Nggak semudah itu, La, nglepasin Lo untuk orang lain. Terutama gue tau siapa orang yang memperjuangkan Lo saat ini_Dastan.
.
.
.
"Thanks ya, Das. Udah nganterin gue ke sekolah," ujar Skala setelah turun dari motor Dastan.
"Hehm. Walaupun resikonya besar," gumam Dastan pelan.
"Hah? Lo bilang apa?" tanya Skala bingung.
"Enggak kok. Ya udah gih, masuk sana! Gue cabut dulu," suruh Dastan kemudian.
"Oke." Skala pun masuk ke dalam sekolah.
Dastan hanya diam menatap punggung Skala yang menjauh.
"Wow, panglima Roma ada apa nih, datang ke sekolah musuh? Kangen sama pujaan hatinya ya?" Sebuah ledekan datang dari arah kanan gerbang. Binar datang bersama Jovan, Zaki dan Ega. Mereka baru dari warungnya Mpok Romelah, habis nyebat mungkin.
"Gue nggak mau cari masalah. Seharusnya Lo juga," desis Dastan tajam.
"Oh, gitu? Tapi gue maunya nyari masalah tuh. Gimana?" Binar semakin suka memancing emosi lelaki Roma itu.
"Hahahaha." Ega tertawa lebar. Begitu juga dengan Zaki dan Jovan.
Dastan turun dari motornya. Membuka helm fullface-nya, hingga dua mata elangnya bertatapan langsung dengan mata elang milik Binar. Lelaki itu menaruh helmnya di atas motor, melangkah mendekati 4 lelaki yang mendatanginya tadi.
"Mau berantem sekarang? Gue ladenin. Gue tau tarik urat lawan udah jadi kebiasaan Lo. Perlu gue kasih alasannya kenapa sikap Lo se-annoying begini." Dastan tersenyum mengejek. "Lo kalah lagi, 'kan. Ancaman Lo kemarin itu nggak bermutu. Skala akan tetap jadi milik gue."
"Percaya diri banget Lo, Das. Kita belum tahu hasilnya karena gue belum memulai apapun. Kalau gue udah memutuskan untuk memiliki Skala, gue akan berjuang habis-habisan untuk merebut Skala dari sisi Lo."
"Oh, ya? Lantas apa yang Lo lakuin saat dulu. Kenapa saat itu Lo diam aja? Lo mau jadi laki-laki suci yang mengorbankan cintanya untuk orang lain? Huh! Cinta Lo sedangkal itu, sampai rela cewek yang Lo suka di rebut oleh..."
"Bangsat!" maki Binar dan langsung melayangkan tinjunya di rahang Dastan. Membungkam mulut laki-laki itu dengan kepalan tangannya. "Tutup mulut Lo, Brengsek!"
"Bajingan! Lo yang tutup mulut," teriak Dastan balik menerjang Binar. Menghadiahi lelaki itu satu pukulan di bibirnya.
Prit! Prit!
Satpam sekolah Deandless meniup peluit yang tergantung di lehernya. Melerai perkelahian antara Dastan dan juga Binar. Dibantu oleh Zaki dan Jovan. Mereka saling menahan Dastan dan juga Binar yang ingin lanjut berkelahi. Tidak perduli dengan kerumunan siswa-siswi Deandles yang menonton perkelahian mereka.
"Sudah! Sudah!" teriak Pak Satpam tersebut. "Kamu sebaiknya pergi!" usirnya pada Dastan. "Dan kalian berempat, cepat masuk ke dalam sekolah!"
Dastan merapikan seragamnya sebelum berlalu pergi. Begitu juga dengan Binar dan 3 temannya.
*****
Skala hendak membeli es krim di kopsis sekolah saat melihat Binar sedang membeli plaster dan obat merah.
"Kenapa nggak ke UKS aja, sih?" tanya Mbak Endang, selaku penjaga kopsis.
