Kelompok Eruin sudah sampai di depan rumah kos-kosan markas Trio Jancok.
Dengan Rian saat itu memegang plastik belanjaan yang besar dengan dua tangan, dan Eruin yang memegang plastik yang berisi jajanan.
Dua gedung dengan dua lantai yang masing-masing gedungnya memiliki dua puluh pintu. Pintu nomor 16 adalah kamar milik Bagas yang dimana di dalamnya pasti ada dua pemuda yang sedang menunggu mereka.
Euis yang baru pertama kali ke situ merasa sedikit kagum.
"Walaupun Bukde Risak punya banyak uang, Bagas lebih memilih untuk tinggal di rumah kos-kosan sederhana ini?"
"Kamu kaya gak tahu Aska aja. Simple lebih baik, pasti dia bilang begitu."
Sebagai kekasih yang mengetahui hampir segala hal mengenai Bagas, Eruin menjawab rasa penasaran Euis.
Pintu nomor 16 ada di lantai dua gedung kedua. Tinggal menaiki tangga dan berbelok, pintu nomor 16 sudah ada di depan mata.
Eruin mengetuk pintu beberapa kali, "Aska, kami sudah datang!", lalu tanpa menunggu jawaban dia membuka pintu.
Saat pintu terbuka, sebuah pemandangan yang mengejutkan terjadi.
Bagas dan Beni berdiri berhadapan. Lalu Beni dengan perlahan mendekatkan wajahnya ke telinga kanan Bagas.
Kalau orang yang melihat mereka memiliki imajinasi yang liar, mereka pasti sudah salah menilai apa yang sedang terjadi. Ngomong-ngomong, Eruin dan Euis adalah salah dua dari orang-orang tersebut.
Eruin yang tak mau hal itu terjadi buru-buru masuk, "Kalian tunggu – "
"Kalau kau mau target sebelum tahun baru tercapai – ", Beni berteriak di telinga Bagas, menghentikan nafas dua gadis yang melihat mereka, "- maka jangan males-malesan, jancok!"
Di akhir kalimat, Beni menambahkan cacian dan satu pukulan ke perut Bagas.
"Eehh!?"
Kekerasan di depan mata mereka baru saja terjadi. Yang paling terkejut melihat itu tentu saja Euis yang memiliki hati yang lemah lembut.
Setelah menerima pukulan, Bagas langsung tersungkur ke lantai – tapi dengan perlahan.
Beni baru menyadari kalau tiga sahabatnya telah datang setelah puas meluapkan amarah.
"Oh, kalian udah dateng ternyata."
Beni menunjukkan sikap seperti dia sama sekali tak marah sebelumnya.
Di situ, Euis masih tak percaya dengan apa yang dia lihat.
"Kenapa kalian bertengkar, Beni!?"
Bagas dan Beni yang Euis kenal takkan melakukan hal seperti itu. Kalaupun mereka sedang bercanda, candaan mereka takkan sampai separah itu.
Pertanyaan Euis bercampur dengan sedikit rasa marah, walaupun begitu Beni tak mengerti kenapa dia dimarahi.
"Bertengkar?"
Di situ Eruin mengeluarkan suara untuk melerai masalah.
"Euis, tenang aja, mereka gak lagi tengkar, kok."
"Enggak?"
Eruin secara garis besar tahu apa yang terjadi sewaktu Beni meneriaki amarahnya barusan. Karena itu dia bisa dengan santai masuk ke dalam.
Eruin masuk dengan membawa plastik yang berisi jajanan mereka. Beni melihat plastik itu seperti melihat harta karun.
Beni melesat ke plastik yang dibawa Eruin sambil berteriak, "Rum Raisin!"
Eruin menahan Beni dengan satu tangan. Tak membiarkan Beni menyentuh jajanan kesukaannya.
"Kalian belum sarapan! Jadi makan roti dulu seenggaknya!"
Kalau Eruin sudah ada di rumah itu, dia bertugas untuk menjadi ibu rumah tangga. Beni mundur kalau Eruin sudah bilang begitu.
Karena kondisinya sudah tenang, Rian ikut masuk.
"Mereka udah biasa ngelakuin itu. Jadi jangan kaget."
"Kalaupun dibilang begitu..."
Memang benar, kalau kejadian dimana Beni memukul Bagas tak terjadi sekali itu saja. Tetapi Euis tetap menyayangkan hal itu.
Apalagi melihat kalau Bagas masih tersungkur di lantai, atau sengaja membiarkan dirinya seperti itu sampai diperhatikan.
Di dalam, Beni sudah membuat satu cangkir susu coklat. Dia berniat untuk sarapan di kursi meja belajar. Sewaktu berjalan ke meja belajar, Beni menginjak tubuh Bagas sekali baru melewatinya.
"Eh, Beni!"
Sekali lagi, Euis sangat terkejut dengan perlakuan Beni terhadap sahabat mereka satu itu.
Namun Beni sekali lagi menoleh dengan wajah heran, "Kenapa, Euis?"
