Chereads / Crazy Bad Girl / Chapter 29 - Part 28. Maaf, Hujan, dan Penolakan

Chapter 29 - Part 28. Maaf, Hujan, dan Penolakan

Emilia memandang rokok yang terapit di tangannya dengan kosong. Gadis itu sudah duduk di atas rooftop sekolah dari tadi pagi. Ia bahkan tak mau masuk ke dalam kelas.

Emilia menatap semuanya dari atas sana. Pikirannya berkecamuk dan benang kusut itu semakin menjadi. Kepala Emilia rasanya ingin pecah.

Saat ingin menghisap rokoknya lagi, sebuah tangan lebih dulu meraihnya dan meremas rokok yang menyala itu dengan tangannya sendiri. Emilia menoleh, ingin protes tapi wajah kakaknya terlihat dingin sekarang.

"Apaan sih, Bang?!"

"Lo yang apa!"

Emilia terkejut mendengar sentakan Emilio. Belum pernah sama sekali kakaknya itu membentak dirinya sekasar ini. Emilia memandang kakaknya itu dengan dalam.

"Gue tau lo sakit hati! Tapi kelakuan lo itu gak pantas Emilia!"

"Maksud lo apa?"

"Bolos terus ngerokok di sekolah, lo pikir itu bener, hah? Mikir!"

"Lo gak tau, Bang. Mending lo diam! Gue gak butuh nasihat lo!"

Emilio maju mendekati adiknya dan memegang kedua bahu adik kembarnya itu. "Sadar! Rasa sakit yang lo rasain jangan sampai nguasain diri lo, Emilia!"

Emilia menepis kedua tangan Emilio dari bahunya. "Diam lo!"

"Harus pake cara apa biar lo ngerti, Emilia?" Emilio mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. "Gue gak mau Adik gue rusak! Hati gue sesek liat lo begini. Asal lo tau!"

"Gue benci!" Emilia menjambak rambutnya sendiri dengan kedua tangan. "Gue benci kondisi kayak gini, Bang. Gue benci! Gue benci diri gue sendiri! Kenapa gue buruk banget? Kenapa gue ada di dunia yang keras ini? Kenapa?"

Emilio merengkuh tubuh adiknya itu dan mengusap kepalanya dengan halus. "Jangan ngomong begitu. Ada gue Emilia. Gue bukan hanya sebatas Kakak lo. Tapi gue kembaran lo! Orang yang dari dalam perut Mama selalu sama lo, orang yang hidup bareng elo. Orang yang bisa ngerasain perasaan lo kapan pun."

"Gue benci, Bang!"

"Ssttt. Jangan begitu!"

Emilio terus mengelus punggung adiknya yang mungil itu. Emilio berusaha ada untuk adiknya di saat Emilia merasa tak tentu arah. Ia tidak ingin menjadi saudara yang buruk dan jadi seorang kakak yang jauh dari adiknya. Emilio sangat menyayangi adik kembarnya itu.

"Jangan pernah lo ngerasa sendirian. Gue, Papap, sama Mama selalu ada buat lo. Kita sayang elo, apalagi gue. Kita bahkan dari dalam kandungan udah saling berbagi. Dan sampai kapan pun kita akan tetap membagi rasa."

***

"Mau apa lo?"

Perkataan sinis Emilio terdengar saat pintu yang Dario ketuk terbuka. Dario menelan ludah menatap Emilio yang kini memandangnya sinis.

"Masih punya malu lo?"

Dario masih diam.

Cowok berambut cokelat itu menundukkan kepalanya. Ia memilin ujung kemejanya dan mengetuk-ngetukkan sepatunya di lantai.

"Lia ... Ada, Bang?"

"Gak." Emilio melipat tangan di depan dada. Posisinya sekarang seperti sedang menjaga pintu dari seorang pencuri.

"Serius!" Dario merengek tanpa sadar.

Cih.

"Menjijikan!" ujar Emilio.

Dario yang tersadar langsung berdeham dan membenarkan letak kerah kemejanya yang sama sekali tidak miring.

"Mana Lia?"

Emilio memutar bola matanya dan berbalik sambil membanting pintu rumah dengan keras. Saat berbalik ia menemukan adiknya, Emilia, sedang duduk di sofa ruang tamu sambil menatapnya.

"Kok gak lu tonjok si, Bang?"

Emilio memutar bola matanya lagi dan berlalu menaiki tangga menuju kamarnya. "Pasangan bego!" gumam Emilio.

"BANG, MAU KEMANA?"

"Belajar! Biar gak bego kayak elo!"

"Bangsat!"

***

Dario kampret : aku di luar.

"Bodo amat!"

Dario kampret : sendirian.

"Bodo anjing!"

Dario kampret : malem-malem.

Dario kampret : aku mau minta maaf, Li.

Dario kampret : please keluar.

Dario kampret : aku butuh penjelasan kamu soal tadi siang.

Emilia menaikkan sebelah alisnya. "Harus?"

Dario kampret : aku tau kamu kesel sama aku, Li.

