Rian menyelamatkan Eruin dari masalah yang tak ingin dia hadapi.
Walaupun sebenarnya yang Eruin lakukan hanya sekedar melarikan diri dari masalah, dan Rian sebenarnya tak senang dengan itu.
Saat itu Eruin dan Euis sedang menunggu Rian yang sedang mengganti baju. Mereka berada di teras gedung asrama perempuan. Posisinya tepat di depan gedung asrama laki-laki.
Euis padahal baru pagi itu memasuki wilayah kampus, tetapi Eruin sudah membawanya ke banyak tempat rasanya seperti berpetualang.
"Semua bajunya kebanyakan masih kebaya?"
"Iya, terdengar manis, kan?"
"Bener-bener terlihat seperti gadis desa yang masih polos."
Polos dalam artian, budaya desa dalam diri Euis masih terjaga dan belum terpengaruhi oleh budaya kota.
Hal itu tentu saja membuat Yuli yang saat itu menemani mereka sedikit iri.
Euis hanya bisa ikut tertawa kecil dalam perbincangan.
Yuli memang gadis yang baik. Hanya saja ada sebuah jarak tak terlihat yang membuat Euis tak bisa seakrab gadis itu dengan Eruin.
"Ngomong-ngomong, Rian lama juga, ya?"
Mereka sudah menunggu setidaknya 20 menit sejak Rian masuk ke dalam asrama. Sebagai seorang laki-laki, tentu saja waktu 20 menit tergolong lama hanya untuk mengganti baju.
"Dia lama pasti karena harus mengurus ijin keluar dulu."
"Ijin keluar?"
Ijin keluar dibutuhkan untuk mengabsen anak-anak asrama yang hendak pergi keluar area kampus. Hal itu dibutuhkan untuk mengisi laporan, apakah mereka akan melewati makan siang dan malam, dan kapan mereka akan kembali dari luar.
"Ooohh, iya juga, aku lupa kalau sistem seperti itu ada."
Untuk seorang anak yagn tak pernah terkekang oleh sistem hal itu sedikit mengejutkan Eruin. Di sisi lain Euis punya pengalaman sendiri mengenai hal itu.
"Eruin, kamu tahu gak, tanpa disadari, sampai sekarang aku masih terikat dengan sistem seperti itu."
"Eh, masa?"
"Iya, apa kamu gak ingat kalau dulu aku gak boleh berlama-lama di luar? Dalam waktu-waktu tertentu aku juga harus sudah ada di rumah."
"Hmm, apa itu benar terjadi? Aku agak lupa karena yang kuingat hanya ingatan-ingatan berkesan aja, sih."
Eruin berusaha untuk menggali ingatannya. Ingatan sewaktu mereka masih berada di bangku SMA. Ingatan yang dipenuhi dengan canda tawa.
"MMmmmmm, aku sama sekali gak bisa ingat."
"Jangan dipaksa kalau kamu gak bisa ingat."
Cukup sulit untuk Eruin mengingat hal sedetil yang seperti Euis bilang. Lagipula kalau itu benar terjadi, sama sekali tak ada yang mempermasalahkannya.
Di saat tiga gadis itu melupakan waktu dan asik dengan obrolan mereka, pemuda yang ditunggu akhirnya muncul.
"Eruin! Euis! Ayo pergi!"
"Oh! Panjang umur!"
Rian meneriaki mereka dari depan gerbang asrama perempuan. Memakai kemeja panjang dan celana jeans hitam. Terlihat sederhana namun bergaya. Kalau dilihat sekilas Rian seperti model majalah pakaian pria dewasa.
Euis cukup terpukau dengan penampilan Rian saat itu. Dia bahkan sampai melihat Rian dalam waktu yang cukup lama. Membuat Rian penasaran kenapa Euis melakukan itu. Namun, saat Rian melihat Euis dengan ekspresi bertanya, Euis yang sedikit terkejut hanya melempar senyuman manis.
"Oke, Yuli! Sampai jumpa besok!"
Eruin dan kelompoknya melambaikan tangan pada Yuli yang sudah menemani mereka.
Dari kejauhan Yuli merasa iri dengan kelompok itu. 'Andai aja aku punya sahabat seperti mereka', menjadi harapan yang hanya bisa dia pendam dalam dada.
"Btw, Ian, kamu sudah menghubungi mereka berdua, kan?"
Eruin sedang bertanya mengenai dua pemuda yang saat itu pasti masih diam di rumah.
"Udah, dan mereka bilang untuk belikan mereka sarapan kalau kita mau mengunjungi mereka."
Eruin sempat bingung dengan kata 'sarapan' yang Rian – Bagas atau Beni maksud.
"Sarapan? Tapi ini udah hampir tengah hari, loh."
"Begitulah kata mereka."
Berart kemungkinannya hanya ada satu.
"Mereka belum ada makan sejak pagi!?"
