"Jangan terlalu kau pikirkan, suatu saat kau akan mengerti, sekarang tidurlah bidadari kecil." Ayah lalu mencubit pipiku. Aku mengangguk pelan lalu memejamkan mata.
Keesokan harinya, selesai sarapan, ayah mengantarku pergi sekolah.
Oh iya, aku sekolah di SD Pelita, salah satu sekolah dasar yang terkenal di kotaku. Pada usia 10 tahun ini, aku menduduki bangku kelas lima.
Di dalam kelas terdengar suara yang gaduh, hal itu sudah biasa terjadi saat guru belum memperlihatkan batang hidungnya, apalagi murid-murid dikelasku terdapat banyak siswa yang nakal.
"Woi! Pembawa sial! Kenapa kau diam aja? Lagi mikirin inbumu yang mati karena sudah melahirkanmu, ya?" pekik seorang gadis dibangku sebelah yang membuatku menutup telinga.
Aku hanya diam berusaha tidak memperdulikan ucapannya, dia terlihat tidak puas akan responku, lalu ucapannya semakin menjadi sampai aku merasa tak tahan lagi.
"maumu apa, sih, sebenarnya?" Aku bangkit berdiri sambil memukul meja dengan keras.
"Mia! Ikut saya sebentar." Tiba-tiba terdengar suara seorang pria tua yang berdiri didepan pintu.
"Duh, mampus aku." Aki bergumam kecil ketika melihat pria tua yang biasa dipanggil Pak Edi memanggilku. Dia adalah guru paling buas di sekolah, sekali dia mengamuk, pekikannya dapat menyamai suara ledakan nuklir yang dapat membuat jantung berhenti berdetak seketika.
Aku kemudian melangkah pelan menghampirinya dengan sedikit gemetar. Kuikuti dia dari belakang sampai langkahnya terhenti pada sebuah ruangan yang bertulis "Ruang Kepsek" yang membuatku semakin merinding karena menurut legenda masyarakat setempat, kepala sekolah menduduki peringkat kedua akan kebuasannya.
Yang membuatku bingung adalah kenapa aku harus dibawa ke ruang KepSek? Padahal baru pertama kali ini aku ketahuan bertingkah arogan seperti tadi. Apa sistem hukum rimba disekolah ini telah berubah? Aku menopang dagu sambil mengernyitkan dahi.
Kriieettt!
Baru kali ini aku merasa suara pintu yang terbuka begitu horor sampai bulu kudukku bergidik. Jauh di depan sana terlihat seorang pria tua yang mengenakan kacamata menatapku tajam, terpancar aura mematikan dari sekujur tubuhnya, membuat napasku sesak. Pria tua itu tidak lain adalah Pak Erwin, kepala sekolah yang selalu menatap murid-muridnya dengan tatapan mematikan! Aku hanya berjalan pelan kearahnya sambil menunduk tak berani adu tatap dengan mata kematiannya.
"Mia …."
"I-Iya pak?" sahutku terbata-bata.
"Ada yang ingin bapak sampaikan kepadamu."
"A-Apa itu pak?" Aku menundukkan kepala, tidak berani melihat wajah horornya.
"Ini mengenai ayahmu."
Aku menghela napas lega. Ternyata aku dipanggil bukan karena masalah yang kuperbuat tadi, yang membuatku sekarang bisa dengan santai menaikkan kepala untuk menatap. "Ayah? Kenapa dengan ayab?"
"Ayahmu ...."
Aku mengerutkan dahi. "Ada apa pak? Kenapa anda tidak langsung memberitahu saya dengan jelas?" Rasa penasaranku semakin besar melihat raut wajah Pak Edi yang terlihat aneh, seakan menyimpan sesuatu yang berat untuk diceritakan.
"Ayahmu baru saja mengalami kecelakaan."
"Apa?" Secara spontan aku langsung berdiri karena kaget. "Lalu bagaimana kondisi ayah sekarang? Bisakah bapak mengantarku ke rumah sakit untuk menjenguknya sekarang?" Napasku seketika terasa sesak, ah, ayah! Semoga kau tidak ada yang terjadi padamu sekarang!
Dia berdiri lalu memegang pundakku dengan wajah yang seolah-olah memberitahuku kalau sesuatu yang buruk telah terjadi dengan ayah.
"Jangan bilang kalau ...."
Dia mengangguk pelan. "Bapak turut berdukacita, Nak. Setelah mengalami kecelakaan, ayahmu dilarikan ke rumah sakit terdekat ..."