Chereads / To infinity and Beyond / Chapter 36 - SOMETHING ARE MEANT TO BE (3)

Chapter 36 - SOMETHING ARE MEANT TO BE (3)

"Belum, tapi maukah kamu memberiku kesempatan untuk mengenalmu?"

Sebuah Kalimat godaan lain yang terselip keluar dari bibir manis seorang pria yang berbahaya. Dengan segala kepekaan instingnya, Alaska sadar bahwa pria ini tidak semata-mata menginginkan dirinya. Alaska dapat melihat kedalam jiwa Kala melalui tatapan matanya yang dingin ketika mengucapkan kalimat dengan nada yang begitu hangat. Segala sesuatu tentang pria ini sangatlah kontradiktif seakan di dalam dirinya terdapat iblis dan malaikat yang sedang bertarung. Kala bukan sekedar ingin menjadikan Alaska sebagai salah satu takhlukannya karena pria berbahaya yang saat ini sedang menatapnya itu menggiring Alaska menuju titik gelap yang bahkan Alaska tak mampu bayangkan.

Satu-satu nya hal yang mampu Alaska bayangkan adalah saat ini mereka sedang berdiri diatas papan permaian tanpa peraturan. Sebuah permainan yang menjadikan hati sebagai taruhannya, yang menang yang akan mematahkan hati yang kalah. Sebuah permaianan brutal yang tidak mengenal perasaan. Pada titik ini, Alaska mulai merasa gentar karena Kegagalan kisah cintanya dengan Kama masih meninggalkan trauma, meski tak mendalam namun sakitnya nyata. Akan tetapi, Ada suatu dorongan impulsif yang terus mendesaknya untuk melanjutkan hal gila ini. Seperti penjudi putus asa, Alaska meletakkan sisa-sisa keberaniannya untuk memulai permainan ini. Dia tidak yakin akan menang namun setidaknya dia akan mendapatkan jawaban diakhir permainan.

"Hanya jika kamu mengijinkan aku mengenalmu" ucap Alaska.

Sebuah kobaran api keberanian tersulut didalam dada Alaska dan terpancar dari kedua bola matanya. Dia mungkin bukan wanita berpengalaman, tapi Alaska bukan lagi seorang wanita bodoh. Cukup satu kali kesalahan dalam menilai laki-laki, membuat dia tidak akan tertipu lagi oleh muslihat yang sama. Mungkin, 3 tahun yang lalu dia hanyalah wanita bodoh yang jatuh cinta hanya karena pesona seorang pria yang berbuat baik dan bersikap lembut padanya. Namun sekarang dia sudah menjadi wanita yang belajar dari luka. Oleh karena itu, saat Kala mengucapkan kata-kata manis dan lembut padanya, pada detik itu dia tersadar bahwa pria ini memiliki maksud yang tersembunyi.

Kala yang memulai permainan ini, Alaska mengimbangi dan berdua mereka terjerumus kedalam lubang kerumitan yang mereka gali. "Apa yang dapat membuat kita saling mengenal dalam waktu singkat?"

Alaska tersenyum dan kembali melangkah menuju tempat dimana mobil mereka di parkir. "Kenapa harus singkat jika kita memiliki banyak waktu?" Alaska berkata sambil menoleh sekilas kearah Kala "menurutku untuk saat ini sebuah pertemanan sudah cukup untuk kita saling mengenal lebih dalam"lanjut Alaska.

Tepat pada saat Kala ingin mengatakan sesuatu, sebuah suara menyerukan nama Alaska. "Alaska!"

Sontak Alaska dan Kala menoleh ke sumber suara dan ternyata Kama sedang berlari kearah mereka.

"Kamu sudah mau pulang?" Tanya Kama saat sudah berhenti tepat didepan Kala dan Alaska yang hanya terdiam menyaksikan dirinya terengah-engah setelah berlari beberapa meter menyebrangi pekarangan rumah Anjas.

"Sudah larut." Jawab Alaska singkat.

"Biar aku yang antar ya?" Pinta Kama.

"Aku datang bersama Kala dan sudah seharusnya aku pulang bersama dia" jawab Alaska dengan nada dingin.