"Aduh, males, Mbak. Diobatinya 5 menit, tapi diceramahinya 5 tahun. Dokter Vanya 'kan suka ngomel-ngomel," oceh Binar.
"Kalau nggak mau diomelin ya jangan berantem. Gunanya kamu sekolah itu apa, kalau tiap hari kerjanya cuma berantem, bolos dan ngelakuin hal-hal yang nggak berfaedah lainnya," omel wanita usia akhir 30-an itu.
"Belajar dong, Mbak. Belajar mencintaimu dengan sepenuh hati," celoteh Binar tersenyum lebar.
"Ojo gombalin aku, ora mempan," dengkus Mbak Endang tak urung ikut tersenyum.
"Nggak mempan, tapi ikut senyum. Kenapa, Mbak? Ada manis-manisnya gitu ya, pas saya gombalin," canda Binar.
"Ngawur kamu. Hush, udah sana obatin luka kamu," usir Mbak Endang.
"Oke, Mbak Endang yang cantik."
Skala hanya geleng-geleng kepala melihat kejadian tersebut. Gadis itu lalu mengambil beberapa es krim dan membayarnya di Mbak Endang.
Sampai di kelas, Skala tak menemukan sosok Sava duduk di bangkunya. Padahal ia sudah membelikan pesanan es krim gadis itu.
"Desi, Lo lihat Sava nggak?" tanya Skala pada teman yang duduk di depan bangkunya.
"Keluar tadi, nggak bilang sih mau kemana," sahut gadis berkacamata tersebut.
"Oke." Skala tersenyum ramah, dia mulai membuka diri untuk teman-teman yang lain. "Duh, Sava kemana, sih?" gumamnya pelan.
*****
"Shh, sakit, Sav. Lo belainya yang halus napa? Kasar banget jadi cewek," omel Binar kesakitan.
Keduanya sedang duduk di bangku taman yang berada di belakang sekolah. Lelaki itu memaksa Sava untuk mengobati luka di bibirnya saat jam istirahat, padahal gadis itu sedang menunggu Skala yang membeli es krim di kopsis.
"Bibir Lo mau gue bikin lebih bonyok lagi, biar nggak bisa ngomong sekalian," ancam Sava jutek.
"Jangan dong. Keahlian gue 'kan cuma gombalin cewek sama cipokan doang. Turun dong, kualitas gue kalau bibir gue jontor."
"Dasar Lo ya!" Sava sengaja menekan luka di bibir Binar dengan keras hingga lelaki itu mengomel kesakitan.
"Lagian kenapa ngajak Dastan berantem lagi, sih?"
"Tau darimana Lo, gue berantemnya sama Dastan," tanya Binar heran.
"Tadi gue lihat. Di depan sekolah 'kan, kalian adu jotos kayak anak kecil."
"Dia yang mulai duluan," adu Binar.
"Tapi Lo yang main fisik duluan," bantah Sava.
Binar terdiam.
"Gue nggak pernah suka ada kekerasan yang terjadi hanya karena masalah sepele."
"Iya, gue tahu," ujar Binar pelan.
Sava hanya menghembuskan nafasnya pelan.
*****
"Lho, Das. Muka Lo kenapa? Kok bonyok gitu, sih?" tanya Skala pada lelaki yang datang menjemputnya di sekolah.
"Biasalah, cowok. Tabrakan sama kepalan lawan," kekeh Dastan bercanda.
"Berantem?"
"Hehm."
"Ya udah, pulang yuk. Biar gue bisa ngobatin luka Lo di rumah," ajak Skala.
Begitu Skala sudah naik di atas motornya, Dastan segera melajukan motor gedenya pergi. Membelah jalanan Jakarta yang cukup ramai.
"Nggak semudah itu, La, ngelepasin Lo untuk orang lain. Terutama gue tau siapa orang yang memperjuangkan Lo saat ini," ujar Dastan dalam hati. Menoleh ke arah kaca spion yang menampilkan wajah cantik Skala.