Bagaimana Kalau Rasa itu 'Cinta'?_Skala.
.
.
.
.
.
Binar terlihat melamun di warung Mpok Romelah, wajahnya terlihat memikirkan sesuatu. Tak ayal tingkahnya tersebut mengundang rasa penasaran teman-temannya.
"Lo kenapa, Nar?" tanya Jovan pada Binar.
Lelaki yang memakai kaos hitam itu hanya diam saja. Membuat Jovan berpandangan dengan Zaki.
"Woy!" teriak Zaki menepuk pundak Binar agak kencang.
"Hah?" Binar tersentak kaget. "Kenapa? Kenapa?" tanyanya gelagapan.
"Ck, Lo kenapa sih?" decak Jovan sedikit kesal. "Lai mikirin apa sih Lo, sampai ngebuat agenda bolos kita jadi garing gini."
"Bosen gue lihat muka lecek Lo," sambung Zaki.
"Gue...."
"Brengsek!"
Makian dari Ega yang baru datang di warung Mpok Romelah membuat Binar tak jadi menceritakan kemelut di hatinya.
"Lo kenapa, Ga?" tanya Binar pada lelaki yang datang dengan luka di bibir dan pipi. Seragam sekolahnya terlihat lecek dan penuh keringat.
"Gue habis dihajar anak Roma," sahut Ega menegak botol minum yang dibelinya dari Mpok Romelah.
"Dihajar? Kok bisa?" tanya Binar bangkit dari kursinya, menghampiri Ega yang berdiri tak jauh dari mereka. Lelaki itu memang sensitif kalau mendengar nama sekolah musuh disebut-sebut.
"Gue juga nggak tahu, Si Lanang main keroyok gue saat kita ketemu di District 9," ujar Ega.
"District 9? Lo ngapain ada di sana?" tanya Binar heran, menatap curiga ke arah Ega.
Ega terlihat salah tingkah. "Gue cuma main doang kok," jawabnya pelan.
"Ga, Lo nggak...."
"Sumpah! Gue nggak pakai, Jov," ujar Ega memotong ucapan Jovan. Lelaki itu terlihat panik. "Maksud gue... Gue emang ada niat buat nyari itu di Braga, tapi gue nggak sempat ketemu sama dia karena keburu dihajar sama Lanang." Ega akhirnya berkata jujur.
"Brengsek! Gue udah pernah bilang nggak ada kata narkoba di kelompok kita," bentak Binar mencengkeram kerah baju Ega. "Keluar dari kelompok ini kalau Lo emang pengen pakai. Paham Lo!"
"Iya, gue minta ma'af karena sempat kacau dan punya niat kayak gitu." Ega terlihat menunduk.
Binar melepaskan cengkeramannya pada kerah baju Ega. "Lanang nggak mungkin mukul Lo hanya karena kalian berada di dalam satu wilayah yang sama," ujar Binar menurunkan nada suaranya.
Ega menghela nafas. "Gue emang sempat mancing duluan, tapi..."
"Kalau begitu salah Lo," potong Binar tak acuh.
Ega mengeratkan rahangnya yang mengeras. "Dia ngeroyok gue, Nar," desisnya.
"Itu akibat dari emosinya yang tidak pada tempatnya, jadi tanggung sendiri akibatnya." Setelah mengatakan tersebut, Binar berlalu pergi.
Jovan dan juga Zaki juga ikut pergi, mereka bertiga pergi dengan motor sport masing-masing.
"Bangsat!" maki Ega dengan amarah yang memuncak. Tatapan tajsmnya terhunus pada perginya 3 orang tadi.
*****
"Makasih ya, Nak Dastan, sudah mengantar kita ke rumah," ujar Ratu tersenyum ramah.
"Iya, Tan, sama-sama."
"Mau masuk dulu nggak? Tante buatin jus alpukat kesukaan kamu," tanya Ratu.
