihatan agak serius.
"Baru seminggu yang lalu aku tahu dia tidur di perpusakaan dan terus tidur setiap kali aku ke perpustakaan," terang Dima lalu mengigit bibir. "Aku dengar Bu Nora yang meminta agar dia diizinkan tidur di perpustakan?"
"Oh iya," kata Bu Nora tersenyum. "Kau punya relasi bagus dengan Bu Lastri dan Bu Felicia. Pasti mereka yang memberitahumu."
"Tapi tidak tahu kenapa…" Dima terdiam sejenak, berusaha memilih kata-katanya dengan hati-hati, "tidak tahu alasan kenapa ibu menyuruhnya tidur di perpustakaan."
"Begini," Bu Nora mengetuk-ngetuk dagu, "soalnya kalau terus tidur di UKS, dia tidak akan bergaul dengan anak-anak lain."
"Cuma itu?" Diam agak terkejut. "Tapi dia terus tidur tanpa menggusbrik siapapun."
Bu Nora menyunggingkan senyum sempurna. Kalau pria-pria lajang melihatnya, mereka pasti akan jatuh hati pada ibu muda beranak satu yang sudah bercerai ini.
"Akan ada waktunya."
Dima mengangkat bahu. "Mungkin."
"Bisakah ibu minta tolong?"
Secara refleks badan Dima mundur ke belakang. Terkesiap. Berjaga-jaga atas permintaan dari seorang ibu muda genit.
"Lihat dulu permintaan apa," Dima menjelaskan pelan. "Kalau aneh-aneh pasti kutolak."
Bu Nora menarik napas sambil menyentuh ulu hati. "Astaga, kau kejam sekali. Hati ibu terluka."
"Apa yang mau ibu minta tolong?" tanya Dima, tidak memperdulikan drama Bu Nora. Bila diladeni akan panjang nanti. "Soalnya aku mau kembali mengikuti pelajaran olahraga."
"Bisakah kau berteman dengan Kilia?"
Beberapa saat Dima tidak tahu harus berkata apa. "Ada apa, Bu Nora?" tanya Dima, merasa ada yang tidak beres.
"Dia kurang berteman dengan anak-anak sebayanya. Jadi ibu agak khawatir."
Alasan yang masuk diakal, walau masih tidak menyakinkan. Sebenarnya Dima sendiri cukup penasaran dengan Kilia. Gadis itu selalu tidur di perpustakaan dan sekarang Bu Nora memintanya berteman dengan Kilia, menambah misteri lain yang mengusik keingintahuannya. Apa spesialnya gadis itu?
"Baiklah." Angguk Dima. "Untung bukan permintaan aneh."
"Terima kasih. Ibu bisa lega sekarang."
Tiba-tiba terdengar bel sekolah berbunyi. Memasuki jam pelajaran kedua, masih mata pelajaran olahraga.
"Aku pamit dulu, Bu Nora," pinta Dima, merasa tidak ada keperluan lain. Lukanya sudah dibersihkan dan diobati. "Teman-temanku pasti menunggu."
"Usahakan jangan terlalu bermain. Lukamu masih belum sembuh."
Dima mengacungkan jempol. "Tenang saja, Bu."
"Dan jangan lupa chat ibu."
Untuk kalimat terakhir, Dima hanya bisa geleng-geleng kepala. Entah kapan Bu Nora bisa lebih normal kepadanya. Namun ketika melewati bilik ranjang, pikiran Dima langsung terbesit tentang Kilia. Dia menerima permintaan tolong Bu Nora, sekarang apa? Bagaimana berteman dengan Kilia? Perempuan lagi. Bukan dia anti, tapi jarang sekali berhubungan dengan perempuan selain Bunda dan adik perempuannya. Lamunan langsung buyar tatkala Edward berseru memanggilnya bergabung dalam tim setelah keluar dari ruang UKS.
