Gue juga nggak tahu, La, kenapa Deandles sama Roma bermusuhan. Gue cuma meneruskan apa yang sudah dilakukan generasi terdahulu. Yang bisa gue lakukan hanya merubah perjanjiannya. Dimana kita semua pantang melibatkan perempuan dan menggunakan senjata_Dastan.
.
.
.
Skala duduk gelisah di depan teras rumahnya, fikiran gadis itu melayang pada sosok yang membuatnya selalu penasaran. Dua hari menjadi bagian dari Deandles memang terasa biasa saja, tidak ada hal yang istimewa. Satu-satunya hal yang mengganggunya justru sikap tenang dari Binar.
Sejak awal, lelaki itu sudah memperingatkan Skala tentang rasa tidak suka laki-laki itu terhadap dirinya. Tapi sejauh ini, lelaki itu tidak pernah menunjukkan gerak-gerik yang berlebihan, hanya sebatas gangguan kecil dan juga... tatapannya yang membuat Skala merinding.
Sava sudah cerita banyak tentang Binar, betapa nakalnya laki-laki itu. Sering membuat onar, bolos sekolah, melanggar aturan seperti bernafas, dia juga sering ikut tawuran. Satu fakta lainnya bahwa sekolah yang sering di ajak tawuran oleh Deandles adalah Sekolah Roma. Sekolah yang dulu pernah menjadi tempatnya menuntut ilmu.
"Apa karena gue dari sekolah Roma, ya, makanya anak-anak pada ngomongin gue?" gumam Skala pelan.
Deru mobil yang berhenti di depan rumah Skala membuyarkan lamunan gadis itu tentang sosok Binar. Namun seseorang yang baru saja keluar dari mobil sport warna merah itu justru seseorang yang tengah Skala fikirkan. Skala mendengkus jengah, terlihat ogah-ogahan saat menghampiri sosok Binar yang berdiri di depan gerbang rumahnya.
"Hai, Skala," sapa Binar memamerkan senyum lebarnya.
"Lo tahu rumah gue darimana?" tanya Skala sengit.
"Bu Sonya 'kan sohib gue," sahut Binar tersenyum puas. Lelaki itu berhasil menipu Bu Sonya selaku pengawas BP, mengucap sedikit kebohongan hingga perempuan akhir 30-an itu memberitahu alamat Skala kepada Binar.
"Terus Lo mau ngapain ke rumah gue?" tanya Skala masih dingin. Sama sekali tak berniat untuk mempersilahkan Binar memasuki rumahnya.
"Ya elah, di hari Minggu yang cerah ini, kenapa sikap lo dingin banget sama gue?"
"Udah deh, nggak usah basa-basi. Mau lo apa?"
"Mau main lah."
"Main? Eh, Binar. Kita itu nggak punya hubungan yang mengharuskan lo main ke rumah gue. Sok akrab banget sih, lo!"
"Justru karena kita nggak akrab, makanya gue ingin main ke rumah lo. Supaya kita bisa jadi lebih akrab."
"Gue nggak minat temenan sama...."
Kalimat Skala terhenti saat ada sebuah motor besar berhenti tepat di sebelah mobil sport milik Binar. Lelaki yang mengendarahi motor tersebut melepas helm yang menutupi seluruh wajahnya, kemudian turun dari motor dan menghampiri Skala dan Binar. Skala dapat melihat lirikan sinis dari lelaki yang baru datang itu dan juga dengkusan tak suka dari bibir Binar.
"Hai, La," sapa Dastan tersenyum tipis ke arah Skala.
"Eh, hai... Dastan," sapa balik Skala.
"Duh, gganggu aja, sih," gumam Binar tak suka. Bukan gumaman lirih, tapi keras layaknya orang berbicara. Kontan saja Dastan melirik tajam lelaki itu.
"Kalau terganggu, mendingan lo cabut aja," balas Dastan dingin.
"Kok, gue yang cabut. Lo aja sono! Gue yang datang duluan!" omel Binar kesal.
"Gue ada perlu sama Skala," jawab Dastan masih dingin.
"Ada perlu sama gue? Ada apa, Das?" tanya Skala heran. Ini pertemuan kedua mereka, jadi ada urusan apa sampai laki-laki itu mendatangi rumahnya.
"Bisa ngobrol di dalam?" tanya Dastan lembut.
