Semilir angin menerpa wajahku secara lembut.
Yang kurasakan berikutnya adalah kerasnya tanah dipunggungku. Aroma manis menggelitik hidungku.
Suara riuh celoteh membisingkan telingaku, beberapa kali kudengar ada yang memanggil namaku, tapi aku tak tau siapa dan darimana yang memanggil.
Aku rasa semua inderaku masih berfungsi dengan baik.
Tapi, kenapa semua begitu gelap?
oh iya, aku masih menutup mata.
"Mmn..."
Perlahan aku mencoba membuka mataku.
Dengan susah payah aku memposisikan diriku untuk duduk.
Apa yang tersebar di penglihatanku adalah padang rumput yang luas, dihiasi manusia-manusia yang berbaris rapi.
Aku bertanya-tanya, kenapa mereka terlihat jauh, bukankah tadi aku ikut berbaris bersama mereka.
Aku mengamati sekitar, didekatku ada orang-orang lain yang sedang terbaring tak sadarkan diri, ada juga yang sudah bangun dan mengipas-ngipas kepala mereka karena kepanasan, tapi ada juga yang bermain hp tanpa memperdulikan apa yang baru saja ia alami.
Aku tak dapat menghitung berapa jumlah mereka karena kepalaku masih pusing, jika ditaksir singkat mungkin sekitar 10 hingga 20.
Beraneka ragam orang yang ada disini, baik laki-laki maupun perempuan, aku tak mengenal mereka, tapi mereka mengenakan pakaian yang sama denganku. Bedanya ada pada card holder yang kami kenakan.
Jika aku dan mereka ada disini, berarti kemungkinan besar aku habis tak sadarkan diri dan dibawa kemari.
Ini pengalaman pertamaku mengalami pingsan.
Waktu berlalu begitu saja.
Seperti mengedipkan mata, dan semua latar suasana berubah drastis.
Tidak seperti tidur, yang ada ancang-ancang seperti ngantuk.
Pemandangan yang penuh warna berubah menjadi putih, kemudian berwarna lagi.
Semua ini karena matahari. Teriknya matahari yang tak kunjung surut, melainkan semakin semangat bersinar, orang-orang yang tak sanggup bermain bersama mentari memilih untuk tidur sembari bermandikan cahaya diatas rerumputan hijau.
Para panitia yang tak ingin lapangannya dikotori oleh tergeletaknya baju yang masih digunakan para mahasiswa baru, dengan cepat dan tanggap dipindahkannya bersama dengan tubuh mereka ke pinggir lapangan, bersembunyi dari jangkauan cahaya matahari.
Tak terkecuali aku, disinilah aku berakhir. Duduk diatas tikar, mencoba mengingat apa yang sedang terjadi sambil memegangi kepalaku yang terasa sakit.
"Selamat pagi putri tidur." Tiba-tiba kata yang entah dari mana.
Aku mencari-cari pemilik suara itu, dan aku menemukan sosok kak kadiv yang duduk bersimpu duduk disebelahku.
Kedua tangannya sibuk dengan memegang dikedua sisi hp dengan posisi horizontal. Iris matanya terlalu fokus pada layar hpnya.
Samar-samar aku mendengar orang-orang yang saling beradu pedang dari speaker hpnya kemudian disusul dengan ucapan "Victory", lalu suara adu pedang menghilang seketika.
Dia menaruh hpnya di saku depan.
"Masih pusing?" Tanyanya tiba-tiba sambil memberikan segelas jus buah yang awalnya ada didepannya.
Aku menggeleng, "udah enggak terlalu. Makasih kak." jawabku sambil menerima gelas plastik yang ia berikan.
Tanganku menyentuh badan gelas itu, kurasakan sedikit hangat sehingga aku mengganti posisi memegangku ke bibir gelas.
Aku turunkan gelas itu ke depan dadaku, jika kuperhatikan isi dari gelas itu penuh dengan sari jeruk. Baru kali ini aku dengar orang habis pingsan dikasih jus buah, bukannya air mineral atau teh manis.
"Jangan banyak mikir, langsung minum aja."
Setelah mendengar hal itu, aku langsung meneguk minumanku dengan cepat.
*Gulp.. gulp... gulp...*
Cukup tiga tegukan, segelas sari jeruk berubah menjadi gelas kosong.
Aku menaruh gelas kosong ini disampingku, ditempatnya semula.
Kuperhatikan dia sibuk memainkan hpnya kembali, suara pertarungan kembali kudengar.
Keheningan tercipta diantara kami. Dia tak banya bicara ya.
Kepalaku berdenyut, tangan dan kakiku lemas, aku merasakan keringat mengucur dari dahiku.
Perlahan aku mencoba membasuhnya menggunakan kedua tanganku, tapi percuma. Kini tanganku ikut basah bermandikan keringat.