***
"Aku pulang dulu, Bu Lastri," pamit Bu Felicia cepat.
Dima mengangkat kepala dari buku tebal yang tengah dibacanya, memandang ke arah Bu Felicia. Secara tidak sengaja tatapan mereka bertemu dan ibu berkacamata tebal itu melambai kecil kepadanya sebelum berlalu. Memang sih, hari sudah sore. Sinar kekuningan sudah sedari tadi merayap masuk menembus kaca bening perpustakaan.
"Dia akan temu jodoh," kata Bu Lastri sambil menunjuk keluar. Tertawa cekikian kecil. "Katanya dia harus ikut atau diusir dari rumah."
"Semoga dia berhasil."
Bu Lastri mengajukan jempol. Dima kembali melihat bukunya, walau sejujurnya tidak dapat berkonsentrasi membaca. Suasana perpustakaan mungkin sunyi senyap dan terasa sejuk, namun sore itu berbeda satu hal. Gadis berjaket biru tua di pinggiran rak bagian belakang perpustakaan sedang duduk termangu sambil menari-narikan pen di atas sebuah buku tipis. Sesekali menggaruk kepala atau memainkan pensil.
Mengerjakan tugas, batin Dima, secara tidak langsung memperhatikan gadis itu.
Gadis itu terlihat kewalahan. Barusan dia mengambil sebuah penghapus dan membersihkan sebagian halaman kertas hingga hampir robek. Lalu kembali berpikir dan menulis lagi. Kejadian ini berulang setidaknya sudah lima kali.
"Tidak, tidak. Aku harus fokus membaca."
Setiap detik kala menarik napas membuat Dima semakin tenang. Berusaha memaksimalkan diri, tapi pikirannya lagi-lagi terusik akan janjinya kepada Bu Nora agar berteman dengan gadis itu. Apakah sekarang waktu yang tepat berteman dengannya? Bagaimana kalau dia canggung? Apakah akan berjalan lancar? Dan kemungkinan-kemungkinan lain. Tidak pernah dia mengalami hal ini sebelumnya.
Dima menghela napas. "Baiklah. Sepertinya aku harus melakukannya supaya bisa tenang membaca buku."
Perlahan Dima melirik gadis itu, sedang menulis-menulis. Aman. Sekarang dia harus mencari cara mendekatinya agar kelihatan alami. Sesaat pandangannya berkeliling sebelum jatuh pada sebuah buku sejarah yang tertata pada rak terdekat dan bukan rak tempat seharusnya buku itu berada. Mungkin terselip. Sebuah ide brilian muncul. Dima mengambil buku sejarah dan berjalan pelan mendekati gadis itu, bermaksud meletakkannya pada rak berlabel "Sejarah".
Gadis itu tertegun mendapati Dima berjalan ke arahnya. Sesaat memperhatikannya lekat-lekat dari atas ke bawah sebelum kembali menulis. Dima sendiri tidak bertatap muka, cuma meletakkan buku sejarah pada raknya. Berperilaku seakan tidak peduli. Padahal diam-diam melirik gadis itu sedang menulis beberapa angka dan rumus-rumus trigonometri. Tugas Matematika!
"Rumusmu salah," koreksi Dima pelan, mencondongkan badan ke arah gadis itu.
Gadis itu mengangkat wajah penuh tanda tanya. "Benarkah? Yang mana?"
"Yang ini." Telunjuk Dima menunjuk sebuah rumus sin pangkat dua sama dengan cos pangkat dua. "Seharusnya sama dengan setengah kurang setengah cos dua alpha."
"Oh," ucap gadis itu, tersadar telah melakukan kesalahan fatal. Cepat-cepat dia menghapus rumus itu dan menulis rumus sesuai intruksi Dima. "Kau hapal rumus-rumus identitas trigonometri?"
"Tidak semuanya," kata Dima rendah hati. "Setelah kau mengerjakan rumus itu, kau perlu memecah rumusnya lagi menjadi rumus-rumus lain baru kau bisa mendapat jawabannya."