Skala berfikir sejenak, kemudian membukakan gerbang rumahnya untuk Dastan.
"Eh, gue juga ikut!" teriak Binar memaksa masuk.
Namun Dastan segera meraih pundak Binar dan mendorongnya ke belakang. "Tunggu di sini sampai gue selesai ngobrol sama Skala," ujarnya dingin.
Binar dapat melihat tatapan permusuhan dari mata elang milik Dastan, begitu juga dengan Skala. Lelaki itu memilih untuk mengalah, dia kemudian kembali ke dalam mobilnya begitu pamit sama Skala.
Di dalam rumah asri milik Skala, Dastan duduk gelisah di sofa kayu yang berada di ruang tamu rumah Skala. Laki-laki itu hanya menunduk diam, sesekali melirik seisi ruangan. Menunggu Skala yang sedang membuatkan minuman untuknya. Beberapa menit kemudian Skala datang dengan membawa nampan yang di atasnya ada segelas es jeruk untuk Dastan.
"Di minum, Das," ucap Skala kemudian duduk di sofa single di sebelah Dastan.
Dastan kemudian meneguk minuman buatan Skala hingga hampir separuh. Laki-laki itu kemudian tersenyum tipis. "Masih aja kemanisan," gumamnya pelan.
"Hah?" Skala mengerutkan keningnya saat mendengar gumaman tak jelas dari mulut Dastan.
Dastan pun jadi salah tingkah. "Enggak, nggak apa-apa."
Skala hanya tersenym tipis, gadis itu bergerak gelisah di kursinya. "Jadi, mau ngomong apa?"
Dastan menghela nafasnya sejenak. "Sebelum lo pindah ke Deandles... lo tau 'kan, sekolah dimana?" tanya Dastan pelan.
Skala mengangguk mengiyakan. "SMA Roma."
"Apa lo juga tau, kalau Roma dan Deandles itu musuhan?" tanya Dastan lagi.
Skala terdiam sejenak. "Sebatas tau, tapi nggak ngerti awal mula kenapa mereka bermusuhan."
Dastan menatap lembut tepat ke mata bening milik Skala. "Itu artinya lo juga tau, betapa berbahayanya sekolah di SMA Deandles," lirihnya kemudian.
"Ehm... berbahaya? Das, orangtua gue nggak mungkin pindahin gue ke Deandles. Kalau tau gue bakal dalam bahaya," ucap Skala pelan.
"Iya gue tau, tapi tetap aja gue ngak tenang," keluh Dastan mengacak-ngacak rambutnya frustasi.
Skala melihat sikap Dastan tersebut dengan kening berkerut. "Kenapa lo nggak tenang?" tanyanya bingung.
"Itu... Itu karena gue..." Dastan terlihat bingung harus menjawab apa. Laki-laki itu kemudian kembali menatap Skala serius. "Lo itu sahabat Gia, jadi gue care sama lo. Pesan gue cuma satu, La, jangan dekat-dekat sama Binar dan teman-temannya. Kalau lo ada masalah, lo langsung telfon gue, ya."
"Ehm, oke." Walaupun masih heran, Skala memilih untuk mengiyakan nasehat Dastan barusan. Sejujurnya dia juga tidak ingin dekat-dekat dengan Binar dan antek-anteknya itu.
Setelah mengatakan itu Dastan segera pamit, di luar gerbang tatapannya kembali bertubrukan dengan mata tajam milik Binar. Aura permusuhan jelas sekali terasa di antara mereka berdua. Skala kembali menutup gerbang rumahnya begitu Dastan sudah hilang bersama motor besarnya.
"Lho, La. Kok, gerbangnya ditutup? kan gue belum masuk!" protes Binar.
"Bentar lagi Sava datang, lo nggak mau kan kena amukan dia. Tadi dia udah pesan kalau gue harus ngusir lo dari rumah gue," ujar Skala ketus.
"Ah, Sava! Demen banget, sih, bikin gue menderita," omel Binar.
Skala tersenyum kecil melihat wajah senewen Binar.
"Eh, lo bikinin gue minum dulu, gih. Gue haus banget, nih," ujar Binar kemudian. Mencari-cari alasan untuk tetap singgah barang sebentar.
"Ogah, udah sana pergi!" ketus Skala lantas berjalan ke dalam rumah. Meninggalkan Binar yang ngomel-ngomel di depan gerbang.