"Waduh, Dastan mau banget sih, Tan, tapi kayaknya saya harus balik sekarang. Takut nanti sampai rumah kemalaman, Mama jadi parno karena kejadian dulu. Takut saya kenapa-kenapa kayak... Dulu," sahut Dastan menolak dengan sopan. Lelaki itu tersenyum tipis.
"Iya, Tante ngerti. Kalau Tante jadi Mama kamu, Tante pasti juga akan khawatir dan lebih protektif sama kamu. Sekarang aja Tante juga gitu sama Skala."
"Ya udah, Tan, saya pamit pulang dulu. Salam buat Skala."
"Iya, kamu hati-hati di jalan ya."
"Oke, Tan."
Dastan berlalu pergi dengan mobil yang ia pinjam dari Papanya untuk mengantar Ratu dan Skala pulang dari Rumah Sakit.
Setelah Dastan pergi, Ratu masuk ke dalam rumah. Wanita itu mengunci pintu depan dan kemudian berjalan menuju kamar putri semata wayangnya.
"Kok, belum tidur. Tadi 'kan Mama suruh kamu masuk rumah duluan, supaya kamu bisa langsung istirahat," ujar Ratu saat memergoki putrinya sedang duduk di atas kasur, terlihat tengah memikirkan sesuatu.
"Mama tahu kalau aku sama Dastan pacaran?" tanya Skala pada Ratu.
"Kamu sudah tahu? Ingatan kamu sudah kembali," tanya Ratu kaget. Wanita itu mengambil duduk di sebelah Skala.
"Belum, Ma. Aku tahu dari Dastan. Awalnya dia emang nggak mau cerita, tapi aku paksa dia. Selama aku mengenal Dastan, aku merasa hubungan kami lebih dalam dari sekedar teman satu sekolah. Firasat aku benar karena ternyata dia dan aku itu menjalin hubungan," cerita Skala panjang lebar.
"Kamu belum ingat apapun tentang Dastan, tapi kamu tahu bahwa kalian berdua pacaran." Skala mengangguk. "Dan fakta itu membuat kamu bingung?" tebak Ratu tepat sasaran.
Lagi-lagi Skala mengangguk. "Ya, aku hanya... Bingung harus bersikap bagaimana di depan Dastan. Aku takut dia kecewa setiap bersamaku karena aku belum mengingat kebersamaan kita dulu."
Ratu tersenyum sembari menepuk lengan putrinya. "Apa yang kamu rasakan saat di dekat Dastan?"
"Hah? Ee... biasa aja sih," sahut Skala.
"Deg-deg an nggak?"
Pipi Skala merona merah. "Mama kok nanya gitu sih?" ujarnya salah tingkah.
"Kenapa? Pasti jawabannya iya, 'kan?" goda Ratu tersenyum.
"Ehm." Skala diam sejenak. "Kadang-kadang sih, saat dia melakukan hal-hal yang lucu atau menggodaku."
"Kamu sering mikirin Dastan?"
"Ehm, iya, beberapa kali, apalagi beberapa hari ini."
"Suka senyum-senyum sendiri saat bayangin dia?"
"Iya sih, terkadang. Orangnya jayus sih, jadi kadang suka lucu kalau diingat-ingat lagi."
"Ck, benar kata orang. Kita bisa jatuh cinta berkali-kali pada orang yang sama, tapi tidak dengan rasa benci," gumam Ratu tersenyum.
"Maksud Mama, aku jatuh cinta lagi sama Dastan?"
"Terlalu dini sih, untuk menyebutnya rasa cinta. Kita tunggu aja, La, gimana perkembangannya perasaan kamu. Biarkan semuanya mengalir dengan sendirinya."
Skala hanya tersenyum tipis.
Aku juga sering seperti itu saat bersama Binar, lantas apakah aku juga perlu menunggu rasa itu mengalir dengan sendirinya.
Bagaimana kalau rasa itu cinta?