Tidak ada yang pernah memberitahuku akan hal ini, bahkan selama seminggu aku disini, ibu tak pernah menceritakannya sama sekali.
"Kau kenapa, Mia? Apa kau sakit?" Ibu memegang kedua pundakku sambil berjongkok.
"Ibu ... apakah suatu hari nanti aku akan di apodsi juga?"
"Hah? Apa itu apodsi mia?" Ibu terlihat kebingungan.
"Ehh?! Maksudku aa.. adopsi." Aku menggaruk-garuk kepala.
"Oohhh ... Adopsiii. Benar, Mia, suatu hari nanti kau akan diadopsi oleh orang yang ingin menjadikanmu sebagai anaknya. Jika kau telah memiliki orangtua baru, kau akan hidup bahagia bersama mereka."
"Tapi … Aku lebih bahagia jika aku tinggal bersama ibu," ucapku lesu.
Ibu tersenyum kecil. "Mia, anakku sayang. Kau membutuhkan orangtua yang lengkap, yang bisa menafkahimu dan menyekolahkanmu hingga tuntas. Ibu tidak akan bisa membahagiakanmu dalam jangka panjang seperti mereka, Nak."
Aku lalu memeluk ibu dengan erat. "Aku menyayangimu." Mataku mulai berkaca-kaca, rasanya aku ingin menangis, tapi aku teringat akan janji yang telah kubuat saat terakhir kali aku merengek di depan pemakaman ayah.
Saat itu, aku telah berjanji bahwa hari itu adalah hari terakhir aku menangis, aku tidak akan pernah melakukannya lagi karena itu hanya akan membuat ayah bersedih saat dia melihatku dari surga.
Aku lalu menarik napasku dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan agar aku bisa mengontrol rasa sedih ini.
Keesokan harinya, saat aku bermain di taman bersama anak-anak lainnya, tanpa sadar aku ketiduran ditaman karena kelelahan. Ditengah lelap, aku mendengar samar-samar suara menyanyikan sebuah lagu yang tak asing ditelinga.
"You are my sunshine
My only sunshine
You make me ha..
"Ayah!" Aku segera bangun mengambil posisi duduk, kuarahkan pandangan kepada suara samar-samar seperti suara ayah yang menyanyikan lagu favoritku. Ternyata benar itu ayah! Apa aku sedang mimipi?
Tapi secara perlahan pandanganku mulai berubah, ayah yang kulihat tadi kini berubah menjadi sesosok anak yang usianya tidak jauh dariku. Kulitnya terlihat putih, rambutnya hitam dan memiliki bola mata berwarna biru.
"Ayah?" Anak itu mengerutkan dahinya kebingungan.
"Si-Siapa kau?! Aku tidak pernah melihatmu di sini."
"Ah, aku baru saja datang tinggal di panti asuhan. Namaku Gray." Senyumnya sambil menawarkan jabat tangan.
"Em … Aku Mia." Aku balas memperkenalkan diri lalu berjabat tangan dengannya.
Percakapan terhenti, membuat suasana terasa canggung. Hingga beberapa saat, aku mengambil ide untuk membuka obrolan terlebih dahulu.
"Gray, lagu tadi … em … kau hafal liriknya?"
"Tentu saja. Itu adalah lagu tidur yang selalu dinyanyikan ibu sebelum dia meninggal karena penyakit kankernya." Gray menggaruk-garuk kepala sambil tersenyum tipis.
Aku tidak menanyakan lebih lanjut lagi, karena apa yang dialaminya tak jauh berbeda denganku. Yang jelas, pertemuan pertama dengannya tanpa sadar telah membuat kami semakin dekat.
Setelah dua minggu kemunculan Gray di panti asuhan, ada hal yang membuatku bingung. Ini aneh, saat aku berada didekatnya aku merasa kalau jantungku berdegup kencang. Saat bersamanya, aku merasa jika aku sangat bahagia, sebuah kesejukan hati yang tak dapat aku ungkapkan dengan kata-kata, sebuah kebahagiaan yang terasa berbeda dari yang selama ini kudapatkan dari ayah maupun ibu asuhku Revy.
Apa yang terjadi denganku? Apa aku sudah gila?
Waktu terus berlalu, tanpa terasa kami sudah bersama selama 3 bulan. Hari dimana kami akan berpisah akhirnya tiba karena Gray akan diadopsi hari ini.