Tanpa ragu gadis itu menyanggupi. Menulis dan mengerjakan sesuai arahan Dima, tapi sisanya dikerjain sendiri karena Dima hanya membantu bagian rumus serta mengecek apakah yang dikerjakannya betul atau tidak. Soal-soal lain menyusul. Dia tidak menyangka penjelasan-penjelasan Dima begitu singkat dan mudah dimengerti. Lebih baik daripada ajaran guru matematika.
"Eh, kau pandai sekali mengajar. Apa pernah mengajar les?"
"Hm…" Dima mengigit bibir. "Aku punya seorang adik perempuan yang selalu kubantu belajar.
Meski, otaknya lebih nyambung hal berbau Korea."
"Kelihatannya aku dan adikmu bisa berteman baik."
Dima mengangkat alis. "Kau juga suka Korea?"
Gadis itu mengangguk sambil tersenyum manis. Sungguh manis hingga membuat Dima terpana sebentar.
"Astaga, entah kenapa kalian perempuan suka sekali Korea." Dima menggeleng kepala. "Kurasa karena laki-laki tampan."
"Drama-drama mereka sungguh emosional. Aku suka itu," kata gadis itu kagum. "Oh ya, namaku Kilia Kliren. Salam kenal."
Tentu saja Dima menyambut uluran tangan Kilia dengan senang hati. Tidak menyangka semuanya akan berjalan lancar.
"Dima Aldiano. Salam kenal, Kilia."
"Tak kusangka aku akan bertemu murid teladan." Kilia tersenyum lagi. "Terkenal pintar, gagah, dan tampan, bukan begitu?"
Dima membalas senyum. Raut mukanya tidak menunjukkan kebanggaan.
"Mungkin, tapi aku tidak suka perhatian orang-orang. Mereka selalu memperhatikanku ke manapun aku berada."
Kilia menepuk pundak Dima pelan. "Pasti para gadis yang melirikmu. Kau akan terbiasa nanti."
"Entahlah." Dima mengangkat sebelah bahu. "Ada yang lebih penting dari itu."
"Apa itu?" tanya Kilia ingin tahu.
"Aku ingin menjadi dokter."
"Ah." Kilia mengangguk kepala beberapa kali. "Pantesan kau selalu membaca buku tebal kesehatan itu. Kupikir kau seorang maniak organ tubuh."
Tawa Dima meledak. Baru kali ini ada orang yang berani begitu jujur padanya, ungkapan yang aneh pula. Alih-alih Kilia juga ikut tertawa.
"Aku harus mempersiapkan diriku dan belajar keras," kata Dima sambil menatap buku tugas matematika Kilia. "Aku tidak mau main-main."
Kilia menengadah sambil bergumam sendiri. "Kau terlalu, kau tahu itu? Santai saja dan nikmati masa muda."
"Maksudmu dengan pacaran? Tidak, terima kasih," ceplos Dima kesal, teringat saran Edward. "Eh, tunggu…"
Mata Dima langsung membelalak. Baru saja dia keceplosan mengatakan sesuatu yang biasanya dikatakan kepada Edward. Astaga! Apa yang baru saja dilakukannya? Gadis putih mungil itu pasti akan memandangnya aneh sekarang. Namun ternyata Kilia hanya tertawa kecil sambil berusaha menutup mulut. Ingin menunjukkan tidak ingin tertawa, tapi tidak bisa menahan diri.
"Hahaha, maaf, maaf," pinta Kilia masih tertawa. "Aku tidak menyangka kau akan berkata begitu."
"Maaf, aku terbiasa menolak ajakan seorang teman untuk pacaran." Dima terlihat agak suram sekarang.
"Tapi aku suka caramu." Kilia berpangku tangan. "Kau jadi bisa konsentrasi belajar. Aku sendiri suka matematika, tapi tidak bisa belajar sebanyak yang kumau."