Yang terjadi pasti, mereka sudah kehabisan stok makanan, dan terlalu malas untuk pergi keluar. Hal itu memang sudah terbiasa terjadi. Namun tetap saja, Eruin merasa sangat kesal karena mereka berdua tak memikirkan kesehatan mereka sendiri.
"Mereka itu! Kalau memang malas untuk pergi keluar, kenapa gak bilang aja, sih!"
Jadi Eruin bisa membelikan sarapan untuk mereka, atau memesan lewat online.
Euis yang baru tahu kebiasaan Bagas dan Beni di kota sedikit terkejut.
"Apa mereka gak lapar, gak sarapan begitu?" tanya Euis ke Rian.
"Kebiasaan dalam malas mengerjakan sesuatu bisa membuat orang lain malas mengerjakan sesuatu. Bisa dibilang begitu."
Sedikit rumit tapi masuk akal. Meskipun kebiasaan itu terdengar tidak sehat dan sebenarnya tak boleh dilakukan terlalu sering karena bisa membahayakan tubuh diri sendiri.
Dengan niatan untuk menolong dua sahabat, mereka berhenti ke minimarket untuk membeli bahan makanan dan stok persediaan makanan untuk Beni dan Rian.
Eruin yang melakukan belanja. Rian dan Euis menunggu di luar sambil minum minuman botol.
Suasananya benar-benar damai di minimarket dekat komplek rumah kos Bagas dan Beni.
Minimarket yang terletak dalam area perumahan itu harusnya menjadi akses terdekat menuju makanan. Namun Bagas dan Beni entah kenapa terlalu malas hanya untuk berjalan menempuh jarak yang tak sampai 300 meter itu.
Meskipun terbilang damai, area itu masih tetap ramai orang berlalu lalang. Euis yang masih memakai pakaian hitam dan putih – almamater dilepas dan dimasukkan ke dalam tas – merasa sedikit malu karena beberapa kali dilirik oleh orang-orang yang lewat .
Rian menyadari rasa malu yang dirasakan Euis.
"Kenapa gelisah begitu? Hanya karena pakai baju yang gak biasa bukan berarti harus malu dengan penampilan sendiri, kan?"
Rian mencoba untuk menaikkan kepercayaan diri Euis. Walaupun caranya agak sedikit rumit. Euis terhibur dengan dorongan itu.
Padahal yang membuat orang-orang yang lewat melirik mereka berdua adalah :
'Mereka berdua punya masalah?'
'Padahal mereka cocok, tapi kayanya lagi tengkar.'
'Cewek itu manis banget. Tapi kenapa cowoknya cuek terus, sih?!'
Kebanyakan dari mereka berpikir kalau Rian dan Euis sedang berpacaran dan sedang memiliki masalah.
Eruin sudah bilang kalau mereka ikut masuk saja bersamanya. Namun Euis menolak dan Rian menemani Euis di luar. Sekarang dari dalam, Eruin juga sedang kepikiran hal yang sama dengan orang-orang yang melirik mereka.
'Rian bego. Sekarang mereka benar-benar terlihat kaya pasangan yang lagi tengkar.'
Rian tak pintar untuk membuka sebuah topik pembicaraan. Untuk Euis, dia masih sedikit canggung untuk hanya berdua dengan sang kekasih hati.
Eruin harus segera menyelesaikan belanjaannya untuk menolong mereka berdua.
"Tapi tunggu dulu."
Eruin teringat sesuatu dan segera mengambil smartphone miliknya. Beberapa kali menekan layar sampai akhirnya berhasil tersambung ke seseorang.
"Halo, Aska."
[Halo, Eruin.]
Suara itu bukan berasal dari pria yang dia harapkan. Tapi tak apa.
"Beni, Aska dimana?"
[Anak ini... dia lagi sibuk. Memangnya ada apa?]
Suasananya terasa agak mencurigakan di balik telepon yang sedang terhubung. Eruin bisa merasakannya.
Namun itu bisa ditunda untuk nanti.
"Aku mau tanya, apa aja persediaan makanan kalian yang masih tersisa. Aku lagi di minimarket ini soalnya."
[Oh, itu, beli aja persediaan yang biasa. Dan juga, aku titip Rum Raisin, ya.]
"Oke."
Dengan begitu, Eruin membeli barang belanjaan yang biasa yang dia belikan untuk dua pemuda no life itu.
Barang belanjaannya sampai satu plastik besa penuh. Ditambah dengan satu plastik kecil makanan ringan untuk mereka nikmati bersama nanti.
Beberapa menit berlalu setelah Eruin mulai berbelanja.
Di luar, dua insan yang sedang menunggunya, tak bergerak satu inci pun, baik tubuh maupun mulut mereka.
Hal itu tentu saja membuat Eruin khawatir ; 'Apa mereka berdua bakal baik-baik aja ke depannya?'