"Tapi dalam perjalanan … dia tidak mampu bertahan akibat mengalami pendarahan yang cukup serius."
Bak disambar petir, aku benar-benar shock setelah mendengarnya, seakan tidak percaya apa yang terjadi, aku marah dan menganggap candaan kepala sekolah sangat keterlaluan. Tapi, dari raut wajahnya terlihat jelas kalau dia serius akan ucapannya.
Aku lalu terduduk lesu, mataku berkaca-kaca, kenapa semua ini menimpaku? Hanya ayah satu-satunya yang memperlakukanku secara istimewa, tapi sekarang dia telah pergi meninggalkanku seperti ini. Aku bahkan tidak akan bisa merasakan kehangatan yang setiap malam dia berikan kepadaku lagi. Bagaimana aku harus hidup sekarang? Apa sebaiknya aku ikut mati saja? Pikiranku sangat kacau sampai aku tak tahan lagi untuk meneteskan airmata.
"AYAAAAH!" seruku keras, sudah tidak sanggup membendung rasa sakit yang terus menusuk ini.
Aku terdiam membisu, tidak sanggup berkata-kata, hanya airmata yang membasahi pipi, seakan-akan mewakili perasaanku untuk mengungkapkan semua yang tidak dapat tersampaikan oleh bibir.
"Jangan bersedih lagi Mia." Seorang wanita paruh baya menggunakan kacamata hitam memegang pundakku. Dia adalah Alice Erickson, tanteku, adik dari ayah.
Aku lalu membalik badanku dan memeluknya dengan erat. Seakan tak mampu menahan perasaan ini terlalu lama lagi, aku merengek keras dalam pelukannya.
Sejak kepergian ayah, aku tinggal bersama dengan tante Alice. Dia memiliki seorang anak perempuan yang seusia denganku, namanya Viona Erickson. Kami hanya tinggal bertiga karena suaminya tante Alice, Grey Erickson hampir menghabiskan waktunya sepanjang tahun diluar negeri untuk pekerjaan bisnis.
Awalnya, mereka berdua sangat baik terhadapku. Sampai pada tahun kedua kami tinggal bersama, tepatnya disaat tante Alice mendapat hak menjadi ahli waris harta kekayaan milik ayah, semuanya menjadi berubah. Tante Alice dan Viona mulai menunjukkan taring dan setiap saat memperlakukanku layaknya seorang pembantu, bahkan, kekerasan yang mereka lakukan terhadapku sudah menjadi makananku sehari-hari.
"Hei, yatim piatu!" teriakan Viona itu membuatku kesal! Aku segera melototnya dengan tajam, ingin rasanya kucincang tubuhnya hingga menjadi potongan-potongan kecil untuk dijadikan bumbu penyedap masakan.
"Apa lihat-lihat, Hah! Kau mau marah padaku?!" Dia lalu mendorong tubuhku dengan keras hingga aku terjatuh.
"DASAR ANAK MAMI SIALAN!" Teriakku dengan keras karena sudah tidak dapat menahan emosi. Tapi sayangnya, teriakan itu hanya dapat terdengar dalam hati. Hanya itu yang dapat kulakukan selama 2 tahun ini, mengutuk mereka berdua setiap saat.
Aku tahu, dia sengaja memancing emosiku agar disaat aku lepas kendali, Viona akan mengeluarkan senjata pamungkasnya dengan memanggil tante Alice dengan berteriak "Mommy!" Lalu secara misterius tante Alice akan muncul dari belakang dan akan menerkam seolah-olah aku terlihat seperti makanan siap saji baginya.
Kau pikir, aku bodoh apa? Aku tidak mungkin terkena jebakan batman seperti itu!
Aku bangkit perlahan, kutebarkan sebuah senyuman indah kepada Viona, senyuman yang sekaligus memberikan sebuah sinyal kemenangan karena aku tidak terpancing oleh tingkah arogannya.
"Dasar yatim piatu sialan!" Viona menjambak rambutku keras, dia mengerat giginya dengan geram.
"Sakit, bodoh!" Kutepis tangannya dengan kuat hingga tersapu dari rambutku.
"Kau! Berani sekali, ya!" Viona hendak menampar, tapi dengan cepat aku tahan pergelangan tangannya. Emosiku menggebu-gebu, aku sungguh geram sampai gigiku mengeratkan sejak tadi.
Ternyata di ujung sana, Tante Alice melihat apa yang aku lakukan. Dia berseru keras membuatku tersentak.