Kama menoleh kearah Kala yang maish berdiri dengan santai disamping Alaska. Wajah Kama memerah. Ada sesuatu dalam dirinya yang tidak menyukai pria arogan ini. Sejak mereka tiba dipesta beberapa jam yang lalu, pikiran Kama selalu terganggu dengan sosok Kala yang tiba-tiba muncul entah darimana dan menjadi teman kencan Alaska malam ini. Kama tidak tahu hubungan apa yang terjalin antara bedebah berwajah tampan ini dengan sahabatnya Alaska. Meski saat ini, Kama pun tidak begitu yakin dengan apa yang terjadi pada dirinya. Dia tidak dapat menguraikan perasaan aneh yang bergejolak dalam dadanya saat melihat seorang pria mendekati sahabatnya itu. Selama tiga tahun belakangan ini, Kama lah satu-satunya pria yang ada dalam hidup Alaska dan kenyataan bahwa kini ada pria lain yang mengisi tempatnya ego Kama terusik. Untuk saat ini, Kama menyimpulkan bahwa hanya ego nya yang terusik.

"Mungkin Kala tidak keberatan kalau aku mengantarmu pulang, iya kan?" Pertanyaan yang diajukan kepada Kala.

Alaska pun menoleh kearah Kala menantikan jawaban apa yang akan diberikan pria itu.

"Mengapa dia harus pulang bersama mu?" Sebuah pertanyaan untuk menjawab pertanyaan

Kali ini Kama mengalihkan tatapan nya kearah Alaska. Deg! Kama merasa sesuatu menghantam hatinya. Saat ini dia baru tersadar, bahwa dia merindukan sahabatnya itu.sudah lama semenjak terakhir kali mereka memancing bersama atau sekedar bertemu di kedai Starbuck.

"Ada yang harus aku bicarakan dengan dia"

"Ok. Kalau Alaska mau. I am fine with it" ucap Kala dengan santai sebagai tanggapan dari pernyataan Kama.

Alaska menatap Kama dan Kala secara bergantian. Hati kecilnya mengatakan bahwa dia harus menghentikan kegilaannya dan pulang bersama Kama. Benar memang bahwa laki-laki itu tidak kalah brengseknya dibandingkan laki-laki yang satunya, namun setidaknya Kama benar-benar temannya. Lagi pula, jujur Alaska pun merindukan Kama. Merindukan saat-saat memancing dan obrolan-obrolan singkat mereka. Akan tetapi hati kecil pulalah yang dulu mengatakan bahwa Kama adalah cinta pertama dan terakhirnya, dan lihat kemana bisikan hati kecil itu membawanya? Oleh karena itu , untuk pertama kalinya dia mengambil keputusan yang berlawanan dengan hati kecilnya.

"Maaf ma. Ayo, Kal" Kata-kata itu sudah cukup untuk membuat Kama berhenti membujuk Alaska.

Dengan kebimbangan hati yang membuncah dan tidak tahuan dirinya atas amarah yang tiba-tiba bergejolak disana, Kama menyaksikan Alaska pergi dengan pria brengsek itu.

Keesokan harinya, Alaska menjalankan rutinitas pekerjaannya. Dimulai dari bangun pagi, siap-siap, dan berangkat ke kantor yang hanya berjarak lima langkah tepat 5 menit sebelum pukul 07.00 pagi untuk melaksanakan apel pagi. Tidak ada hal yang menarik terjadi pagi itu, dan seperti biasa Alaska memeriksa obrolan dalam group pertemanannya di whatsapp.

Sudah ada pesan dari selfi yang dipenuhi emoticon matahari dan tanda hati.

Selfi:

Good morning!

Yuna:

Pagiii

Selfi :

Tumben sepi pada kemanaan?

Ketika Alaska sedang mengetik sebuah pesan disana, pesan lain dari Alif muncul

Alif :

Hadir

(Sambil mengirimkan gambar potret dirinya ditempat kerja)

Alaska :

Hadir

Yuna:

Weh! Yang habis party tadi malam. Enggak asyik eh enggak ngajak2!

Alif:

Party? Party dimana? Kok kamu tahu yun?

Yuna:

Party di tempat temannya Kama, si Anjas yang Hot itu. Aku tahu dari IG story nya Dalilah. Btw mana ini Dalilah? Jangan bilang masih wasted.

Alaska :

@yunaCerewet dasar stalker! Enggak mungkin lah Dalilah masih mabuk, ini kan hati kerja.