Dario kampret : tapi biar gimana kamu juga salah.

Emilia langsung saja menekan power off pada ponselnya dan membanting benda sejuta umat itu keatas kasur.

"Bajingan! Mau minta maaf tapi masih aja di bela!"

Ting.

Ponselnya berbunyi lagi. Emilia mendengkus menatap benda pipih itu. Tapi tak urung gadis pirang itu mengambilnya.

Dario kampret : skrg mendung, Li.

Dario kampret : aku bakal tetep di sini sampe kamu keluar buat nemuin aku!

Emilia berjalan ke arah jendela kamar dan keluar dari jendela yang menghubungkan dengan balkonnya. Sengaja balkonnya ia tidak hidupkan lampu, dan Dario juga tidak bisa melihatnya.

Benar saja, cowok berambut cokelat itu masih berdiam diri di sana sambil menatap ponselnya. Mengetikkan pesan untuknya.

Ting.

Dario kampret : aku cuma mau minta maaf, Li.

Dario kampret : aku juga butuh penjelasan kamu soal itu.

"Halah!" gumam Emilia.

Daarrr!!

Guntur di langit malam berbunyi. Cukup kencang bahkan sampai membuat Emilia berjengit kaget. Emilia melirik ke bawah dan benar saja,

Dario sedang berjongkok sambil menutupi kedua telinganya.

Emilia sangat tahu bahwa Dario takut kepada suara guntur. Jika mereka sedang berdua dan Dario mendengar suara guntur, cowok berambut cokelat itu akan memeluknya langsung dan menggumamkan namanya lirih.

Emilia mengigit bibir. Di bawah sana Dario terlihat gemetar sambil menutupi telinga dan berusaha mengetikkan sesuatu di layar ponselnya.

Dario kampret : Lia ...

Dario kampret : Aku takut...

Daaaarrr!

"Aaaaa!" Dario berteriak cukup keras. Tak lama rintik hujan mulai turun menyerbu bumi. Emilia memainkan jarinya gelisah, ia tak tega.

Dario masih berjongkok dengan posisi memeluk kedua kakinya yang tertekuk. Tubuhnya seketika basah oleh air hujan.

Tapi Emilia masih mempertahankan egonya. Gadis pirang itu tetap bergeming di balkon kamarnya yang gelap sambil memerhatikan cowok berambut cokelat yang juga bergeming seperti menikmati air hujan malam hari.

"Gue benci elo!"

Emilia berbalik badan dan kembali memasuki kamarnya. Ia mematikan ac kamarnya karena memang suasana sangat dingin sekarang. Gadis pirang itu menggerai rambutnya yang panjang itu dan mengangkat selimut untuk menutupi tubuh mungilnya.

Mencoba untuk terlelap namun tak bisa. Emilia berkali-kali membolak-balikkan tubuhnya dan tetap saja, suara hujan yang semakin keras di tambah guntur yang beberapa kali bersahutan membuatnya malah tambah gelisah.

Emilia berdecak dan memakai alas kakinya, gadis pirang itu beranjak menuju balkon kamar dan membelalak kaget begitu melihat Dario masih bergeming tetapi kini cowok itu duduk sambil menundukkan kepala. Kedua tangannya senantiasa menutupi kedua telinganya.

"Sinting!"

Emilia cepat-cepat turun ke lantai bawah, saat di ruang tengah ia menjumpai Emilio yang masih duduk di sofa ruang tamu sambil membaca buku.

"Abang!"

Emilio menurunkan kaca mata bacanya dan menatap adiknya itu. "Udah gue bilang, kan kemarin?"

Emilia mengernyit. "Apa?"

"Jangan nangis kalo gamau buat cowok itu sakit besoknya."

Emilia tak membalas dan malah berlari menuju pintu besar berwarna putih itu.

Gadis pirang itu berdiam sejenak memerhatikan Dario yang kini mengangkat wajahnya yang lesu dan memucat. Emilia bisa melihat dengan jelas senyum kecil cowok berambut cokelat itu di antara ribuan rintik hujan yang turun menyerbu.

Emilia maju mendekati Dario dan berdiri di hadapan cowok itu. Dario menengadah. "Kamu dateng, Li!" ucapnya dengan nada getir.

Emilia tak menyahut, gadis itu menarik napas dalam. Matanya merasa panas melihat kondisi Dario. Entah harus berterima kasih atau apa kepada hujan, tapi air itu bisa menutupi air matanya yang mengalir.

Emilia menelan ludah. "Berdiri!" ujarnya pada sela hujan.

Dario menurut. Dengan pelan cowok itu berdiri dan tersenyum lemah. Emilia menarik tangan cowok itu agar berjalan ke arah teras rumahnya.

"Gak guna kayak gini. Gue saranin mending lo pulang daripada waktu lo cuma kebuang sia-sia!"

Tepat setelah mengucapkan itu, Emilia berbalik dengan langkah cepat dan menutup pintu besar putih itu.

"EMILIA!!"

Dario terduduk lemas di depan pintu.

***