Aku mencoba mencari tisu untuk mengelapnya, mataku kuarahkan ke berbagai tempat tapi tak juga aku menemukan benda yang kucari.
Tak kehabisan ide, untungnya aku menggunakan almamater, sehingga lengan almamater ini bisa digunakan sebagai pengganti tisu.
Eh, tunggu dulu, aku baru ingat kalau ini bukan almamaterku, dan pemiliknya ada disebelahku, bisa gawat kalau dia liat aku menggunakan almamater kebanggaan kampusnya menjadi pengganti tisu.
Perlahan aku melirik kearahnya lagi, tapi tak ada perubahan dari gerakan tubuhnya, sepertinya dia terlalu sibuk bermain hp dan tak memperdulikan almamaternya.
Aku menarik napas lega.
"Kalau butuh tisu, bilang aja, dari pada pake baju orang buat ngelap."
Dari saku kanannya, ia mengeluarkan sebungkus tisu lalu melemparkannya padaku.
"Eh? iya kak, makasih."
Oh tidak, dia melihatnya.
Buru-buru kuambil tisu itu untuk memeras keringat yang masih tersisa.
Satu lembar.
Dua lembar.
Tak cukup satu atau dua lembar tisu, aku tak menghitung lagi berapa tisu yang sudah kuambil karena terlalu banyaknya keringat yang ada.
Selang beberapa waktu, akhirnya tubuhku bersih dari keringat untuk saat ini.
Aku mengumpulkan bekas tisu-tisu yang sudah kugunakan, melemparkannya ke tempat yang sepertinya tempat sampah.
Aku menarik kakiku, merubah posisiku menjadi meringkuk.
Tak ada yang bisa kulakukan saat ini, jika aku kembali ke barisan pasti akan ditentang oleh kakak-kakak panitia yang berjaga.
Untuk mengisi waktu, aku membetulkan bajuku yang terlipat, menata ulang rambut, dan lain sebagainya.
Tapi, itu semua tak cukup lama untuk menunggu selesainya upacara pembukaan.
*Kruk-kruk*
Duh, apalagi sekarang?
Lagi-lagi aku mempermalukan diri.
Aku sadar jika belum sarapan, tapi kenapa harus sampai berbunyi.
Hei perut, tak bisakah kau menunggu hingga waktu istirahat nanti?
Hari ini aku kenapa sih, tidak cuma sekali tapi berkali-kali aku berbuat hal memalukan.
Aku melirik kearah kak kadiv, apakah ia mendengarnya?
Aman kah? ekspresinya tidak berubah sama sekali, tidak tertawa ataupun menoleh kearahku.
Ia masih sibuk dengan hpnya.
Tunggu, ia melakukan pergerakan. Kenapa aku merasa tegang.
Tangan kanannya memisahkan diri dari hp, menuju keresek putih disamping kanannya. Merogoh-rogoh dalamnya, ditariknya sebuah roti berlapis daging dan keju yang terbungkus rapi didalam plastik bening.
Ia menaruh roti itu didepannya, dan mendorongnya untuk mendekatiku.
*Deg...* Apa maksudnya itu?
"Rata-rata orang yang pingsan karena belum sarapan, makan ini." Ucapnya tiba-tiba sambil terus berfokus pada hpnya.
Tuhkan, benar yang kukira, dia mendengarnya.
Aku menunduk malu, mengambil roti itu dan segera melahapnya. Berharap agar dapat segera mengisi perutku.
Ia menyudahi kegiatan bermainnya, dan kini melihat kearahku, melihat dari ujung kaki hingga ujung kepalan, berhenti tepat di wajahku. Matanya menyipit seolah memfokuskan diri menatap mataku.
Ia mengangkat tangan kanannya, dan meletakkan punggung tangannya di dahiku.
"Sepertinya kamu masih kepanasan, masih pusing? kayaknya kamu kurang tidur juga, matamu terlihat sembab, lebih baik tidur saja, nanti kubangunkan kalau upacaranya sudah selesai." Ucapnya tiba-tiba sambil memposisikan tubuhkan ke keadaan semula.
Terlihat jelaskah sembab dimataku?
Aku tak bisa bilang jika sembabku efek dari nangis saat nonton drakor semalaman lalu kulampiaskan dengan main game karena tidak bisa tidur.
"Iya kak." Cukup kata itu saja yang keluar.
Aku mengiyakan perintahnya, menurunkan kaki dan membaringkan badan, lalu menutup mata untuk mencoba tidur kembali.
Disaat yang bersamaan, kulihat dia berdiri dan beranjak pergi.
Sepertinya aku bisa memperlama tidurku sebelum upacara selesai.
Aku menarik napas panjang, mencoba merilekskan diri.
Kini aku siap untuk tidur.
"Selamat tidur"
Ucapku pada diri sendiri.
"Bangun, upacara dah selesai."
Lah?
***
"