Alif:

LOL @yunaCerewet memang stalker. Btw kamu pergi kesana sama siapa? @Alaska

Alaska:

Rahasia..

(Emoticon wajah dengan lidah menjulur keluar)

Yuna:

Kalau dari IG story nya @Dalilah aku cuman liat dia, @alaska dan si kakak tampan Kala.

Alif :

Hanya ada 4 kemungkinan. 1. Alaska pergi bersama Dalilah dan Kala.

2. Alaska pergi bersama Kamandanu Adi

3. Alaska pergi sendiri

Dan kemungkinan ke 4 dan kemungkinan yang kita harap jadi kemungkinan terkeicl adalah : alaska pergi bareng Kala.

Yuna:

What? Please bilang @Alaska kalau kemungkinan keempat tidaklah benar.

Alaska:

Kenapa harus tidak benar @yunaCerewet?

Yuna:

Itu sungguh enggak bisa diterima! Kakak Kala tampan itu kn off limit bilangnya @Dalilah!

Alaska :

(Emoticon mengangkat bahu)

Yuna:

I hate you

(Emoticon marah)

Alif :

Apakah ini berarti 'off limit' nya dibatalkan, dan terbuka bagi kita kesempatan yang sama ? @Dalilah

Tiba-tiba Dalilah muncul dalam group dan langsung mengetik. Entah mengapa Alaska menjadi gugup.

Dalilah:

'Off limit' tidak akan dicabut untuk siapapun dan sampai kapanpun.

Sebuah ultimatum! Mungkin semua anggota group hanya menanggapi kata-kata tersebut sebagai bahan candaan seperti biasanya, namun Alaska Tahu Dalilah sama sekali tidak sednag bercanda. Tiba-tiba wajah Serius Dalila tadi malam saat mengatakan bahwa Alaska harus berenang ketepian dan melawan arus keinginan menyukai Kala. Pada saatu itu hingga pagi ini, Alaska masih yakin bahwa dia sama sekali tidak bernia melewati garis batasan yang telah Dalilah gambar secara tak kasat mata karena dia tidak menyukai Kala dan tidak akan menyukai pria itu, namun mengapa dia masih merasa bersalah?

Alaska menutup jendela obrolan group di aplikasi whatsappa dan mengalihkan perhatiannya pada pekerjaan kantor yang sudah menumpuk. Baru sepuluh menit dia tenggelam dalam tumpukan pekerjaan, suara ketukan pintu menarik perhatiannya. Ternyata itu selfi.

"Hi!" Sapa Alaska.

"Hi! Lagi apa?" Selfi berjalan kearah Alaska dan duduk disebuah kursi disampingnya.

"Ini buat rencana kegiatan opsnal, kenapa?"

"Enggak, mau ngobrol saja sambil tunggu surat yang di koreksi sama Ka Taud sebelum diajukan ke pak Direktur."

"Oh. Bagaimana kemaren acara penjemputan ortu dan kakak tersayang di Bandara?" Tanya Alaska mengenai kepulangan kedua orang tua Selfi dari mengunjungi Kakaknya di Jakarta dan ternyata kak Sheela beserta suami dan anaknya pun ikut serta.

"Fun. Anaknya Kak Sheela anteng banget padahal masih baby. Oh ya, ngomong-ngomong kemaren kamu beneran ke Pestanya Anjas? Ketemu Adi?"

Terkadang, Alaska sedikit merasa risih jika menceritakan perihal kisah cintanya dengan Kama, karena bagaimanapun juga Kama merupakan sepupu Selfi. Tapi untungnya, Selfi tidak pernah berat sebelah dan membela sebelah pihak saja. Dia benar-benar yang paling bijaksana diantara kami.

"Iya aku ketemu adi disana. Dia sama Lidsey." Jawab Alaska.

Alaska sendiri heran mendengar nada bicaranya dimana dia tidak menemukan sedikitpun rasa kecewa didalamnya, seakan-akan dalam sekejap dia dudah melupakan Kama.

"Dia balik lagi sama Lidsey?" Selidik selfi

"Don't know, Don't care" tapi ternyata rasa sakit itu masih ada meski sedikit.

Selfi hanya tersenyum memaklumi mendengar cara dan nada bicara sahabatnya itu. Bukan hal mudah mencintai seorang pria tanpa sedikitpun balasan selama tiga tahun.