Mungkin itu adalah salah satu hal biasa yang dilakukan oleh para laki-laki yang sudah bersahabat seperti mereka.
Walaupun Euis masih merasa berat untuk melihat semua hal itu.
"Eng, gak jadi. Ngmong-ngomong, kamu udah kenyang sarapan pakai roti aja."
"Kalau Eruin udah selesai masak, ya aku makan lagi nanti."
Makanan ringan itu hanya sebagai pengisi perut sebelum menu utama dimakan. Euis teringat kalau kebiasaan makan makanan berat di pagi hari tak baik untuk perut.
"Ooh, okok."
Karena sudah mengerti Euis mengiyakan Beni.
Di saat yang sama, Rian yang sudah menaruh plastik besar berjalan menuju Beni. Sewaktu melewati Bagas, Rian juga ikut memberikan Bagas satu kaki untuk memijaknya.
"Rian!"
"Hm?"
Euis tak tahan dengan apa yang mereka lakukan. Tetapi dia juga tak bisa melarang, karena Eruin juga tak mempermasalahkan hal itu.
"Eng, enggak apa-apa."
Karena tak jadi mau dimarahi, Rian kembali berjalan ke Beni.
"Gimana perkembangannya?"
"Sedikit terhambat karena anak ini terus aja males-malesan."
���Gitu ya."
Rian dan Beni yang telah bergabung mulai membicarakan beberapa hal penting yang tak Euis ketahui.
Euis mendekat ke Eruin yang sedang menyiapkan bahan-bahan masakan.
"Ada yang bisa kubantu, Eruin?"
"Oh, tolong goreng nugget ini dong untuk mereka. Aku mau nyiapin beberapa bumbu untuk mereka masak nanti."
Eruin benar-benar bersikap seperti seorang ibu yang menyiapkan bahan makanan untuk dua anaknya.
Namun ada satu hal yang mengganggu perasaan Euis.
"Eruin, apa yang lagi mereka kerjakan."
Sembari menggerakkan tangan, Eruin yang sudah melatih kemampuan masaknya sampai level ibu rumah tangga yang ahli menjawab pertanyaan.
"Mengerjakan proyek besar, katanya."
Makna dari 'katanya' di sini merujuk pada rasa ragu yang terpendam. Tentu saja Eruin mengecilkan suaranya dalam menjawab pertanyaan itu.
Euis juga ikut mengecilkan suaranya, "Proyek besar seperti apa?"
"Aku gak tahu detailnya sih, tapi – ", tiba-tiba Eruin teringat sesuatu yang sempat dia lupakan sebelumnya, "- oh iya, kamu masih ingat kalau Rian melamar kamu, kan?"
Tiba-tiba diangkat topik seperti itu, Euis yang sedang memegang satu nugget, melemparkan nugget itu ke wajan karena terkejut.
Nugget yang terlempar ke wajan berisi minyak panas membuat cipratan kecil.
"Eh!?"
"Kok nugget-nya dilemparin, Euis!?"
Hal konyol itu tentu saja membuat heboh dapur.
Beni dan Rian yang mendengar kehebohan itu di depan sontak terkejut dan khawatir.
"Kalian gak apa-apa?!" teriak Beni.
"Enggak apa-apa, kok! Cuma misplay aja!"
"Emang lagi main game, pake misplay segala dong, njir."
Eruin segera membereskan kekacauan kecil Euis.
"Maaf, Eruin."
"Ah, kamu ini, padahal cuma dijahili sedikit."
Meskipun dibilang sedikit, hati lembut Euis tetap kaget ditanya seperti itu.
Setelah proses memasak berjalan dengan normal, dua gadis itu memulai lagi perbincangan kecil mereka.
"Jadi, kamu masih ingatkan?"
Euis masih mengingat momen dimana Rian melamarnya dengan sebuah janji. Momen itu adalah beberapa momen yang tak bisa Euis lupakan. Bagaimana juga mau melupakan, pemuda yang sejak kecil selalu bersamanya, memberikan janji yang sangat manis yang tak pernah dia pikirkan.
Karena terlalu malu setelah mengingat kembali kejadian itu, Euis yang mukanya berubah merah tak bisa mengeluarkan suara.
Eruin langsung bisa mengetahui jawabannya tanpa perlu diucapkan.
"Mungkin, proyek itu adalah kunci keberhasilan mereka untuk menggapai impian kita."
"Impian..."
Kembali ke satu setengah tahun sebelumnya. Di saat mereka berenam berkumpul setelah diresmikan tamat dari sekolah.
"Ayo berjanji! Kalau kita akan terus bersama sampai hari tua nanti!"
"Terus bersamamu sampai hari tua nanti? Dih, gay."
"Kayaknya bukan itu maksud Bagas deh, Ben."
"Terus bersama sampai hari tua juga kedengaran terlalu hyperbola."
"Rian, baca suasananya, dong."
"Jangan ikut membalas, Eruin."