"Kenapa?"
"Karena… rahasia."
Kilia membentuk huruf X menggunakan kedua lengannya. Dengan tegas memperingatkan Dima. Dari gaya Kilia, Dima menebak bahwa gadis ini memiliki sifat extrovert, agak lugu, dan terkesan ekspresif. Seorang gadis gaul yang mudah berbaur bersama orang lain, sangat berbeda dengan dirinya yang lebih canggung.
"Tidak masalah," jawab Dima setelah berpikir sejenak. "Memang tidak semua perlu dikatakan."
Kilia tersenyum. "Kau kaku sekali."
"Hm, aku tidak merasa begitu."
"Tentu saja kau begitu," Kilia menyakinkan. "Tapi lambat laun juga akan bisa luwes."
"Mungkin. Sebenarnya tidak terlalu kupikirkan."
Kilia hanya tersenyum. "Oh ya, Dima. Bolehkah aku minta tolong?"
Terlintas firasat buruk dalam benak Dima. Dia cuma ingin berteman, tidak ingin merasa direpotkan apalagi diganggu di perpustakaan. Tanpa disadari Dima, itu tercetak pada wajahnya yang berkerut enggan dan Kilia tahu. Mudah saja membaca karakter, dia sudah sering bergaul dengan banyak orang.
"Cuma sesekali kok," Kilia berkata ringan. "Maksudnya ajari aku belajar matematika kalau aku tidak mengerti. Itu saja."
Kedua alis Dima terangkat lega sambil tercipta sebuah senyum. "Kurasa aku bisa melakukan itu."
Seketika terdengar suara dering telepon. Jika didengar baik-baik bernada ringtone salah satu musik Korea ternama yang sedang naik daun saat ini. Tentu saja Dima kenal sebab adiknya terus memutar lagu itu setiap hari. Cepat-cepat Kilia menarik ponsel keluar dari saku baju dan menatapnya sejenak. Dari sebuah nomor tak dikenal.
"Ah, aku harus pergi sekarang." Kilia beranjak sembari memasukkan buku-buku ke dalam tas.
"Kurasa kita akan sering-sering bertemu."
"Tentu kalau di perpustakaan."
"Mari kita jadi teman yang akrab." Kilia mengulurkan tangan, tapi tidak disambut Dima. "Ada apa?"
Dima tersadar dari kejanggalannya dengan sikap Kilia sehingga tidak bisa merespon. "Tidak ada apa-apa. Semoga kita ketemu lagi."
"Masih kaku juga." Kilia tertawa kecil sambil melangkah lebar ke arah pintu lalu melambai kepada Dima. "Dah, Dima."
Beberapa waktu Dima masih diam di tempat. Tidak dapat berpikir jernih. Perasaan senang, aneh, tidak nyaman, dan terkejut bercampur aduk menciptakan rasa aneh yang tidak dimengerti oleh Dima. Gadis itu membuat dirinya seakan seorang teman akrab meski mereka baru saja bertemu. Memang Edward juga bisa melakukan itu, tapi caranya sangat berbeda. Kilia lebih halus. Apakah karena seorang perempuan? Dima tidak tahu dan tidak mengerti.
"Sepertinya kau dapat teman baru."
Pandangan Dima menangkap senyum Bu Lastri. "Cuma berteman saja."
"Ibu yakin ini permulaan yang bagus," kata Bu Lastri santai. "Soalnya kau jarang bergaul dan dia terlalu sering tidur-tiduran."
"Semoga saja, Bu Lastri. Aku sendiri tidak terlalu yakin"
Bu Lastri menghela napas, "Jalani saja dulu, Dima."
Dima mengangguk saja. Mungkin ini sebuah permulaan yang baik, mungkin. Setidaknya dia sudah menepati janji kepada Bu Nora untuk berteman dengan Kilia.