Bunyi mesin kardiograf menjadi satu-satunya suara di ruangan serba putih ini. Berirama layaknya detak jantung milik seorang pasien yang terbaring lemah di ranjang pesakitan. Bau desinfektan yang menyengat semakin menunjukan bahwa ruangan serba putih ini adalah sebuah kamar rumah sakit. Seragam biru khas rumah sakit membalut tubuhnya selama dua hari ini. Wajahnya terlihat pucat, hidungnya terpasang masker oksigen untuk membantunya bernafas.
Sebuah tangan yang sedikit keriput menggenggam tangan milik si pasien dengan sangat erat. Mulut orang itu tak berhenti berdoa, memanjatkan doa agar putranya bisa sembuh dan segera sadar dari komanya. Di sudut ruangan terdapat sofa panjang berwarna hitam, sofa itu di duduki oleh pria paruh baya yang duduk diam. Sesekali pria itu menatap putranya, juga istrinya yang tak henti-hentinya menangis.
Kamar Melati nomor 303 itu perlahan terbuka, di ambang pintu muncul sosok lelaki yang masih memakai seragam sekolah. Lelaki itu kemudian duduk di sebelah pria berbaju kotak-kotak tersebut.
"Sudah pulang?" gumam Shinta menyambut kedatangan putra keduanya. Wanita itu tersenyum tipis pada lelaki berseragam itu.
Lelaki itu hanya mengangguk sekilas.
"Sudah makan? Mama tadi beli nasi padang, kamu makan ya?" ucap Shinta melepas genggaman tangannya pada putra pertamanya.
"Enggak usah, Ma. Tadi aku udah makan di sekolah," sahut putra keduanya.
Shinta menghela nafasnya sejenak, kemudian kembali duduk di kursi sebelah ranjang pesakitan. Tangan keriputnya kembali mengenggam tangan putranya, seperti yang sudah-sudah ruangan tersebut kembali hening. Hanya bunyi dari mesin kardiograf yang terdengar begitu menyayat hati. Mesin itu bagaikan signal bahwa putanya masih hidup.
Beberapa menit berlalu, hingga akhirnya lelaki berseragam itu memutuskan untuk pamit pulang. Dia harus ganti baju dan akan kembali ke rumah sakit dengan membawakan makanan untuk kedua orangtuanya. Namun saat langkahnya akan mencapai pintu kamar, mesin kardiograf yang terletak di samping ranjang berbunyi nyaring. Hanya berbunyi satu kali namun sangat panjang, setelah itu berhenti.
Deg!
"Sayang! Sayang bangun!" teriak Shinta panik. Wanita itu menekan-nekan tombol di atas ranjang rumah sakit untuk memanggil suster dan dokter. "Pa, panggil dokter!" teriaknya lagi pada suaminya. Tidak sabar karena dokter ataupun suster yang tak kunjung datang.
Melihat kedua orangtuanya panik, lelaki berseragam itu hanya diam di dekat pintu masuk. Tatapannya kosong, tubuhnya tegang, wajahnya juga pucat pasi, seakan-akan jiwanya melayang entah kemana. Firasatnya ini, perasaan kalutnya, ketakutan yang dua hari ini terus membayanginya.
Apa ini saatnya? Ketakutannya.
"Ma, dia udah nggak ada," ucap lelaki berseragam itu lirih.
"Kamu ngomong apa, sih? Kakak kamu pasti sembuh, dia pasti bangun lagi!" teriak Shinta histeris.
*****
Seorang dokter bernama Bayu baru selesai memeriksa seorang pasien yang terbaring lemah di atas ranjang pesakitan. Pasien itu mengenakan seragam biru khas rumah sakit. Wajahnya terlihat pucat, tatapannya juga kosong, pasien itu hanya menatap langit-langit kamar, sebelum kemudian perlahan-lahan menutup matanya akibat obat bius.
Pasien itu memang sudah terbaring di ruang Melati nomor 304 itu selama dua hari. Sehari menginap, pasien itu sadar namun dalam kondisi histeris. Hari ini, dia kembali sadar, namun terlihat bingung. Maka dari itu dokter Bayu memeriksa lebih lanjut kesehatan pasien itu. Mengecek hasil y yang dilakukan pagi tadi.
"Bagaimana dengan keadaan putri saya, Dok?" tanya Ratu setelah dokter Bayu melihat laporan kesehatan putrinya.
"Anak ibu memang tidak memiliki luka fisik, akan tetapi...." Dokter Bayu diam sejenak.
"Tapi kenapa, Dok? Anak saya baik-baik saja, 'kan?" tanya Raja, sembari memegang kedua pundak istrinya.
"Menurut hasil pemeriksaan CT Scan, anak Bapak dan Ibu terkena amnesia parsial," jawab dokter Bayu lirih. Turut sedih dengan berita tersebut.
"Amnesia parsial? Maksud Dokter apa?" tanya Ratu tak mengerti.
"Jadi, anak Ibu tidak mengingat kejadian yang telah menimpanya. Sebagian ingatanya telah hilang, hal ini disebabkan oleh trauma yang di alami oleh anak Ibu paska kejadian kemarin."
Mendengar penjelasan dari Dokter Bayu, tubuh Ratu langsung lemas seketika. Untung saja ada Raja yang menahan tubuh istrinya dari samping, menopang tubuh itu agar tidak luruh ke lantai rumah sakit.
"Seberapa banyak ingatan yang dilupakan oleh anak saya, Dok?" tanya Raja berusaha bersikap lebih tenang dari istrinya.
"Di lihat dari respon anak Bapak tadi, kemungkinan kejadian 1-2 tahun ke belakang. Bapak dengar sendiri saat anak bapak menyebutkan bahwa dirinya baru saja lulus SMP, padahal sekarang dia sudah kelas 2 SMA."
"Lalu, apakah anak saya bisa sembuh, Dok? Apa ingatannya bisa kembali?"
"Pasti bisa, Bu. Hanya saja, kita tidak bisa memprediksi kapan waktunya. Bapak sama Ibu yang sabar saja, kita serahkan semuanya sama Allah. Saya pamit permisi dulu," pamit dokter Bayu.
"Baik, Dok. Terimakasih!" ujar Raja dan Ratu mengantar dokter Bayu ke luar ruangan.
Di koridor depat ruangan tersebut, terlihat sebuah keluarga yang sedang mengantar jenazah seseorang dengan bersimbah airmata. Sepertinya keluarga itu baru saja kehilangan salah satu anggota keluarganya.
"Kita harus bersyukur, Ma. Kita masih bisa melihat anak kita, walaupun kondisinya begini. Lihat mereka ... mereka baru saja kehilangan salah satu anggota keluarganya," gumam Raja.
"Iya, Pa," sahut Ratu.
Keduanya menatap sendu punggung orang-orang yang baru saja melewati mereka. Di atas ranjang yang mereka dorong ada tubuh tak bernyawa yang tertutup kain rumah sakit.