"Dalilh pasti ketus banget itu waktu ketemu Adi sama Lidsey, diantara kitakan dia yang paling emosian kalau denger cerita-cerita mu"

"Enggak, dia enggak dapet kesempatan buat ketusin kama malam itu. karena waktu ketemu Kama dan Lidsey, Dalilah belum datang."

Alaska masih memusatkan perhatiannya kearah komputer sambil menanggapi perkataan Selfi.

"Oh begitu. Tumben kamu mau dateng ke pesta Anjas, kan daerah somber kalau malem sepi. Memang enggak takut kamu tadi malem pulang sendiri?" Selidik Selfi lebih dalam

Sebelumnya Alaska masih tidak memahami kearah mana pembicaraan Selfi, sampai ketika pertanyaan Yang baru selfi ajukan membuat Alaska sadar bahwa sahabatnya itu sedang berusaha mencari tahu dengan siapa dia pergi ke pesta Anjas tadi malam.

"Kenapa kamu enggak langsung tanya saja , sel? Kenapa harus berbelit? Apa ini interogasi?"

Alaska sedikit merasa terganggu dengan sikap Dalilah dan Selfi beberapa waktu belakangan ini, dimulai dari kejadian di MCd, rumah Dalilah, pesta tadi malam dan sekarang ini.

"Jadi benar kamu pergi dengn kala tadi malam" sebuah pernytaan kesimpulan bukan pertnyaan yang diajukan.

"What's wrong with you guys? Kamu dan Dalilah sudah betingkah aneh sejak beberapa waktu lalu. Sebenarnya ada apa si?"

Selfi hanya tersenyum masam mendengar pertanyaan Alaska. Dia bergeming ditempatnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, sampai akhirnya Alaska sampai pada kesimpulannya sendiri.

"Apa..." alaska menatap lurus kearah Selfi.

Selfi berusaha menyembunyikan emosinya. Pahanya terasa panas karena dia cengkram sekuat mungkin.

"Karena aku..."

Untuk pertama kalinya Selfi merasa ingin lari dari situasi ini. Paru-parunya hampir kekurangan oksigen karena sejak tadi dia menahan napas.

"Tidak pantas untuk Kala? jadi kalian berusaha mencegah aku menjadi orang bodoh untuk kedua kalinya dengan jatuh cinta lagi pada laki-laki di luar jangkauanku?"

Mendengar pertanyaan Alaska itu, seketika udara memenuhi paru-paru selfi yang sudah mengkerut meronta-ronta dan cengkramannya mengendur hanya tinggal perih yang tersisa disana. Kemudian, Selfi tersenyum lega.

"Bukan Alasci, bukan begitu. Aku hanya penasaran saja."

Kebohongan. Alaska tahu itu, tapi rasa penasran dan keinginannya untuk memecahkan teka-teki ini menahan Alaska untuk mengkonvrontasi Selfi lebih jauh. Jika dia memaksa sekarang, Alaska sadar dia tidak akan mendapatkan jawaban apapun. Dia harus bersabar. Oleh karena itu dia hanya membalas selfi dengan sebuah senyuman yang hangat.

Rasa bersalah tumbuh merambat secara perlahan sperti tanaman Ivy yang merambati dinding kokoh bangunan tua. Tapi kali ini, Alaska membiarkan rasa bersalah itu tumbuh karena dia yakin sebelum tanaman itu merobohkan dinding hatinya dia sudah akan memecahkan misteri ini dan mencabut rasa bersalahnya dengan cara membantu sahabat-sahabatnya.

Alaska mencari pembelaan atas tindakannya. Dia yakin bahwa hanya dengan memahami duduk permasalahan , sesorang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Lagi pula bukan Alaska yang pertama kali menyeburkan diri kedalam kolam maslah ini, tapi pria berbahaya bernama Kala yang menyeretnya untuk terjun bersama. Jadi, ini bukan sepenuhnya salah Alaska. Ini adalah permainan pria itu dan dia akan memenangkannya, setidaknya di akhir permainan ini, Alaska akan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan nya. Pertanyaan seperti : Mengapa tante tami tiba-tiba mengamuk tanpa alasan seperti orang gila? Mengapa Dalilah melarang teman-temannya mendekati Kala? Dan mengapa Selfi ingin membantu Dalilah menjaga batasan itu? Apa yang diketahui sahabatnya itu?